Kiai Bisri lahir di Desa Tayu, Kabupaten Pati, Propinsi Jawa Tengah dari pasangan Kiai Syansuri dan Nyai Siti Mariah. Keluarga dan lingkungan yang sangat mendukung, menjadikan Bisri kecil sangat tekun belajar sejak dini. Sebelum melanglang buana di beberapa pesantren, Kiai Bisri sudah mengkhatamkan al-Quran. Selepas mengkhatamkan al-Quran, barulah Kiai Bisri ngangsuh kawruh di beberapa pesantren di Indonesia.
Pesantren pertama yang beliau tinggali yaitu pesantren di bawah asuhan Kiai Abdus Salam yang berada di Kajen-Margoyoso. Semasa nyantri di Kajen, ilmu alat dan kitab-kitab fikih, tauhid, akhlak tingkat dasar telah diselesaikan dengan baik oleh Kiai Bisri.
Bisri kecil beranjak remaja –tepatnya umur 15 tahun-, melanjutkan nyantrinya di Bangkalan-Madura kepada guru yang masyhur akan kewaliaannya, yaitu Syaikhona Kholil. Bangkalan-Madura menjadikan pengembaraan ilmu Kiai Bisri lebih matang karena di pesantren Syaikhona Kholil, Kiai Bisri mendalami fikih dan di sisi lain juga mulai bersentuhan dengan tasawuf serta tarekat.
Tidak heran apabila Kiai Bisri mulai memadukan ilmu fikihnya dengan tasawuf, karena memang Syaikhona Kholil merupakan guru semua ulama besar di Nusantara yang berhasil menggabungkan ilmu fikih yang lahiriah dan ilmu tasawuf serta tarekat yang cenderung batiniah.
Selanjutnya, dari Bangkalan Kiai Bisri nampaknya tidak berkenan melepaskan status santrinya dengan bukti beliau melanjutkan ke dunia pesantren untuk belajar di Tebuireng-Jombang kepada Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari. Kiai Bisri pulang dari Tebuireng pada tahun 1911 dan menjadi kiai muda.
Akan tetapi, tidak lama kemudian beliau berangkat ke Mekkah bersama Kiai Wahab untuk belajar bersama kepada Muhammad Said al-Yamani, Syaikh Bakir, Syaikh Ibrohim Bafadlol, Syaikh Jamal al-Maliki, Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau, Syaikh Mahfud Termas, dan lain-lain.
Kaderisasi Al-Faqih (K.H. Hasyim Asy’ari) Menjadikan Kiai Bisri Syansuri di Barisan Ulama Fikih Indonesia
KH. Bisri Syansuri merupakan salah seorang ulama yang dinilai menyelesaikan persoalan melalui pendekatan fikih murni. KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menyebutkan bahwa kakeknya sebagai kiai dalam barisan fikih yang kemudian menghasilkan beberapa kiai termasuk Kiai Bisri dan menjadikan mereka generasi terbaik yang langsung didik oleh KH. Hasyim Asy’ari. Kiai Bisri sangat condong terhadap fikih terlihat menonjol dalam kehidupannya, baik sebagai seorang kiai maupun ketika beliau memimpin Nahdlatul Ulama.
Kiai Bisri menyandarkan pendapat pada literatur keilmuan Islam yang luas, buah kaderisasi langsung dari Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari dan ulama-ulama pilihan lain. Kiai Bisri yang notabene menjadi murid saja ‘alim ‘allamah, apalagi guru beliau (KH. Hasyim Asy’ari) tentu sangat faqih dalam pelbagai bidang.
Silang Pendapat dengan Sahabat Karib
Semasa hidupnya, Kiai Bisri memiliki sahabat karib yang bernama Kiai Wahab Hasbullah. Beliau berdua bertemu ketika sama-sama nyantri di Bangkalan-Madura pada tahun 1906. Pertemanan mereka berdua tidak berhenti di Bangkalan-Madura, tetapi berlanjut ketika bersama-sama berangkat ke Mekkah untuk belajar. Nampaknya chemistry mereka semakin cocok dengan Kiai Bisri menikahi adik dari Kiai Wahab Hasbullah.
Namun, adanya chemistry antara kedua kiai tersebut tidak memungkiri akan adanya perbedaan pendapat dalam hal fikih, karena memang keduanya sama-sama “menggeluti” dalam bidang fikih. Ada beberapa cerita yang menarik tentang silang pendapat –dalam bidang fikih- antara Kiai Bisri Syansuri dan Kiai Wahab Hasbullah. Akan tetapi, dengan adanya perbedaan tersebut tidak menjadikan mereka saling menjatuhkan, namun keduanya tetap saling menghormati dan menghargai.
Pada satu kesempatan di hari raya Idul Adha, seorang warga sowan ke Kiai Bisri dengan tujuan bertanya tentang sapi yang akan disembelih.
“Kiai Bisri, keluarga saya delapan orang. Apakah cukup kami kurban satu ekor sapi saja untuk delapan jiwa?” tanya warga dengan takdzim.
“Tidak bisa, Kang. Sapi untuk tujuh jiwa,” jawab Kiai Bisri dengan lugas.
Merasa tidak puas dengan jawaban Kiai Bisri, warga yang bertanya pulang dengan lesu. Tetangga yang melihatnya kemudian menyarankan untuk sowan ke Tambakberas di kediaman Kiai Wahab Hasbullah. Akhirnya warga tadi berangkat ke pesantren Tambakberas dengan tujuan yang sama.
“Kiai Wahab, keluarga saya delapan orang, apakah cukup kami kurban satu ekor sapi saja untuk delapan jiwa?” tanya warga kepada Kiai Wahab.
“Boleh saja Kang, kenapa tidak boleh?” jawab Kiai Wahab dengan santun.
“Betul boleh, Kiai?” tanya warga dengan nada senang.
“Boleh, boleh. Keluarga sampeyan yang paling kecil umur berapa?” tanya Kiai Wahab.
“Anak saya yang paling kecil umur 5 tahun, Kiai,” jawab warga dengan takdzim.
“Kalau begitu, beli satu ekor kambing lagi buat pancikan (pijakan) anakmu yang paling kecil itu,” jawab Kiai Wahab.
Merasa puas dengan jawaban Kiai Wahab, warga tadi pulang dengan wajah berseri-seri menganggap Kiai Wahab sangat longgar tinimbang Kiai Bisri. Padahal, esensi yang disampaikan antara kedua kiai itu sama, hanya saja beda model komunikasi. Keduanya sama-sama setia pada fikih, hanya saja keduanya memiliki tugas yang berbeda sehingga seringkali keduanya dianggap berseberangan. Kiai Bisri berperan sebagai kiai yang harus memandang dan memeriksa persoalan perspektif fikih murni, sedangkan Kiai Wahab mencari solusi dari pelbagai aspek secara menyeluruh, tidak hanya aspek fikih saja.
Silang pendapat antara Kiai Bisri dan Kiai Wahab juga terjadi pada masalah bank, tetapi keduanya masih bisa guyon. Keduanya tetap saling menghormati. Saking hormatnya, Kiai Wahab tidak bersedia menjadi Rais ‘Am di Muktamar NU Bandung tahun 1967. Sebaliknya, Kiai Bisri juga tidak berkenan menjadi Rais ‘Am selagi masih ada Kiai Wahab, apapun keadaannya.
Ditulis oleh Muhammad Luthfi Anam Khoirudin, Mahasiswa Pascasarjana Prodi Pendidikan Agama Islam UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri Purwokerto