Kiai Abdul Majid. (foto: iman)

Dalam sejarah panjang Indonesia, pendidikan menjadi salah satu pilar penting dalam membentuk karakter bangsa. Di antara para tokoh pendidik yang tidak hanya mengajarkan ilmu, tetapi juga menanamkan nilai-nilai kehidupan, terdapat nama Kiai Abdul Majid. Beliau adalah salah satu figur yang melanjutkan tradisi ulama Nusantara dengan semangat tulus dalam membangun bangsa melalui pendidikan berbasis agama.

Meskipun namanya tidak sepopuler tokoh seperti KH. Hasyim Asy’ari, KH. Ahmad Dahlan, atau KH. Wahid Hasyim, kontribusi Kiai Abdul Majid dalam dunia pesantren dan pendidikan Islam tidak dapat diremehkan. Pesantren yang beliau dirikan bukan sekadar tempat belajar agama, melainkan pusat pemberdayaan masyarakat yang berfungsi sebagai “benteng moral” bagi generasi muda.

Konteks Sejarah: Pesantren dan Peran Sosialnya

Sejak abad ke-18, pesantren di Indonesia telah berfungsi sebagai lembaga pendidikan nonformal yang berperan penting dalam menyebarkan Islam dan menjaga tradisi keilmuan. Para ulama seperti Kiai Abdul Majid memanfaatkan pesantren untuk mendidik umat dalam menghadapi tantangan kolonialisme dan perubahan sosial.

Namun, pesantren bukan hanya tempat pengajaran agama. Dalam masyarakat agraris Nusantara, pesantren sering kali menjadi pusat ekonomi, sosial, dan budaya. Kiai Abdul Majid memanfaatkan fungsi ini untuk membangun kemandirian masyarakat. Pesantrennya menjadi wadah untuk mempelajari keterampilan hidup seperti bertani, berdagang, hingga kepemimpinan, yang semuanya berpijak pada nilai-nilai Islam.

Hal ini menggemakan model pendidikan yang diajarkan oleh KH Hasyim Asy’ari di Tebuireng dan KH Ahmad Dahlan di Muhammadiyah. Kiai Abdul Majid juga menanamkan wawasan kebangsaan pada santri-santrinya. Dalam salah satu pengajian, beliau sering menegaskan, “Kebangkitan bangsa ini bergantung pada generasi yang memahami agama, namun tetap sadar akan tanggung jawab sosial.”

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Pendekatan Pendidikan yang Kontekstual

Salah satu ciri khas Kiai Abdul Majid adalah pendekatan pengajarannya yang kontekstual. Beliau tidak hanya menyampaikan ilmu fikih, tafsir, atau hadis, tetapi juga menanamkan nilai-nilai pragmatis yang relevan dengan kehidupan sehari-hari.

Baca Juga: Membaca Biografi Tokoh-tokoh NU yang Terlupakan

Misalnya, dalam satu pengajian tentang zakat, Kiai Abdul Majid tidak hanya menjelaskan hukum syariatnya, tetapi juga membahas bagaimana zakat dapat menjadi solusi untuk mengentaskan kemiskinan. “Ilmu harus diterapkan, bukan hanya dihafal,” ujar beliau. Pernyataan ini sejalan dengan pemikiran Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin, yang menekankan bahwa ilmu harus mendatangkan manfaat, baik di dunia maupun di akhirat.

Metode ini membuat para santri tidak hanya menjadi individu yang cakap dalam agama, tetapi juga berkontribusi pada pembangunan masyarakat. Banyak alumni pesantrennya yang menjadi ulama, pendidik, hingga pemimpin komunitas yang dikenal memiliki integritas tinggi.

Keteladanan: Pilar Kepemimpinan Kiai Abdul Majid

Keteladanan menjadi inti dari kepemimpinan Kiai Abdul Majid. Beliau memahami bahwa seorang pemimpin adalah sosok yang harus bisa memberikan contoh, bukan hanya memerintah. Dalam hal ini, beliau menggemakan sifat uswatun hasanah dari Rasulullah SAW.

Sikap rendah hati beliau tampak dalam kehidupan sehari-hari. Kiai Abdul Majid sering terlihat membantu para santri membersihkan masjid atau menanam di kebun pesantren. Beliau juga tidak segan untuk mendatangi rumah warga yang membutuhkan nasihat atau pertolongan.

Agama bukan hanya teori, tetapi praktik,” tegas beliau dalam salah satu pengajian. Pernyataan ini menunjukkan pemahamannya yang mendalam bahwa ajaran agama harus menjadi bagian dari kehidupan nyata. Hal ini selaras dengan pemikiran Syed Naquib Al-Attas, yang menganggap pendidikan sebagai proses pembentukan manusia seutuhnya, atau insan kamil.

Baca Juga: mengenal-kh-abdul-majid-tamim-murid-hadlratussyaikh-yang-produktif-menulis

Relevansi dengan Pendidikan Modern

Warisan Kiai Abdul Majid menjadi relevan dalam konteks pendidikan modern, terutama di tengah krisis moral dan nilai yang melanda generasi muda. Konsep pendidikan berbasis nilai yang beliau ajarkan dapat menjadi model untuk sistem pendidikan saat ini.

Sebagai contoh, pendidikan yang menekankan keterkaitan antara ilmu agama dan sosial dapat diterapkan di sekolah-sekolah Islam terpadu. Model ini memungkinkan siswa tidak hanya memahami agama secara teoretis, tetapi juga mampu mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.

Selain itu, pendekatan berbasis karakter yang diajarkan Kiai Abdul Majid dapat menjadi solusi untuk mengatasi masalah sosial seperti intoleransi, korupsi, dan ketimpangan sosial. Beliau menunjukkan bahwa pendidikan harus membentuk manusia yang jujur, amanah, dan peduli terhadap sesama.

Pendidikan untuk Kebangkitan Bangsa

Bagi Kiai Abdul Majid, pendidikan bukan hanya tentang mengajarkan ilmu, tetapi juga tentang membangun bangsa. Dalam salah satu ceramahnya, beliau berkata, “Jika ingin menghancurkan bangsa, hancurkan pendidikannya. Sebaliknya, jika ingin membangkitkan bangsa, bangun pendidikannya.”

Prinsip ini menjadi landasan dalam setiap aktivitas beliau. Kiai Abdul Majid percaya bahwa generasi muda adalah aset terbesar bangsa. Oleh karena itu, beliau mencurahkan tenaga dan pikirannya untuk mendidik para santri agar menjadi individu yang tidak hanya sukses secara pribadi, tetapi juga mampu membawa perubahan positif bagi masyarakat.

Warisan yang Tak Terlupakan

Meskipun nama Kiai Abdul Majid mungkin tidak banyak disebut dalam sejarah resmi, warisan beliau hidup dalam hati para murid dan komunitas yang pernah beliau bimbing. Pesantren yang beliau dirikan tidak hanya melahirkan lulusan yang cakap dalam agama, tetapi juga individu-individu yang memiliki semangat kebangsaan dan kebermanfaatan.

Baca Juga: Biografi Singkat dan Kiprah KH. Sahal Mahfudz

Warisan ini menjadi pengingat bagi kita semua bahwa seorang guru bukan hanya mentransfer ilmu pengetahuan, tetapi juga menanamkan nilai-nilai kehidupan. Kiai Abdul Majid adalah contoh nyata dari sosok pendidik sejati, yang dengan keikhlasan dan keteladanan membangun generasi yang siap menghadapi tantangan dunia dan akhirat.

Dalam era globalisasi yang serba cepat ini, nilai-nilai yang diajarkan oleh Kiai Abdul Majid semakin relevan. Di tengah krisis identitas dan fragmentasi sosial, kita membutuhkan lebih banyak tokoh seperti beliau, yang mampu mengajarkan pentingnya integritas, keikhlasan, dan kebermanfaatan.

Semoga kita dapat meneladani semangat beliau dalam membangun bangsa melalui pendidikan. Kiai Abdul Majid telah menunjukkan bahwa menjadi seorang pendidik bukan hanya tentang memberikan pelajaran, tetapi juga tentang membangun manusia yang dapat membawa perubahan bagi dunia dan akhirat.



Penulis: Iman Wahyudi, Penulis dan pendidik di MIN 3 Bantul Yogyakarta.