Muhammad Saleh Darat adalah sosok ulama besar yang lahir di Semarang pada tahun 1820. Namanya mungkin tidak terlalu terkenal di kalangan masyarakat umum, namun peran dan kontribusinya dalam dunia pendidikan Islam di Jawa sangatlah besar. Saleh Darat tidak hanya berperan sebagai guru dari beberapa tokoh terkemuka seperti RA Kartini dan KH. Hasyim Asy’ari, tetapi juga sebagai penerjemah karya-karya agama yang memudahkan masyarakat awam untuk mempelajari Islam dalam bahasa mereka sendiri.
Lewat aksara Pegon gabungan antara huruf Arab dengan bahasa Jawa beliau membuka jendela pengetahuan Islam bagi mereka yang sebelumnya sulit mengakses teks-teks suci karena keterbatasan bahasa dan akses pendidikan. Muhammad Saleh Darat lahir dalam keluarga yang sangat religius. Ayahnya, Kiai Umar, adalah seorang pejuang yang gigih melawan penjajahan Belanda dan memiliki pengaruh besar dalam pembentukan karakter dan semangat KH. Saleh Darat.
Beliau tumbuh di lingkungan yang dipenuhi semangat jihad, baik secara fisik maupun spiritual. Dalam masa mudanya, Saleh Darat menimba ilmu dari berbagai ulama terkemuka di Nusantara sebelum akhirnya melanjutkan studi ke Mekah, di mana beliau belajar langsung dari ulama-ulama besar dunia Islam. Setelah kembali ke tanah air, beliau mendirikan pondok pesantren di Semarang, yang menjadi pusat pengajaran agama yang progresif bagi masyarakat Jawa.
Salah satu pencapaian terbesar KH. Saleh Darat adalah terobosannya dalam menyebarkan ajaran Islam melalui penerjemahan teks-teks keagamaan ke dalam bahasa Jawa dengan aksara pegon. Pada masa itu, mayoritas masyarakat Jawa tidak menguasai bahasa Arab, sehingga akses mereka terhadap ilmu agama sangat terbatas. Hal ini menjadi salah satu tantangan besar dalam penyebaran Islam. KH. Saleh Darat menyadari betapa pentingnya menyampaikan ajaran-ajaran Islam dalam bahasa yang bisa dipahami oleh rakyat kebanyakan.
Dengan keterampilan bahasa yang dimilikinya, beliau menerjemahkan kitab-kitab fiqih, tasawuf, dan tafsir ke dalam bahasa Jawa. Karyanya yang paling terkenal adalah Tafsir Faid ar-Rahman, sebuah kitab tafsir Al-Qur’an yang ditulis dalam bahasa Jawa. Kitab ini memudahkan masyarakat untuk memahami Al-Quran, karena disajikan dalam bahasa yang mereka gunakan sehari-hari.
RA Kartini, salah satu murid KH. Saleh Darat, sangat terinspirasi oleh tafsir ini. Ia merasa tercerahkan setelah membaca terjemahan Al-Qur’an dalam bahasa yang dipahaminya. Sebelumnya, Kartini hanya mengenal Al-Qur’an sebagai teks suci yang indah, namun ia tidak mengerti isinya. Melalui karya KH. Saleh Darat, Kartini mulai memahami makna ajaran Islam yang mendorong emansipasi, kebebasan, dan keadilan.
Saleh Darat juga dikenal sebagai guru dari beberapa ulama besar dan tokoh pembaruan Islam di Indonesia. Salah satu murid terkenalnya adalah KH. Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU). Pengaruh KH. Saleh Darat terhadap Hasyim Asy’ari tampak jelas dalam pendekatan ajarannya yang moderat dan inklusif terhadap budaya lokal. KH. Saleh Darat juga dikenal mengajarkan pentingnya menjaga keseimbangan antara tradisi dan kemajuan, antara nilai-nilai agama yang mendasar dan realitas sosial yang berkembang.
Selain KH. Hasyim Asy’ari, KH. Saleh Darat juga memberikan pengaruh yang besar kepada tokoh-tokoh lain seperti KH. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, meskipun hubungan mereka lebih tidak langsung. KH. Saleh Darat melalui ajarannya membuka ruang dialog antara ajaran tradisional dengan modernitas, sebuah fondasi yang kemudian diolah oleh KH. Ahmad Dahlan dalam gerakan pendidikan modern Muhammadiyah.
Salah satu ciri utama ajaran KH. Saleh Darat adalah moderasi. Ia percaya bahwa Islam harus diajarkan dengan cara yang sederhana dan dapat diterima oleh semua kalangan masyarakat. Tidak ada unsur paksaan, dan tidak ada dogma yang kaku. Pandangannya tentang Islam yang ramah dan penuh kasih sayang menjadikan ajarannya sangat relevan bagi masyarakat Jawa pada masa itu. Beliau juga sangat terbuka terhadap budaya lokal. Baginya, adat istiadat Jawa tidak bertentangan dengan ajaran Islam asalkan nilai-nilai fundamental seperti tauhid dan syariah tetap dipertahankan.
Dalam tafsir dan ajaran tasawufnya, KH. Saleh Darat mengajarkan pentingnya spiritualitas yang mendalam, tetapi tidak melupakan peran sosial dan kemasyarakatan. Baginya, menjadi seorang Muslim yang baik bukan hanya soal menjalankan ritual agama, tetapi juga bagaimana berkontribusi terhadap kebaikan masyarakat luas. Pemikirannya yang moderat ini sangat relevan di tengah kondisi masyarakat Indonesia yang sangat majemuk, di mana berbagai keyakinan dan budaya hidup berdampingan.
Meski tidak sebanyak ulama lain yang mendapat sorotan, warisan KH. Muhammad Saleh Darat tetap hidup melalui murid-muridnya dan karya-karyanya. Karya-karyanya terus digunakan di pesantren-pesantren di Jawa dan sekitarnya, terutama tafsir Al-Qur’annya yang menjadi referensi bagi banyak santri. Pemikirannya tentang pentingnya memahami Islam dalam bahasa dan budaya lokal juga masih relevan hingga kini. KH. Saleh Darat adalah salah satu ulama besar yang tidak hanya mengajarkan agama, tetapi juga mengajarkan cara berpikir yang lebih luas.
Beliau membangun jembatan antara tradisi dan modernitas, antara ajaran agama yang mendalam dengan kenyataan sosial masyarakat. Inilah yang membuatnya begitu berpengaruh meski jarang dibahas dalam arus utama sejarah Islam di Indonesia. Sebagai seorang ulama yang sederhana namun revolusioner, KH. Muhammad Saleh Darat telah menanamkan benih pemikiran yang terus tumbuh dan memberikan inspirasi hingga hari ini.
Muhammad Saleh Darat bukan hanya seorang ulama, tetapi seorang pemikir yang menaruh perhatian besar terhadap masyarakat awam. Lewat terjemahannya yang memudahkan masyarakat memahami agama, serta ajarannya yang moderat, ia telah memberikan kontribusi besar bagi perkembangan Islam di Indonesia. Sosoknya yang sederhana namun berdedikasi adalah teladan tentang bagaimana agama bisa dijadikan sebagai kekuatan pencerahan, bukan paksaan. Warisannya terus hidup melalui karya-karyanya yang menjadi lentera bagi umat.
Baca Juga: Siapakah Sosok Berpengaruh dalam Perjalanan Teologi Kartini?
Penulis: Iman Wahyudi, Pengajar di MIN 3 Bantul Yogyakarta.