Berbicara tentang santri dan pondok pesanten, tidak dapat terlepas dari sejarah pendidikan Islam dan tradisi menuntut ilmu yang dimulai sejak masa Rasulullah. Beliau Saw. dari awal dakwahnya telah memperhatikan tempat tarbiyyah untuk para sahabat. Di awal periode Mekkah, kaum muslimin sudah mencapai lebih dari 30 orang, Rasul memilih rumah sahabat Arqam bin Abil Arqam (Dar al-Arqam) sebagai tempat untuk menjalankan aktivistas pendidikan bagi umat Islam.
Setelah hijrah ke Madinah, Islam mengalami perkembangan yang sangat pesat. Hal tersebut juga akhirnya berdampak besar untuk pendidikan Islam sendiri. Karenanya, Nabi memfasilitasi tempat khusus semacam serambi masjid untuk digunakan para sahabat sebagai tempat berteduh sekaligus tempat pendidikan berlangsung.
Kelompok ini kemudian dikenal dengan sebutan ahlu as-Suffah. Mereka adalah para pengembara yang tidak memiliki tempat tinggal tetap dan mengabdikan diri untuk belajar, beribadah, serta menyebarkan ilmu agama. Mengenai ahlus Shuffah dan keadaan mereka, Abu Hurairah sebagai salah satu dari mereka pernah mengatakan:
“Saya melihat 70 orang dari ahlu shuffah, tidak seorang pun di antara mereka yang memakai rida‘(sejenis kain penutup bagian atas tubuh). Mereka hanya mengenakan sarung atau kisa’ (potongan kain). Mereka mengikatkan potongan kain tersebut pada leher mereka. Ada yang menjulur sampai separuh betis dan ada yang sampai kedua mata kaki. Kemudian dia mengumpulkannya dengan tangan karena khawatir terlihat auratnya.”
Sementara menurut keterangan dari Imam al-Qurthubi dan Syekh Wahbah al-Zuhaili, jumlah mereka mencapai 400 orang. Beliau juga menerangkan bahwa mereka tinggal di tsaqifah masjid (papan lebar yang dibuat rumah) dan mereka belajar Alquran dan Ilmu Islam di malam hari serta berjihad di siang hari. Tradisi-tradisi seperti ini kemudian diwarisi oleh santri nusantara. Sehingga diharapkan kehidupan mereka bisa dijadikan teladan bagi santri masa kini dan umat Islam pada umumnya.
Komitmen terhadap Ilmu
Ahlu Suffah selalu menunjukkan dedikasinya yang tinggi terhadap ilmu. Mereka selalu berusaha untuk mendalami Alquran dan ajaran Islam dengan penuh konsentrasi tanpa harus terpecah memimirkan urusan dunia. Para sahabat as-Suffah juga tidak pernah malu untuk bertanya dan meminta nasihat dari Rasulullah dan sahabat senior, sebab mereka menyadari pentingnya ilmu. Sehingga mereka dapat memiliki pengetahuan dan kedalaman spiritual yang tinggi, serta membawa manfaat bagi dirinya dan masyarakat luas.
Di antara alumni shuffah yang masyhur kesuksesannya ialah Abu Hurairah sebagai sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits dari Rasulullah, kemudian Abu Ubaidah bin Jarrah yang dipercaya mengelola keuangan negara di masa kepemimpinan Sayidina Abu Bakar. Ada juga, Abu Darda’ yang menjadi guru dan mendirikan madrasah bersama istrinya di Syam, beliau mengajarkan Alquran, hadis, tafsir, dan fikih. Tercatat lebih dari 1600 santri yang pernah belajar dan singgah di pesantren yang diasuh Abu Darda’.
Ahlu Shuffah memainkan peran terbesarnya ketika perluasan wilayah Islam mencapai puncaknya di masa Amirul Mukminin Umar bin Khattab. Di masa itu, mereka dikirim ke seluruh penjuru dunia untuk menyebarkan ilmu warisan dari Rasulullah kepada masyarakat yang baru mengenal dan memeluk agama Islam. Komitmen yang tinggi terhadap ilmu yang dimiliki ahlu Suffah menjadi teladan bagi santri untuk terus bersungguh-sungguh menuntut ilmu Allah.
Rendah Hati dan Hidup Sederhana
Ahlu as-Shuffah hidup dalam keadaan yang sederhana namun semangat dan ketulusan hati mereka sangat menginspirasi. Mereka saling menghargai satu sama lain dan meskipun hidup dalam kesederhanaan, mereka selalu siap untuk berbagi, baik makanan maupun pengetahuan. Karenanya para alumni Shuffah dikenal dengan kezuhudannya.
Seperti dalam satu riwayat, suatu ketika Ubadah bin Shamit mendapat hadiah alat panah dari muridnya, apakah akan menerima atau menolaknya, ia berkonsultasi kepada Rasulullah. Beliau pun memberikan jawaban yang dapat menjadi pelajaran bagi kita semua: “Ambillah, jika kamu tidak takut akan dikalungkan padamu sebuah kalung dari api di akhirat kelak.” Demikianlah, para ahlus shuffah memiliki sifat utama, sederhana, rendah hati, dan saleh.
Kebersamaan dan Kepedulian Sosial
Ahlu Suffah hidup dalam kebersamaan, saling monolong, dan mendukung satu sama lain. Sebagaimana Abu Nu’aim Al-Ashbahani meriwayatkan dari sahabat Thalhah bin ‘Amr, ia berkata: “Dahulu, saya termasuk ahli shuffah, saya mendapati seseorang (sahabat) yang selalu membagi pada kami satu mudd kurma yang berasal dari Nabi saw lantas dibagi pada setiap dua orang diantara kami”.
Meskipun mereka hidup dalam keterbatasan, sahabat as-Shuffah tidak hanya memperhatikan kebutuhan diri sendiri tetapi juga berusaha terlibat untuk membantu sesama, baik itu dalam hal materi maupun dukungan moral. Ini mengajarkan santri dan umat muslim pada umumnya, pentingnya ukhuwah Islamiyah dan kerja sama antar umat, serta memiliki kepedulian terhadap lingkungan dan masyarakat di sekitar kita.
Demikian teladan inspirasi dari ahlu as-Shuffah. Sederhana bukan berarti tidak mungkin membawa manusia kepada kesuksesan. Utamanya bagi santri dengan segala dinamika kehidupannya di pesantren, sudah sepantasnya meneladani ahlu Shuffah untuk mendedikasikan dirinya dalam belajar serta ikhlas mengorbankan kenyamanan pribadi demi mendapatkan ilmu dan berjuang di jalan Allah, sehingga menjadi pribadi sukses yang bermanfaat bagi agama dan masyarakat.
Baca Juga: Abu Hurairah Pemilik Ingatan Episodik
Penulis: Rasyida Rifa’ati Husna, Mahasantri Ma’had Aly An-Nur II Al Murtadlo.