Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari

Oleh: Aros*

Sudah biasa, seorang anak Kiai (Jawa: Gus, Madura: Lora) pemimpin pesantren, akan mewarisi pesantren milik ayahnya. Dia yang tertua atau terpilih menjadi pengasuh dan pengampu pesantren. Tentu dengan menjadi Kiai dengan santri yang sudah banyak dan pesantren yang sudah mapan mempermudah dia menjalani hari-hari memimpin dan mengasuh. Kedudukan tinggi kiai sangat disegani santri bagaikan susuhunan, dan putranya adalah pangeran dan putra mahkota.

Tapi, apa yang dilakukan kebanyakan gus yang menjadi pewaris tidak dilakukan oleh Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari. Sepulang dari pengembaraan ilmu di Mekkah, Kiai Hasyim hanya sebentar mengajar di pesantren milik ayahnya, Kiai Asy’ari bin Abdul Wahid, di Keras Jombang. Kiai Hasyim tak mau berlindung di balik ketiak sang Ayah, alias tak mau menggunakan kebesaran Kiai Asy’ari yang kala itu menjadi ulama rujukan dan pemimpin pesantren yang cukup ternama.

Bersama istri keduanya Nyai Nafisah putra Kiai Romli Kemuning Bandar Mojoroto Kediri, (istri pertama Nyai Khodijah meninggal saat di Mekkah), malah tertarik untuk mendirikan pesantren sendiri. Padahal pikiran awam manusia lain, tentu lebih enak mewarisi, tak perlu susah-susah babat alas. Jiwa penakluk badai Sang Maha Guru ini sangat luar biasa. Lokasi yang dipilih pun bukan main. Sarang kemaksiatan, sarang prostitusi, tempat hiburan, dan lingkungan hitam dipenuhi preman-preman Belanda. Dusun Tebuireng masuk teritori Desa Tjoekir (Cukir).

Di penghujung abad ke-19 (sembilan belas) di sekitar Tebuireng banyak bermunculan pabrik-pabrik milik orang asing, khususnya Pabrik Gula Tjoekir yang berada dekat dengan Tebuireng. Secara ekonomi terlihat adanya pabrik-pabrik itu menguntungkan, karena membuka lapangan pekerjaan bagi penduduk setempat. Namun, dari aspek psikologis, justru merugikan, karena masyarakat nyatanya belum siap menerima industrialisasi.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Masyarakat yang notabenenya adalah para petani, belum siap menerima sistem upah sebagai buruh pabrik. Hal itu dimanfaatkan Belanda sebaik mungkin. Di dekat pabrik dibangun prostitusi yang biasanya menjadi tempat para buruh menghabiskan uang dengan bermain perempuan, judi, dan mabuk-mabukan. Mereka menjadi sangat hedonis dan konsumtif.[1]

Hal itulah yang menjadi alasan mendasar Kiai Hasyim memilih menjadikan Tebuireng sebagai ladang dakwah. Akhirnya beliau membeli sebidang tanah milik seorang dalang ternama di Tebuireng dan sekitarnya bernama Sakiban.[2] Lalu pada tanggal 26 Rabiul Awal 1317 H/3 Agustus 1899 M., Kiai Hasyim mendirikan bangunan kecil yang terbuat dari anyaman bambu berukuran 6 x 8  meter. Pembangunan Tretek atau bangunan dari anyaman bambu itu dicatat sebagai awal berdirinya Pesantren Tebuireng. Bangunan itu disekat menjadi dua bagian, bagian belakang bangunan itu dijadikan tempat tinggal Kiai Hasyim dan keluarga, sedangkan bagian depan dijadikan mushalla sekaligus tempat mengaji dan kamar para santri. Mula-mula santri Kiai Hasyim hanya 8 (delapan) orang yang dibaa dari Pesantren Keras asuhan ayah beliau, dalam tiga bulan sudah bertambah jadi 28 (dua puluh delapan) orang.

Kehadiran Kiai Hasyim tak langsung diterima oleh penduduk sekitar. Bahkan fitnah dan intimidasi kerap terjadi. Tak hanya Kiai Hasyim, para santri juga sering diganggu dengan teror-teror oleh orang-orang yang tidak suka pesantren itu berdiri. Terornya beragam, misal pelemparan batu, kayu atau bahkan penusukan dinding tratak dengan benda tajam, sehingga santri tiap hari harus tidur menggerombol di tengah agar tidak tertusuk.

Akhirnya Kiai Hasyim menghadirkan empat jagoan dari Cirebon yang juga sahabatnya untuk melatih para santri silat dan kanuragan, yaitu Kiai Saleh Benda, Kiai Abdullah Panguragan, Kiai Sansuri Wanantara, dan Kiai Abdul Jamil Buntet. Mereka berempat melatih para santri silat dan kanuragan kurang lebih selama 8 bulan. Dari situ, Kiai Hasyim dan para santri sudah bisa mengatasi ganggaun yang ada. Ronda malam digalakkan untuk menjaga kawasan pondok ketika malam hari. Karena penguasaan ilmu silat dan kanuragan ini, banyak orang yang setelah kalah tanding dengan Kiai Hasyim atau santrinya, malah minta diajari dan menjadi pengikutnya.[3]

Tak cukup disitu, badai-badai halangan dan rintangan silih berganti, setelah kekuatan fisik teratasi, para santri sudah menguasai ilmu silat dan kanuragan, Belanda menggunakan taktik fitnah untuk mengendorkan perjuangan Kiai Hasyim, memutihkan tanah Tebuireng. Pada tahun 1913 M., intel Belanda mengirim seorang pencuri untuk membuat keonaran di Tebuireng. Namun dia tertangkap dan dihajar beramai-ramai oleh santri hingga tewas. Peristiwa ini dimanfaatkan oleh Belanda untuk menangkap Kiai Hasyim dengan tuduhan pembunuhan.

Dalam pemeriksaan, Kiai Hasyim yang sangat piawai dengan hukum-hukum Belanda, mampu menepis semua tuduhan tersebut dengan taktis. Belum puas dengan cara adu domba, Belanda kemudian mengirimkan beberapa kompi pasukan untuk memporak-porandakan pesantren yang baru berdiri 10-an tahun itu (berarti sekitar 1920-an. Akibatnya, hampir seluruh bangunan pesantren porak-poranda, dan kitab-kitab dihancurkan serta dibakar.

Karena pesantren sudah hangus hancur terbakar, santri kebingungan bagaimana tinggalnya dan pengajiannya, karena bangunan dan kitab-kitab sudah menjadi abu dan arang. Kiai Hasyim di depan para santrinya mengatakan, “Ya sudah, diperbaiki lagi, kitab-kitabnya ya beli lagi”.[4] Membangun dari awal? Ukuran orang biasa, tentu bakal pikir-pikir ulang. Bagi Sang Penakhluk Badai, tak ada pilihan lain selain tetap maju.

Keteguhan hati dan kegigihan Kiai Hasyim dan para santrinya dalam mempertahankan Pesantren Tebuireng ternyata didengar oleh Ratu Wilhemina, di Kerajaan Belanda. Sang Ratu akhirnya memerintahkan pejabat Hindia Belanda di Jombang untuk melakukan taktik bujuk rayu, setelah taktik kekerasan dan fitnah gagal membuat Kiai Hasyim jerah.

Seorang Amtenaar (pejabat tinggi) Hindia Belanda datang kepada Kiai Hasyim dan menyatakan bahwasanya pemerintah Hindia Belanda berkenan memberikan bintang kehormatan, tanda kehormatan yang terbuat dari emas dan perak. Akan tetapi beliau menolak. Bagi Kiai Hasyim memandang hal itu mencampuradukkan keikhlasan lillahita’ala dengan maksud-maksud duniawi.

Sungguhpun beliau adalah putra Kiai, keturunan raja, keturunan Rasulullah, tak sedikitpun membuat terlena dalam perjuangan untuk umat, bangsa, dan negara. Hinngga akhir hayat, pelukannya kepada Tebuireng masih dipenuhi kasih sayang. Keimanannya atas Islam tak pernah diragukan, karena Islam itu sendiri tercermin dalam akhlak dan budi pekertinya. Genggamannya terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia penuh dengan perhatian. Hingga akhir hayatnya, Kiai Hasyim masih memikirkan kondisi bangsa dan umat. Alfatihah untuk Maha Guru kita, bapak pendiri bangsa (tak perlu diragukan sejarah ini).


[1] Ahmad Mubarok Yasin dan Fathurrahman Karyadi, Profil Pesantren Tebuireng, cet 1, (Jombang: Pustaka Tebuireng, 2011), 4.

[2] Mukani, Berguru ke Sang Kiai, Pemikiran Pendidikan KH. Hasyim Asy’ri, cet 1, (Sleman: Kalimedia, 2016), 69.

[3] Ahmad Mubarok Yasin dan Fathurrahman Karyadi, Profil Pesantren Tebuireng, cet 1, (Jombang: Pustaka Tebuireng, 2011), 5-6.

[4] Wawancara dengan KH. Abdurrahman Badjuri, santri Hadratussyaikh di Purworejo Jawa Tengah