Oleh: KH. Fahmi Amrullah Hadziq
اِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنّ مُحَمّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُه لا نبي بعده
اَللهُمّ صَلّ وَسَلّمْ عَلى سيّدنا مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وِأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن
يَاأَيّهَا الّذَيْنَ آمَنُوْا اتّقُوا اللهَ حَقّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنّ إِلاّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ
Jamaah Jum’at rahimakumullah
Setiap manusia pasti ingin memiliki kemuliaan. Ada orang menganggap kemuliaan itu terletak pada keayaan. Sehingga ketika dia banyak harta, maka ia merasa mulia. Ada orang yang menganggap kemuliaan itu pada jabatan. Sehingga saat ia berada pada jabatan yang tinggi, ia merasa mulia. Ada orang yang menganggap kemuliaan itu pada nasab. Sehingga ia jika mempunyai leluhur orang mulia, maka dia merasa mulia.
Tetapi perlu diketahui bahwa kemuliaan yang disandarkan pada hal-hal yang sifatnya materi zahir; kekayaan, jabatan, nasab, dan lain sebagainya itu cenderung mendorong seseorang mempunyai sifat arogan atau sombong. Orang yang menyandarkan kemuliaan terhadap kekayaan, bisa jadi ia merasa sombong dan merendahkan orang lain. Sebagaimana halnya Qarun.
Saat kemuliaan disandarkan pada jabatan, bisa jadi karena tingginya jabatan ia semena-mena, seperti Fir’an. Apalagi di zaman sekarang orang sombong bukan karena jabatan, tetapi karena punya orang tua pejabat. Demikian halnya ketika kemuliaan itu disandarkan pada nasab. Jika seorang punya leluhur mulia, ia juga merasa mulia padahal belum tentu perilakunya sama seperti leluhurnya.
Di sisi lain, konsep kemuliaan dalam Islam sebenarnya simpel sekali. Allah berfirman:
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ ٱللَّهِ أَتْقَىٰكُمْ
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu.
Tentu takwa ini diwujudkan dengan amal shaleh. Dan dalam Al-Qur’an banyak sekali indikator orang bertakwa. Seorang kuli bangunan yang memiliki kepribadian ‘afina an al-nas (mudah memaafkan manusia), maka ia termasuk orang mulia dengan ketakwaan itu. seorang pemulung yang al-kadzimin al-ghaidha (bukan pemarah) adalah orang mulia karena mewujudkan ketakwaannya dengan menahan amarahnya. Bahkan orang miskin yang yunfiquna fi al-sarra’ wa al-dzharra’ (bersedekah baik dalam keadaan lapang maupun sempit) merupakan orang mulia karena mewujudkan ketakwaannya dengan menjadi orang dermawan.
Imam Ali Zainal Abidin diberi gelar al-sajjad karena begitu banyak dirinya melakukan sujud. Suatu hari ia tampak berwajah murung seperti orang yang sedang berduka. Melihat kondisi seperti itu, salah satu rekannya menegurnya, “Wahai putra Husein yang mulia, cucu Ali yang mulia, cicit baginda Rasulullah yang amat mulia. Gerangan apa yang menyebabkan berwajah murung?” Mendengar nama ayah, kakek dan datuknya disebut rupanya ia tidak berkenan, “Hai, jangan membawa nama ayahku, kakekku, datukku. Aku sedang memikirkan nasibku sendiri, kelak aku meninggalkan dunia ini dengan selamat atau tidak.”
Apa yang disampaikan oleh Imam Ali Zainal Abidin ini selaras dengan firman Allah:
فَاِذَا نُفِخَ فِى الصُّوْرِ فَلَآ اَنْسَابَ بَيْنَهُمْ يَوْمَىِٕذٍ وَّلَا يَتَسَاۤءَلُوْنَ ﴿المؤمنون : ۱۰۱
Apabila sangkakala ditiup maka tidak ada lagi pertalian keluarga di antara mereka pada hari itu (hari Kiamat), dan tidak (pula) mereka saling bertanggung jawab (QS. Al-Mu’minun: 101)
فَإِذَا جَآءَتِ ٱلصَّآخَّةُ يَوْمَ يَفِرُّ ٱلْمَرْءُ مِنْ أَخِيهِ وَأُمِّهِۦ وَأَبِيهِ وَصَٰحِبَتِهِۦ وَبَنِيهِ لِكُلِّ ٱمْرِئٍ مِّنْهُمْ يَوْمَئِذٍ شَأْنٌ يُغْنِيهِ
Dan apabila datang suara yang memekakkan) yakni tiupan sangkakala yang kedua. Pada hari ketika manusia lari dari saudaranya. Dari ibu dan bapaknya. (Dari teman hidupnya) yakni istrinya (dan anak-anaknya). Setiap orang dari mereka pada hari itu mempunyai urusan yang cukup menyibukkannya) yakni keadaan yang membuatnya tidak mengindahkan hal-hal lainnya, atau dengan kata lain setiap orang pada hari itu sibuk dengan urusannya masing-masing.
Marilah kita menjadi diri kita sendiri. Tidak membanggakan leluhur kita, ibu bapak kita, datuk kita. Karena kemuliaan tidak termasuk di dalamnya. Kemuliaan itu terletak pada adab, bukan karena nasab. Maka kita menjaga amal dengan sebaik mungkin.
بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ
وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ
وَتَقَبَّلَ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَاسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ
Transkip: Yuniar Indra Yahya