Oleh: Stuart Clay
Pada pukul 4 pagi, Hendri membangunkan santri-santrinya untuk shalat di Pesantren Tebuireng, sebuah pesantren di Jawa Timur, Indonesia.
Panggilan shalat (adzan) berkumandang di Pesantren dan kota sekitarnya, dan santri-santri dan ustadz-ustadz memulai hari bersama dengan shalat. Sambil menungg ikamah, para santri melantunkan ayat-ayat suci Al Quran.
Ini permulaan kegiatan di Pesantren Tebuireng di Jombang, sebuah kota yang ramai dan dikelilingi oleh kebun tebu. Penulis ini mengunjungi Pesantren Tebuireng dan Pesantren Darussalam Gontor sebagai delegasi dari The King’s College, New York, untuk belajar lebih banyak mengenai Islam tradisional Indonesia yang ditemukan dalam komunitas spiritual yang erat ini.
Hendri, berumur 23 tahun dan sekarang mengajar Bahasa Arab di Tebuireng, di mana dia juga menimba ilmu di pondok tersebut. Setelah shalat, santri-santri memulai pelajaran dalam Bahasa Arab dan pengajian Al Quran. Antara 4.30 dan 6.00 WIB pagi, santri-santri mempraktikkan berbagai macam metode menghafal.
Untuk pemula, Hendri membaca ayat-ayat dari Al Quran dengan tartil kepada sekelompok murid yang berisi sekitar 20 santri laki-laki. Dia berhenti, dan santri-santri mengulang ayat yang telah dibacakannya, dengan tartil bersama-sama. Ustadz dan santri-santri mengulang proses dengan ayat-ayat lanjutannya. Dan sebagian santri yang lain mengaji kitab kuning dengan metode “bandongan”, yaitu ustadz membacakan teks Bahasa Arab dengan terjemah Bahasa Jawa, dan santri menuliskan terjemahannya di kitab mereka masing-masing. Dalam satu hingga tiga tahun, kebanyakan santri-santri akan dapat membaca Al Quran dalam Bahasa Arab dengan fasih dan mampu menhafal juz 30 dalam Al Quran.
Setelah pukul 7 pagi, santri-santri belajar pelajaran yang lebih dikenal oleh orang-orang Amerika, seperti matematika dan IPA. Aktivitas ekstrakurikuler mengikuti kelas, termasuk karate, kaligrafi Arab yang cenderung artistik, dan olahraga. Tentu saja, semua santri-santri beristirahat setelah menjalani aktivitas mereka sepanjang hari.
Pada pukul 6 malam, santri-santri kembali mengaji Al Quran dan kitab kuning. Puluhan siswa duduk bersila di lantai dalam beberapa kelompok di Serambi Masjid yang terbuka.
Selain Pesantren Tebuireng juga ada Madrasatul Qur’an (MQ) yang fokus menghafal Al Quran. Setelah Maghrib, santri-santri membantu satu sama lain dalam menghafalkan. Satu santri dalam tiap-tiap kelompok membaca Al Quran sementara santri lain mendengarkan. Sebagian duduk sendiri, memilih menghafalkan sendiri. Ruangan terisi dengungan banyak suara, semua mengaji bagian Al Quran yang berbeda lagi dan lagi.
Sementara itu, Hendri selesai mengajar untuk hari itu. Hari-hari Hendri panjang dan sangat melelahkan, dimulai pukul 4 pagi dan berakhir pukul 11:30 malam. Hari-hari Hendri semakin melelahkan karena dia berpuasa dari fajar hingga senja selama enam tahun. Hendri tidak makan dan minum apapun ketika matahari masih terihat—bahkan tidak sekalipun air.
Ini jauh melebihi persyaratan biasa untuk berpuasa di bulan Ramadan yang setahun sekali. Hendri berkata, mungkin 10 orang lain di Pesantren melakukan puasa ini. Hendri mempercayai komitmennya terhadap kata-kata Nabi Muhammad SAW dalam hadis, bahwa, “orang terdekat kepada Nabi Muhammad SAW pada hari akhir adalah orang yang mempunyai karakter terbaik.” Dengan puasa setiap hari, Hendri berharap dapat menaklukkan semua nafsu jahat dan menyempurnakan karakternya.
Muslim yang berperan dalam Pesantren Tebuireng dan pesantren di sekitarnya, mereka tidak tidur banyak—biasanya sekitar lima jam per malam. Hendri adalah contohnya. Seluruh komunitas di Tebuireng berpusat di seputar disiplin spiritual. Shalat lima waktu menegaskan jadwal komunitas setiap hari. Bahkan dalam perjalanan, teman-teman pendamping saya berhenti di masjid di pinggir jalan agar tidak meninggalkan shalat. Santri-santri di Pesantren mempunyai waktu luang sedikit, menghabiskan banyak waktu untuk mengaji Al Quran dan belajar ilmu pengetahuan, baik agama maupun umum. Setiap ustadz di pesantren menyerahkan hingga 2,5 persen pemasukkannya tiap tahun untuk didistribusikan kepada yang miskin melalui LSPT, organisasi amal Tebuireng.
Pondok Pesantren Darussalam Gontor (Darussalam memiliki arti “rumah damai”) merupakan lembaga prestis lain di dunia pesantren. Dua nilai utama pesantren tersebut, yaitu “kemulian karakter” dan “mencari ilmu demi Allah”. Tujuan pesantren ini adalah untuk mengedukasi santri-santri untuk kemuliaan Allah, bukan hanya karir prestisius saja.
Pembangunan kemandirian merupakan satu dari kunci tujuan Gontor. Pesantren mengajarkan santri-santri untuk memahami berbagai perspektif dalam Islam, dan sangat menentang pengaruh luar Indonesia atau kelompok Islam tertentu. Sementara sekolah mendapatkan pembiayaan dari dua donatur, yaitu pemerintah Indonesia dan Arab Saudi. Gontor memiliki program-program khusus yang dapat beroperasi secara independen. Kebanyakan ustadz di Gontor menjalankan bisnis kecil sehingga uang santri dapat membiayai perbaikan sekolah. Gontor juga mengemas dan menjual air minumnya serta mempublikasikan buku pelajarannya sendiri.
Kampus Gontor terjalin dengan desa sekitar. Rumah ustadznya semua dekat dengan asrama. Seperti Tebuireng, Gontor juga menjalankan bakti sosial untuk masyarakat miskin sekitar. Keuntungan kecil yang diperoleh pesantren dari program keuangan mikro membantu membayar sebagian gaji karyawan, menurut penuturan seorang laki-laki paruh baya bernama Taufik, yang mengajar finansi di dekat Universitas Darussalam Gontor.
Bangunan pusat di kampus adalah sebuah masjid megah yang naik di atas kota dan dapat diakses oleh tangga yang luas. Santri-santri berkumpul untuk beribadah di sini setiap harinya. Dinding-dinding audiotorium seberang jalan menampilkan pesan-pesan dalam bahasa Arab yang mengingatkan santri-santri pada nilai-nilai pesantren mereka. Di satu dinding, tertulis, “Beranilah melakukan yang benar, tetapi mereka juga harus bersikap sopan,” jelas Taufik.
Setiap kegiatan, baik edukasi maupun rekreasi, dimaksudkan untuk melatih siswa agar menjadi “warga kemanusiaan” yang lebih baik. Ini termasuk disiplin yang ketat. Hukuman ringan termasuk push-ups dan lari, sementara pelanggaran berat dihukum dengan mencukur kepala santri-santri. Pesantren mendisiplinkan mereka dengan dorongan melalui cara yang sama seperti orang tua murid akan mendisiplinkan mereka dengan cinta, jelas Taufik.
Taufik berada di antara sekelompok staf Gontor yang bersumpah untuk tinggal di Gontor selama hidupnya, pada dasarnya menjadi bagian dari keluarga pendiri. Taufik menunjukkan kami pemakaman di pondok.
“Keluarga [dari pendiri pesantren] dan sebagian santri dan staf dimakamkan di sini, dan mungkin suatu hari nanti saya,” Taufik menjelaskan pada kami dengan tersenyum.
Disiplin dan semangat Tebuireng dan pesantren lainnya mungkin tampak menuntut dan melelahkan dari luar. Namun rutinitas sehari-hari di Tebuireng menawarkan kelegaan dari tekanan kehidupan kota besar. Pada jamuan makan malam di rumah pengasuh Pesantren Tebuireng, pria berpakaian “sarung” (seperti kimono) santai dan mengobrol sambil minum teh, saling menyapa dengan hangat.
Wakil Pengasuh Pesantren Tebuireng, KH. Abdul Hakim Mahfudz menyebut cara hidup yang ia ajarkan di Tebuireng “kehidupan yang mudah”.
“Saya pergi ke Jakarta dan bekerja dua hari dalam sepekan,” dia menceritakan tentang bisnisnya, “itu cukup.”
“Dengan alasan, orang harus menghabiskan kurang dari separuh kehidupan mereka di tempat kerja. Hidup bukan tentang karir atau gaji Anda,” dia menjelaskan. “Hidup yang mudah” adalah kehidupan ibadah dan masyarakat. Tentu saja, kebanyakan orang harus bekerja lebih banyak daripada dia. Sulit membayangkan petani padi yang pekerja keras dapat menerima pandangan ini.
Kehidupan di Tebuireng, terstruktur dan disiplin, namun juga memiliki irama dan makna, melangkah dengan tujuan menjauhi kesibukan tiada henti dan menjadi orang yang lebih baik. Ini tentang mencari dan melayani Tuhan setiap hari.
*) Tulisan ini merupakan terjemahan (dengan perubahan yang disesuaikan di lapangan) dari tulisan seorang mahasiswa Jurusan Politik, Filosofi, dan Ekonomi di The King’s College di Manhattan. Ia menghabiskan Mei di Pesantren Tebuireng, Jombang, Indonesia untuk suatu kerja sama Pesantren Tebuireng dan The King’s College yang disponsori oleh Media Project. Tulisan ini pernah dimuat di https://themediaproject.org/news/2017/7/14/rigorous-islamic-boarding-school-preps-students-for-easy-life-of-prayer-and-contemplation.
Penerjemah: Farha Kamalia