Sebuah ilustrasi keluarga kecil yang sederhana.

Di waktu pagi Mutia selalu terbangun oleh suara kokok ayam yang memecah keheningan desa. Ia tinggal di sebuah rumah kecil di pinggir desa bersama ibunya. Ayah Mutia sudah lama merantau, dan jarang memberi kabar. Sebagai anak tunggal, Mutia sering merasa kesepian, tetapi ia tak pernah mengeluh. Baginya, ibunya adalah segalanya.

Ibunya, Bu Risa, adalah seorang penjahit. Pekerjaannya tak selalu menghasilkan banyak uang, tetapi ia selalu berusaha keras untuk memastikan Mutia bisa tetap bersekolah. Mesin jahit tua di sudut ruang tamu menjadi saksi bisu perjuangan mereka. Setiap malam, suara ritmik mesin itu mengisi rumah mereka yang sederhana.

Suatu pagi, ketika Mutia sedang bersiap untuk pergi ke sekolah, ia mendengar suara ibunya mengeluh pelan sambil memegangi punggungnya. “Ibu sakit lagi?” tanya Mutia, wajahnya dipenuhi kecemasan.

Bu Risa tersenyum kecil, berusaha menyembunyikan rasa sakitnya. “Ah, tidak apa-apa, Nak. Ibu hanya lelah. Kamu tidak usah khawatir.”

Namun, Mutia tahu ibunya tidak baik-baik saja. Ia memperhatikan wajah ibunya yang semakin pucat beberapa minggu terakhir. Sepulang sekolah, Mutia sering membantu pekerjaan rumah atau mengerjakan pesanan jahitan kecil, seperti memasang kancing atau menyulam nama di seragam sekolah. Ia ingin meringankan beban ibunya.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Suatu sore, ketika Mutia sedang duduk di ruang tamu mengerjakan PR, ia mendengar suara langkah kaki mendekat. Ternyata, Pak Agus, tetangga sebelah, datang membawa setumpuk kain.

“Bu Risa, ini ada pesanan dari Bu Rini. Katanya, tolong dijahitkan gorden untuk ruang tamu,” kata Pak Agus sambil menyerahkan kain itu.

Bu Risa tersenyum dan menerima kain itu. “Baik, Pak Agus. Nanti saya kerjakan.”

Mutia memerhatikan kain itu dengan seksama. Kainnya besar dan tebal, pasti butuh waktu lama untuk menjahitnya. Mutia merasa tak tega melihat ibunya bekerja keras dengan kondisi tubuh yang semakin lemah.

“Bu, biar Mutia yang bantu menjahit nanti malam, ya?” tawar Mutia dengan suara lirih.

Bu Risa menggelengkan kepala perlahan. “Tidak usah, Nak. Kamu fokus belajar saja. Itu sudah cukup membantu Ibu.”

Namun, malam itu, saat ibunya tertidur lebih awal karena kelelahan, Mutia diam-diam mengambil kain itu dan mencoba menjahitnya. Mesin jahit tua itu terasa berat saat Mutia menggerakkan kakinya di pedal. Tangannya gemetar, tetapi ia terus berusaha. “Kalau Ibu bisa, aku juga pasti bisa,” gumamnya.

Ketika langit mulai terang, Mutia berhasil menyelesaikan satu bagian kecil dari gorden itu. Ia merasa bangga sekaligus lega. Ketika ibunya bangun, ia menunjukkan hasil kerjanya.

“Bu, Mutia sudah bantu menjahit sedikit. Mutia bisa lanjut nanti malam,” kata Mutia dengan senyum lebar.

Bu Risa menatap hasil jahitan itu dengan mata berkaca-kaca. Ia memeluk Mutia erat-erat. “Terima kasih, Nak. Kamu anak yang sangat baik.”

Hari-hari berlalu, dan mereka menyelesaikan pesanan itu bersama-sama. Meskipun sederhana, kerja sama mereka membuat pekerjaan terasa lebih ringan.

Pada suatu Minggu pagi, Bu Risa duduk di teras sambil menikmati secangkir teh. Mutia mendekatinya dengan sebuah amplop kecil di tangan.

“Bu, ini uang tabungan Mutia dari sisa uang jajan. Mutia ingin kita gunakan untuk membawa Ibu ke dokter.”

Bu Risa tertegun, lalu tersenyum haru. “Nak, tabungan ini seharusnya untuk masa depanmu, bukan untuk Ibu.”

“Tapi kesehatan Ibu juga masa depan Mutia,” jawab Mutia tegas.

Akhirnya, dengan uang tabungan itu, Bu Risa pergi memeriksakan kesehatannya. Dokter mengatakan bahwa Bu Risa mengalami kelelahan kronis dan membutuhkan istirahat lebih banyak. Mutia berjanji untuk membantu lebih banyak pekerjaan rumah agar ibunya bisa beristirahat.

Waktu berlalu, dan keadaan mereka perlahan membaik. Pesanan jahitan terus berdatangan, dan Mutia semakin terampil membantu ibunya. Mereka bahkan berhasil menabung sedikit demi sedikit untuk mengganti mesin jahit tua yang sudah hampir rusak.

Pada suatu malam, ketika mereka sedang duduk bersama di ruang tamu, Mutia berkata, “Bu, Mutia ingin menjadi guru suatu hari nanti. Mutia ingin membantu anak-anak yang kurang beruntung agar mereka bisa memiliki semangat seperti yang Ibu berikan pada Mutia.”

Bu Risa tersenyum sambil membelai rambut Mutia. “Cita-citamu itu sangat bagus, Nak. Ibu yakin kamu bisa mencapainya.”

Mutia memandang ke luar jendela kecil di ruang tamu mereka. Bulan bersinar terang, seperti harapan yang selalu menyinari kehidupannya. Dalam kesederhanaan, Mutia dan ibunya menemukan kebahagiaan kecil yang tak ternilai. Mereka tahu bahwa kerja keras, cinta, dan kebersamaan adalah kunci untuk melewati segala rintangan.



Penulis: Diyah, Siswi SMK Plus Khoiriyah Hasyim Tebuireng.