Santri dan Gus. (ilustrasi: tebuirengonline)

Oleh: Muhammad Miqdadul Anam*

Gerombolan santri putri itu tiba-tiba buyar. Keramaian berubah menjadi keheningan. Mereka kompak menata barisan. Lurus mematung sambil menundukkan pandangan. Tak lama, seorang berperawakan tinggi, berkulit putih dan memakai songkok lewat di tengah barisan itu.

Jauh di luar barisan sana, puluhan pasangan mata mengamati dalam diam. Santri-santri putri luar barisan, para pengintai di lantai atas asrama itu, bergegas menuju balik kaca berharap keberadaannya tak diketahui. Setelah memantapkan tempatnya dan mendapat sudut yang enak, mereka ribut. Membicarakan hal yang tak mungkin diungkapkan di depan lelaki bersongkok itu, “Duh, tampannya Gusku.”

Gus Azmi, nama pria bersongkok itu. Jalannya cepat melewati barisan santri putri. Mukanya serius seperti ada beban berat di kepalanya, tapi bagi santri putri itu malah menambah kharismanya. Tujuan Gus Azmi hanya satu: kembali ke ndalem[1]. Mungkin ia muak dengan suasana penuh penghormatan semacam ini.

Sesampainya di ndalem, Gus Azmi mendapati sebuah mobil hitam terparkir di halaman dan pintu dalem terbuka lebar. Ia masuk dan mengucapkan salam. Ternyata ada seorang tamu yang sepertiya juga seorang kiai seperti Aba-nya, Kiai Azizi.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

            “Ayo sungkem[2],” perintah Kiai Azizi yang langsung dilaksanakan Gus Azmi.

            “Oh, ini yang namanya Azmi, yang kemarin habis menang lomba baca kitab kuning[3] sekabupaten itu.” Kiai berkumis putih itu berkomentar. Gus Azmi tersipu, menundukkan kepala begitu dalam. Sepertinya dia sudah terlalu bosan dengan pujian sampai tak ingin lagi dipuji.

Tak mau ikut percakapan lebih lama, Gus Azmi pamit kembali ke kamarnya. Ia pun menyusuri ndalem. Seorang khadam[4] berdiri di depan kamarnya, menyambut dengan tidak menundukkan kepala dan senyum keterbukaan. Sesuai dengan keinginan Gus Azmi.

Dia lah Firdaus, seorang khadam yang dianggap Gus Azmi layaknya sasudara sendiri. Seorang santri yang biasa diajak jalan-jalan Gus Azmi. Seorang rival yang sering menentang pendapat Gus Azmi saat bermusyawarah. Dan, seorang yang tahu betul kesukaan Gus Azmi, termasuk keinginan terbesarnya.

***

Beberapa hari berlalu, Gus Azmi merasa kesepian. Di kamarnya yang penuh dengan tumpukan kitab itu ia terduduk membatu. Ia buka lembar demi lembar kitab kuning, mencoba mengusir kejenuhan. Tiada keseruan yang ia temukan. Tiada lagi Firdaus yang menemaninya untuk musyawarah. Juga tak ada gojlokan[5] dari Firdaus yang kemarin izin pulang karena bapaknya meninggal.

Gus Azmi kemudian berlabuh ke masjid pesantren. Beruntung ada beberapa santri yang sedang melingkar untuk bermusyawarah. Ia berjalan mendekat dengan pelan, berhati-hati agar tidak menginjak santri yang sedang tidur istirahat. Masjid siang itu terasa ramai dengan beberapa halaqah santri yang sedang berdiskusi, berbincang santai, istirahat dan hafalan.

Lingkaran musyawarah terdengar begitu seru, sampai Gus Azmi ikut nimbrung. Adu argumen tiba-tiba terhenti. Hening. Membuat Gus Azmi merasa asing. “Lho, ayo dilanjut musyawarahnya. Aku mau ikut,” kata Gus Azmi memecah keheningan.

            “Monggo, Gus yang memimpin. Jenengan kan lebih alim dari kami,” salah satu dari mereka angkat suara.

Gus Azmi mulai merasa aneh. Seperti ada pergerakan di belakangnya. Ketika ia menoleh, beberapa santri mulai meninggalkan masjid. Yang tidur terbangun dan kembali ke asrama. Yang sedang menghafal memasukkan kitab ke sakunya. Sampai-sampai masjid menjadi sepi. Menyisakan Gus Azmi dan beberapa santri yang masih bertahan di sekitarnya.

Akhirnya Gus Azmi pasrah dengan keadaan. Ia memulai membaca lafaz demi lafaz kitab yang dipegangnya. Sayang, tidak ada perdebatan seperti sebelumnya.

Dari arah belakang, di bangunan berbeda, Gus Azmi seperti mendengar suara tawa kumpulan santri lain. Mereka saling serang pendapat menentukan mana jawaban yang kuat. Rasanya, keadaan musyawarah itu mudah berubah. Dari yang awalnya bentak-bentakan mempertahankan pendapat seperti akan bertengkar, kemudian berbalik tawa bersahut seperti tak terjadi apa-apa sebelumnya.

Suasana itu lah yang dicari Gus Azmi. Musyawarah yang hidup, bukan beku seperti lingkaran yang ia datangi. Nalurinya mengatakan dirinya harus mendatangi tempat tersebut. Maka, Gus Azmi bertolak ke sana dengan harapan bisa menemukan keseruan musyawarah seperti dengan Firdaus.

Namun, hal yang sama dengan sebelumnya ia alami kembali. Tiada lagi perdebatan setelah Gus Azmi menerangkan, tak ada tawa yang ikhlas keluar dari mulut mereka.

            “Kenapa kalian diam?” tanya Gus Azmi heran.

            Masih tak ada yang bersuara.

            “Lho, kenapa?” Kembali Gus Azmi memastikan pertanyaannya untuk dijawab.

Satu orang memberanikan diri untuk menjawab, “Hm… Maaf, Keterangan Gus sudah terlalu sempurna bagi kami yang masih butuh banyak belajar.”

            “Kan masih ada pendapat ulama lain?”

            “Sungkan, Gus,” timpal santri lain.

            “Hm… Ya, sudah. Saya lanjutkan pembacaan kitabnya.”

Gus Azmi pun meneruskan, tapi tak lama. Setelah itu ia pamit kembali ke ndalem. Dengan perasaan tak menentu, ia langkahkan kaki menuju kamarnya. Ia lihat tumpukan kitab yang tak lagi menarik untuk dibuka, kecuali buku catatan yang tergeletak di sampingnya. Sebuah buku tulis biasa bagi orang lain, tapi istimewa bagi Gus Azmi. Buku catatan Firdaus yang berisi kumpulan teks kitab kuning itu ia amati dengan lekat.

Buku itu mengingatkannya kembali pada Firdaus. Teringat betapa lihai Firdaus menolak pendapat ulama yang ditawarkannya. Juga kejadian saat ia tidak menyapa Firdaus beberapa hari gara-gara terlalu dalam perdebatan yang terjadi dalam musyawarah. Namun, itu tak lama. Mereka kembali bermusyawarah dan berdebat lagi.

Gus Azmi tersenyum mengingat itu.

Ctung… Suara notifikasi dari gawainya membuyarkan ingatannya itu. Pesan dari Firdaus menyapa. Segera Gus Azmi membuka pesan itu harap-harap bisa berbincang dengan Firdaus walau sebentar. Hanya saja kenyataan tak berkata demikian. Segera Gus Azmi melempar gawainya setelah melihat pesan Firdaus yang tertulis, “Maaf, beribu maaf, Gus. Sepertinya saya akan boyong[6] karena di rumah tidak ada yang bekerja untuk memenuhi kebutuhan ibu dan dua adikku.”

Berkaca-kaca lah mata Gus Azmi. hatinya menjerit, kenapa kejadian tak mengenakkan ini beruntun menimpaku. Tanpa Firdaus Gus Azmi merasa kesepian karena tak ada santri lain yang sedekat dengan dirinya. Siang tadi saja saat ia mendekati beberapa santri, mereka hanya diam dengan alasan sungkan.

Mata Gus Azmi menerawang ke luar dari balik jendela. Terlihat santri yang kejar-kejaran berebut saf pertama dalam salat jamaah. Ada juga yang mondar-mandir mencari sandalnya. Semua terasa begitu alami. Tidak seperti yang dirasakan Gus Azmi di ndalem tanpa adanya Firdaus. Hingga terbesit dalam benaknya ingin mondok di pesantren luar dan menjadi santri biasa.

***

Gus Azmi telah membulatkan tekad. Di atas ranjang, ia menerawang langit-langit. Ia memikirkan strategi untuk memuluskan keinginannya itu. Otaknya sibuk menyusun rencana langkah demi langkah, hingga kemungkinan terburuk sekalipun.

Untuk langkah pertama yang paling memungkinkan adalah langsung bilang ke Abanya itu. Segera setelah pikiran itu tercetus, Gus Azmi langsung mendatangi Kiai Azizi yang sedang menyiapkan materi untuk ceramah besok.

            “Ba, Azmi ingin mondok.” Langsung tanpa babibu ia mengutarakan isi hatinya.

Kiai Azizi menoleh, kemudian melepas kacamata dan menaruhnya di samping kitab. Lantas berkata, “Lho, kok tiba-tiba bilang begitu?”

“Azmi ingin belajar dengan tenang, Ba.”

“Bukannya di kamarmu suasananya sudah tenang. Tidak ada suara mengganggu, toh?”

“Bukan begitu yang Azmi maksud,” jawab Gus Azmi dengan mendongakkan kepala yang sebelumnya tertunduk.

“Oh, kamu kesepian karena Firdaus sudah pamit boyong dan tak punya teman musyawarah?” Gus Azmi tertegun dengan jawaban ini. Tapi ia kembali menundukkan kepala agar kesedihannya tertutupi. Lantas ia menjawab, “Bukan begitu, Ba. Azmi ingin mondok biar belajar lebih tenang.”

“Kenapa seburu-buru itu? Kok tidak sekalian lulus sekolah dulu agar tidak repot mengurus dokumen-dokukmennya?”

“Tapi, Bah…”

“Sudah, manut saja sama Aba.” Kiai Azizi kembali memakai kacamatanya dan melanjutkan persiapan.

Gus Azmi pun undur diri, kembali ke kamarnya. Namun, itu tak membuat semangatnya meleleh. Hari-hari berikutnya membuktikan itu. Gus Azmi terus membujuk Aba-nya itu, bertubi-tubi.

***

Pagi yang beku, Gus Azmi masih kekeh dengan keinginannya itu. Karena Abanya tak bisa dibujuk, ia mulai memberontak. Memulai strategi terakhir. Ia mulai meninggalkan ngaji setelah Magrib yang diwajibkan Abanya. Padahal hal itu sama sekali tak pernah terpikir sebelumnya.

Satu hari, dua hari Aba-nya belum menyadari tindakan Gus Azmi itu. Namun, seminggu setelahnya ada seorang ustadz datang melapor tentang ketidakhadiran Gus Azmi seminggu penuh. Marah lah Kiai Azizi padanya. Gus Azmi dihukum tidak memegang gawai sampai ia rutin masuk pengajian lagi.

Segala macam cara  dilakukan Kiai Azizi agar anaknya itu kembali rajin. Berbagai macam hukuman sudah diberi. Namun, hal itu tak meruntuhkan niat Gus Azmi. Malahan, ketegaran Kiai Azizi untuk tetap mendidik sendiri Gus Azmi semakin memudar.

Hingga akhirnya Kiai Azizi menyerah. “Baiklah, kalau kamu mau mondok, besok Aba antarkan,” kata Kiai Azizi di tengah hukuman Gus Azmi berendam di kolam.

“Mondok di mana, Ba?” tanya Gus Azmi dengan bibir menggigil.

“Sudah, ikut Aba saja. Kamu kembali sana ke kamarmu bersiap apa saja yang butuh di bawa ke pesantren.” Kiai Azizi pun berlalu setelah mengutarakannya.

Meski tak dijawab, Gus Azmi sudah merasa lega karena Abanya mengizinkannya untuk mondok. Sebentar lagi, titel “Gus”-nya akan copot dengan menjadi santri pesantren lain.

***

Mobil yang membawa Gus Azmi dan abanya keluar gerbang pesantren menuju arah utara. Gus Azmi belum tahu akan dimondokkan di mana. Yang terpenting baginya saat ini adalah dirinya bukan lagi gus. Selamat tinggal barisan santri yang hormat memberi jalan. Selamat tinggal hari-hari beku tanpa gojlokan. Dan selamat tinggal ndalem yang sunyi dari canda tawa santri.

Dengan rasa bahagia, semangat dan kelegaan, Gus Azmi menuju ndalem calon kiainya untuk dipasrahkan. “Assalamualaikum.” Sebelum Kiai Azizi berucap salam, sosok tua yang keluar dari pintu dalem sudah mendahuluinya. Ternyata Gus Azmi dimondokkan ke pesantren milik kiai berkumis putih yang pernah berkunjung ke ndalemnya dulu.

Tanpa banyak basa-basi, Kiai Azizi segera memasrahkan Gus Azmi. Kiai berkumis putih segera menawarinya untuk diantarkan ke asrama yang akan ia tinggali. Gus Azmi menolaknya. Pikirnya, kalau nanti sampai diantar oleh sang kiai, identitasnya sebagai gus pesantren lain akan terbongkar. Karena itu lah ia lebih memilih diantarkan khadam seperti layaknya santri baru lainnya.

Gus Azmi pun berjalan menuju asramanya, meninggalkan Aba-nya dan Kiai berkumis putih yang sedang asyik berbincang. Ia melihat beberapa santri yang tak jauh berbeda dengan pesantren abanya. Bedanya, mereka tak mengenal dirinya. Dan sebentar lagi, ia akan menjadi bagian dari mereka.

Sesampainya di depan kamar Gus Azmi bilang ke khadam, “Terima kasih sudah mengantarkan. Sampai di sini saja, saya bisa menata lemari sendiri.” Khadam pun mengangguk lalu pamit kembali ke ndalem. Sebelum benar-benar kembali, khadam tersebut membisikkan sesuatu ke pengurus asrama tersebut. Gus Azmi tak terlalu memedulikannya. Yang terpenting baginya saat ini adalah segera menjadi santri dan kembali bermusyawarah tanpa ada jarak sebagai gus.

Gus Azmi memandangi kamar yang akan ditinggali hingga beberapa bulan kemudian. Luasnya hampir sama dengan kamarnya dulu. Bedanya, kini penghuninya belasan orang. Sebenarnya ia belum pernah melihat kamar santri sedekat ini.

Matanya menangkap pemandangan berbeda dengan kamarnya dulu. Terlihat ada gantungan pakaian yang panjang memutari kamar. Di atas lemari, kitab kuning berjajar rapi. Di pojok kamar terdapat rak berisi beberapa gayung tempat penghuni kamar menaruh peralatan mandinya. Sungguh suasana yang berbeda.

Kebetulan, Gus Azmi mendapat lemari bagian bawah. Ia pun duduk sambil menata pakaian yang dibawanya itu. beberapa barang ia kembalikan ke koper untuk dibawa kembali karena lemarinya tak cukup menampung.

Belum juga usai menata lemari, seperti ada yang mendekat dari samping. Ia berpikir, mungkin penghuni kamar yang ingin mengajak berkenalan. Gus Azmi pun menoleh dengan tersenyum.

Tiba-tiba santri itu berkata, “butuh bantuan apa, Gus?”

_______________________________________

*Mahasantri Ma’had Aly Pondok Pesantren An-Nur II Al-Murtadlo Malang


[1] Istilah bagi rumah kiai.

[2] Bersalaman dengan cium tangan.

[3] Sebutan buku ilmah berbahasa Arab dan tak berharakat.

[4] Seorang santri yang membantu kiai dalam mengurus keperluan dalem

[5] Istilah pesantren untuk sebuah gurauan.

[6] Pulang ke rumah tidak melanjutkan belajar di pesantren.