Oleh: KH. Abdul Hakim Mahfudz*

Pandemi covid-19 berimbas pada semua sektor kehidupan masyarakat, termasuk pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam yang telah terbiasa menjalani aktivitas keseharian secara komunal, berkelompok, dan berjamaah.

Menghadapi pandemi covid-19, pesantren dituntut untuk mampu menghadirkan solusi yang tepat. Cara Pesantren Tebuireng menghadapi pandemi covid-19 adalah dengan membuat gugus tugas yang fokus mengupayakan terjaganya lingkungan pesantren dari paparan covid-19.

Hal itu dilakukan setelah pemerintah Provinsi Jawa Timur menunjuk Pesantren Tebuireng sebagai salah satu Pesantren Tangguh Semeru (Sehat, Aman, Tertib, dan Rukun).

Program Pesantren Tangguh di Pesantren Tebuireng ditujukan untuk mengupayakan keberlanjutan kegiatan pembelajaran bagi santri di dalam lingkungan pesantren.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Melalui penyusunan skema protokol kesehatan yang matang dan ketat, para santri secara bertahap kembali ke pesantren. Hal ini berjalan cukup lancar, walaupun pengurus Pesantren Tebuireng harus mengeluarkan waktu dan tenaga ekstra untuk tetap berhati-hati dan terus mengevaluasinya, terutama mereka yang mendapat amanah sebagai bagian gugus tugas.

Santri dan Pembelajaran Era New Normal

Bagaimana Pesantren Tebuireng beradaptasi di pembelajaran era kenormalan baru? Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tertua memiliki tradisi yang sangat bagus berupa penanaman ilmu dan akhlak secara bersamaan.

Mengacu pada kitab Adabul Alim wal Mutaallim karya Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari, mempelajari ilmu agama tidak akan baik jika tidak didasari dengan penanaman akhlak. Bahkan, akhlak atau adab dinyatakan lebih penting daripada ilmu itu sendiri.

Maka apabila memang dirasa perlu untuk mengupayakan itu di era kenormalan baru ini, haruslah tetap dilaksanakan dengan mengikuti aturan protap kesehatan yang dikeluarkan oleh pemerintah maupun lembaga kesehatan lain, seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI).

Kesinambungan ilmu dan akhlak telah terbentuk sedemikian rupa dan sejak lama dalam tradisi pembelajaran di pesantren. Pengajian-pengajian, praktik ubudiyah, serta interaksi harian para santri adalah salah satu wujud tradisi yang secara esensial mengandung upaya penanaman ilmu dan akhlak yang berkesinambung tersebut.

Hal ini merupakan keunggulan pesantren yang tidak dimiliki oleh lembaga pendidikan lain. Ketika pembelajaran tatap muka tidak bisa dilakukan, pesantren kesulitan mewujudkan keunggulannya.

Pada mulanya, semua lembaga pendidikan melakukan adaptasi pembelajaran melalui sistem dalam jaringan (daring). Hal itu juga dilakukan oleh Pesantren Tebuireng. Hanya saja, sistem daring memiliki banyak sekali kelemahan yang sangat jauh dari idealitas pembelajaran pesantren.

Selain masalah infrastruktur jaringan internet, salah satu masalah yang cukup menghawatirkan adalah gap kompetensi (competency divide) di kalangan guru. Lumayan banyak guru yang belum sepenuhnya siap untuk melakukan pembelajaran daring ini.

Survei dari Kemendikbud (2020) juga mengungkap bahwa lebih dari 76% guru mengaku lemah dari sisi penguasaan teknologi digital untuk pembelajaran. Akibat ketidaksiapan ini, di awal-awal pandemi tak sedikit guru yang alih-alih melakukan pembelajaran daring malah memberikan tumpukan tugas kepada para siswa.

Survei dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada April 2020 menunjukkan bahwa mayoritas guru lebih banyak melakukan pembelajaran daring dengan memberikan penugasan kepada siswa melalui beberapa platform seperti Whatsapp di awal-awal kewajiban belajar daring.

Bahkan survei dari lembaga yang sama juga melaporkan bahwa 58,8% guru yang disurvei, mengaku memberikan tugas yang sama untuk semua siswa tanpa mempertimbangkan kondisi sosial ekonomi dan personal siswa.

Selain masalah-masalah di atas, ada satu lagi masalah yang sangat berlawanan dengan idealitas pesantren, yaitu pengawasan terhadap proses belajar mengajar. Kontrol sekolah terhadap perkembangan anak menjadi sangat sulit, sehingga terkesan apa adanya.

Salah satu bentuk miskontrol dalam metode ini adalah ketidaksiapan dalam memberikan ruang-ruang pada nilai-nilai etis di dalam prosesnya. Etika-etika pembelajaran menjadi tidak teratur dan sulit diketahui faktanya. Masalah itu berdampak kepada pembelajaran pesantren yang tidak maksimal, di mana tidak semua orang tua dapat mendampingi anaknya dengan baik.

Fungsi kontrol yang berpindah dari sekolah kepada orang tua menjadikan hal itu sulit diawasi karena berbagai faktor.

Pertama, Faktor internal yang bisa disebabkan oleh orang tua yang sibuk bekerja, latar belakang pendidikan orang tua yang kurang memadahi, atau kondisi perekonomian keluarga yang kurang mencukupi. Sementara itu, juga bisa dari faktor eksternal, yaitu kondisi lingkungan masyarakat yang menaungi dan perkembangan teknologi seperti game, media sosial, dan aplikasi hiburan lainnya.

Saat pembelajaran daring pun, diketahui banyak kasus siswa tidak berlaku etis, misalkan belajar sambil tidur-tiduran, bermain game dan media sosial saat pembelajaran berlangsung, dan kasus lain yang sejenis.

Untuk itu, perlu peninjauan nilai etis terhadap sistem daring dalam pembelajaran pesantren yang sejatinya adalah sistem pembelajaran yang menjunjung tinggi nilai etika, moral, dan akhlak. Dengan kata lain, sistem pembelajaran daring hari ini jauh dari kata laik untuk menggantikan sistem tatap muka di pesantren.

Tantangan dan Peluang

Kenormalan baru di pesantren yang mengupayakan pembelajaran di era kenormalan baru tentu memiliki tantangan-tantangan yang harus dihadapi.

Tantangan paling utama adalah faktor kesehatan yang terwujud dalam kemampuan pesantren untuk memastikan para santrinya beserta pengajar dan pengurus terhindar dari paparan covid-19.

Tantangan kedua, yaitu faktor psikologis para santri atas kecemasan yang disebabkan oleh jarak yang jauh dari keluarga, informasi menyeramkan yang berkelindan di jagad media, tentang wabah, serta tingkat kejenuhan di dalam pesantren.

Menghadapi tantangan seperti itu, Pesantren Tebuireng membentuk gugus tugas untuk menanggulangi covid-19 seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Gugus tugas bekerja sama dengan segenap elemen pengurus dan pimpinan Pesantren Tebuireng serta Majelis Keluarga KH. Hasyim Asy’ari, bertugas memastikan sterilisasi lingkungan pesantren dari paparan covid-19.

Upaya medis atas pencegahan covid-19 dilakukan melalui protokol kesehatan yang ketat. Ini adalah bentuk ikhtiar lahir yang dilakukan oleh Pesantren Tebuireng.

Jamak diketahui bahwa santri telah terbiasa hidup di satu lingkungan saja. Mereka hanya beraktivitas di dalam pesantren. Hal ini merupakan peluang yang dimiliki pesantren untuk memaksimalkan sterilisasi lingkungan dari paparan covid-19.

Pesantren hanya perlu memaksimalkan pengawasan yang lebih ketat atas hal itu, memastikan bahwa para santri tidak melakukan mobilitas keluar-masuk pesantren. Problem klasik yang muncul ketika hal itu dilakukan adalah timbulnya stress dan kejenuhan.

Sebelum pandemi covid-19 terjadi, santri memang dibatasi perihal keluar pesantren, tetapi mereka masih diberi kesempatan untuk keluar ke lingkungan sekitar pesantren di beberapa waktu khusus. Dalam kenormalan baru, izin tersebut tidak berlaku. Santri secara total tidak diperkenankan keluar dari lingkungan pesantren.

Maka, dapat diprediksi bahwa beban psikologis akan muncul berupa timbulnya stress dan kejenuhan yang mengancam kesehatan mental. Mengatasi kemungkinan problem psikologis semacam itu, Pesantren Tebuireng mengadakan beberapa kegiatan yang berorientasi refreshing.

Olahraga dengan berbagai pilihan jenis, senam bersama, menonton film, menonton bola, dan pengadaan fasilitas-fasilitas lain yang meringankan kepenatan santri, merupakan contoh di antara upaya tersebut.

Selain itu, himbauan untuk tetap berpikir positif atas segala hal yang terjadi dan terus melakukan introspeksi diri yang berorientasi spiritual juga digalakkan untuk mengatasi kemungkinan munculnya problem kesehatan mental.

Menarik untuk disebutkan di sini bahwa pesantren dengan sejarahnya yang panjang memiliki tawaran ikhtiar batin dalam menghadapi wabah seperti saat ini. Ikhtiar tersebut, yaitu melalui penggalakan pembacaan doa atau wirid.

Wirid “li khomsatun” atau Aji-Aji Limo yang belakang hari banyak dibaca masyarakat merupakan contoh dari tawaran itu. Wirid ini merupakan ijazah dari Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari.

Pada awal merebaknya informasi tentang Covid-19, Pesantren Tebuireng melalui KH. Mustaqim Askan mengijazahkan kembali wirid ini secara luas.

Diceritakan dari KH. Masduki Abdurrahman Perak bahwa di masa kepengasuhan Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari, pernah terjadi wabah. Waktu itu, seseorang yang sakit di pagi hari akan meninggal dunia di sore hari. Dalam kondisi demikian, Hadratussyaikh mengizahkan wirid “li khomsatun” kepada beberapa murid seperti KH. Abdul Wahab Hasubllah, KH. Bisri Syansuri, KH. Romli Tamim, dan KH. Syansuri Badawi.

Dalam penuturan KH. Agus Zaki Hadzik, ketika terjadi wabah, santri Pesantren Tebuireng dahulu mengitari pondok sembari membaca wirid tersebut sebagai ikhtiar batin agar terlindung dari wabah.

Amalan ini juga pernah diijazahkan oleh KH. Mahmad Baidlowi pada tahun 2010 ketika wabah flu babi merebak.

Kebangkitan Santri di Masa Pandemi

Ikhtiar lahir dan batin yang dilakukan Pesantren Tebuireng diharap mampu menanggulangi keresahan atas nasib pembelajaran para santri selama berbulan-bulan. Melalui program Pesantren Tangguh Semeru, para santri diajak untuk kembali menjalankan aktivitas pembelajaran di pesantren.

Hal itu menunjukkan bahwa para santri diajak untuk kembali mengenyam pendidikan ideal pesantren yang tidak hanya menitik-beratkan transmisi ilmu, melainkan juga menanamkan nilai-nilai akhlak atau etika yang lama tidak dapat dikontrol akibat pandemi.

Kembali ke pesantren adalah kunci kebangkitan santri di masa normal baru, dengan catatan mengikuti protap kesehatan yang ada. Jika pesantren mampu menciptakan lingkungan yang aman dari paparan covid-19, para santri akan bangkit dari ketidakjelasan pembelajaran yang secara luas dirasa oleh semua lembaga pendidikan.

Di pesantren, intensitas santri dalam belajar akan lebih optimal. Santri dapat menemukan kembali suasana yang nyaman dan kondusif untuk belajar. Walau tidak senyaman dan sekondusif sebelum pandemi, setidaknya mereka dapat menjalani hari-hari belajar dengan lebih baik daripada ketika mengikuti pembelajaran daring di rumah masing-masing.

Selain itu, pemenuhan kebutuhan batin dan kualitas ibadah juga lebih terkontrol jika santri kembali ke pesantren. Misalkan santri kembali rajin shalat berjamaah, puasa sunah, zikir, bershalawat kepada Rasulullah SAW, berziarah ke makam masyayikh, rutin membaca Yasin dan tahlil di malam Jumat, membaca Al-Kahfi dan Asmaul Husna di hari Jumat dan Selasa, serta rutin membaca Al-Waqiah setelah Subuh.

Ada pula membaca Maulid Diba’i, istigasah, Qunut Nazilah, dan lain sebagainya yang dapat meningkatkan spiritualitas mereka selama di pesantren. Potensi kebangkitan santri ini – sekali lagi – menyaratkan pesantren untuk menyiapkan banyak hal.

Pandemi covid-19 telah memberi pelajaran yang begitu berharga bagi santri dan pesantren berupa tuntutan untuk lebih memperhatikan kebersihan dan kesehatan. Pola hidup bersih dan sehat harus menjadi prioritas utama bagi semua pesantren dalam menjalankan kenormalan baru.

Selain itu, pemenuhan gizi dan nutrisi santri selama di pesantren juga harus menjadi perhatian khusus, agar santri dapat menjaga imunitas, kesehatan, kekebalan tubuh, dan daya pikir. Kebutuhan fisik seperti olahraga dan gerakan-gerakan dalam rangka kesehatan juga harus digalakkan untuk kebangkitan santri dalam mempertahankan diri dan melawan pandemi Covid-19 ini.

Semoga santri dan pesantren mampu menjalani kenormalan baru dengan baik.

*Pengasuh Pesantren Tebuireng Jombang