Sumber foto: http://rajapena.org/menyikapi-perbedaan-agama/

Oleh: Ana Saktiani Mutia*

Aku kembali melihat kejamnya dunia, terkaanku seolah tiada yang tak terbukti. Aku melihat, meski tak langsung. Aku merasakan, meski tak sedalam apa yang mereka rasakan. Sedetik setelah semua itu berlangsung, aku berfikir, bahwa manusia hanyalah menanti kematian. Setelah kematian, ia menginginkan surga. Lalu, mengapa surga yang mereka inginkan itu dengan cara melukai dirinya sendiri, bahkan melukai orang lain. Apakah tiada lagi cara lain untuk mendapatkan surga?”.

Indonesia mempunyai aneka ragam budaya, kepercayaan, dan bahasa. Sebagai salah satu negara yang memiliki wilayah kekuasaan terluas, sudah sepatutnya kita mampu menjunjung tinggi solidaritas dan toleransi. Baik toleransi dalam betuk agama maupun perbedaan yang sangat mendasar sekalipun.

Pada tahun 2018 ini, jumlah penduduk di Indonesia mencapai 261.890.900 jiwa, data tersebut berdasarkan hasil proyeksi sensus penduduk pada tahun 2010 yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Dari jumlah tersebut, masing-masing orang mempunyai karakter, budaya, bahasa, dan kepercayaan yang berbeda-beda pula.

Kemerdekaan Bangsa Indonesia berhasil direbut oleh rakyat atas dasar persamaan nasib. Dari adanya persamaan tersebut terbangunlah sikap toleransi, meski para pejuang kemerdekaan pada zaman dahulu juga berbeda keyakinan. Perbedaan keyakinan bukalah sebuah momok yang perlu dijadikan ajang adu kebenaran dalam beragama.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Mutakhir ini, Islam kembali dibuat gundah akan perbuatan tak bertanggung jawab yang dilakukan oleh sekelompok penganut aliran Jamaah Ansharud Daulah (JAD). Berbagai cara dilakukan oleh pihak kepolisian, TNI, dan bebeberpa aparat yang telah diterjunkan langsung untuk memburu para pelaku bom bunuh diri. Selain menyisir berbagai daerah yang diidentifikasi menjadi titik sasaran pelaku. Aparat juga melakukan penindakan pada setiap perempuan bercadar, mengingat identitas pelaku yang mengenakan cadar.

Adanya peristiwa tersebut, agama Islam kembali dianggap sebagai kepercayaan yang tidak mengajarkan sikap toleransi dan penganutnya dianggap kaum intoleran. Dengan tegas, ajaran Islam mematahkan diskriminasi tersebut, mengingat agama Islam mengajarkan kedamaian, cinta, dan kasih sayang.

Bukan hanya agama Islam yang mengajarkan cinta, kasih sayang, dan kedamaian, agama kristiani, Hindu, Budha, dan Konghuchu pun juga mengajarkan dasar-dasar dalam bertoleransi. Indonesia sebagai negara yang menjujung toleransi antar umat beragama, mengecam keras tindakan teroris yang merusak kedamaian.

Golongan radikalisme ini mengatasnamakan Islam sebagai identitas, mereka beranggapan, tindakan tersebut bagian dari jihad. Dengan melakukan hal tersebut, mereka berkeyakinan akan mati syahid dan masuk surga secara bersamaan. Imingan-imingan 70 bidadari cukup membuat mereka tergiur dan merusak nalar sehat.

Barang siapa membunuh seseorang, bukan karena orang itu membunuh orang lain, atau bukan karena berbuat kerusakan di bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh semua manusia. Barangsiapa memelihara kehidupan seorang manusia, maka seakan-akan dia telah memelihara kehidupan semua manusia” begitu kata Al Quran dalam surat al Maidah ayat 32. Satu ayat ini saja sudah mematahkan anggapan ‘ngawur’ itu.

Dalam agama Islam, Al Quran dan hadis menjadi pegangan yang harus didekap teguh dan mengajarkan untuk tidak saling memaksakan ajaran, apalagi membunuh. Begitu juga dalam Alkitab disebutkan, “Berusahalah hidup damai dengan semua orang dan kerjarlah kekudusan, sebab tanpa kekudusan tidak seorangpun akan melihat Tuhan” Alkitab Ibrani 12.

Isi dari kedua pedoman umat yang berbeda kepercayaan tersebut, sudah sangat jelas mengajarkan umatnya masing-masing untuk menjaga kerukukan satu dengan lainnya. Maka siapapun yang beragama apapun, jika melakukan kekerasan dan mengusik kedamaian umum, maka ia sesungguhnya tidak beragama, atau minimal tidak memahami agamanya dengan baik.

Berlebihan dalam Curiga

Teror bom yang kian masif mutakhir ini, membuat beberapa pihak merasa dirugikan. Bukan hanya para korban yang dirugikan. Umat muslim pun turut dirugikan dengan adanya peristiwa yang tengah terjadi saat ini. Mengingat identitas pelaku yang terekam kamera pengintai, tindakan diskriminatif mulai dirasakan oleh perempuan yang mengenakan cadar.

Beredar kabar, bahwa setiap perempuan yang memakai cadar diminta oleh aparat kepolisian membuka cadar, dengan tujuan untuk mengetahui identitasnya. Jika hal tersebut benar dan diperlukan, sebaiknya tindakan tersebut dilakukan oleh polisi wanita, agar tidak menghilangkan rasa hormat sebagai sesama umat beragama.

Dengan tidak mengurangi rasa hormat tersebut, lebih membuat perempuan bercadar merasakan haknya untuk mengamalkan apa yang telah mereka yakini, pelajari dan pahami.  Penggunaan cadar sendiri bukan sesuatu kewajibkan, dan masyarakat Indonesia tidak memberlakukan pemakaian cadar tersebut secara luas. Hal itu bukan berarti melarang keras masyarakat untuk memakai cadar. Yang diperlukan dalam menanggapi hal tersebut ialah kearifan dalam menyikapi perbedaan pandang, termasuk mengenai penggunaan cadar, karena hal itu juga bagian dari sikap toleransi, toleransi kepada umat beragama.

Hikmah dari adanya peristiwa mutakhir ini, semakin eratnya tali persaudaraan antar umat agama yang mengecam perbuatan golongan radikalisme. Solidaritas dan doa bersama antar umat beragama juga nampak jelas di Jombang, Kediri, dan berbagai kota lain, di mana berbagai kelompok dari banyak elemen masyakarat melakukan aksi solidaritas sebagai bentuk pertentangan pada teroris.

Namun, kerukunan ini, apakah harus terbentuk setelah adanya darah mengucur? Sebaiknya kerukunan tidak hanya selesai pada taraf simbolis dan seremonial keagamaan saja, tapi juga masuk pada tataran nilai-nilai kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan pertahanan, di mana seluruh warga negara Indonesia saling bahu-membahu dan tidak saling menjatuhkan.


*Mahasiswi Unhasy dan tim redaksi Majalah Tebuireng