
Hari itu udara pagi terasa dingin. Di rumah kecil mereka yang terletak di pinggir kota, Amira dan Gunawan berdiri di ambang pintu, memandangi putra mereka, Samudera, yang akan pergi merantau ke kota besar untuk melanjutkan pendidikan. Samudera, yang baru berusia delapan belas tahun, sudah berdiri dengan tas di punggungnya, wajahnya dipenuhi kebingungan antara rasa bangga dan rasa takut yang menggelayuti hatinya.
“Jaga diri baik-baik, Nak,” kata Amira dengan suara serak, matanya memerah karena menahan tangis. “Kami akan selalu mendoakanmu.”
Gunawan, yang biasanya tampak tegar, kali ini memeluk Samudera erat-erat. Tangan besar ayahnya seolah ingin menyampaikan ribuan pesan tanpa kata-kata.
“Jangan lupa pulang, Sam. Keberhasilanmu adalah harapan kami,” ujar Gunawan dengan suara rendah.
Samudera menatap mereka, hatinya teriris. Selama ini, mereka adalah dunia baginya. Meskipun mereka bukan keluarga kaya, namun kehangatan rumah mereka membuatnya merasa bahwa segala kekurangan bisa teratasi. Tapi kini, dia harus meninggalkan mereka untuk mengejar cita-citanya di kota yang jauh, tempat yang tak mengenalnya.
Dengan berat hati, Samudera melangkah pergi. Setiap langkahnya menuju bus yang akan membawanya ke kota besar terasa semakin berat. Tapi di dalam hatinya, ada sebuah keyakinan bahwa ini adalah langkah yang benar.
*****
Di sebuah kota yang jauh dari tempat kelahirannya, Samudera merasakan kehidupan yang jauh berbeda. Kota yang penuh hiruk-pikuk, orang-orang yang tak pernah mengenal satu sama lain, dan dunia yang terasa begitu asing. Pagi-pagi ia sudah berangkat ke kampus, dengan segala kesulitan yang harus ia hadapi: jarak jauh, biaya hidup yang tinggi, dan kelelahan yang mulai menggerogoti tubuhnya.
Tapi Samudera tahu, ia tak bisa menyerah. Setiap malam, meskipun tubuhnya letih dan pikiran mulai kusut, ia tetap melanjutkan belajar dengan tekun. Di tengah kesendirian, ia sering memikirkan orang tuanya yang kini hanya bisa ia sapa lewat telepon.
“Ibu, Ayah, aku baik-baik saja. Jangan khawatir,” kata Samudera suatu malam, ketika Amira meneleponnya.
Namun, Amira bisa merasakan suara anaknya yang terdengar lelah dan penuh kekhawatiran. “Samudera, jangan terlalu dipaksakan. Ingat, kesehatanmu lebih penting. Kami di sini selalu mendukungmu,” jawab Amira, meski di seberang sana ia menangis dalam diam.
Samudera merasa cemas. Setiap kali berbicara dengan ibu atau ayahnya, rasa rindu dan kekhawatiran datang begitu mendalam. Namun ia tahu, orang tuanya tidak akan bisa menahannya untuk pulang, sebab mereka pun tengah berjuang keras di rumah.
Di rumah, kehidupan Amira dan Gunawan tak pernah berhenti berputar. Meskipun Samudera sudah jauh di kota, mereka tetap bekerja keras untuk memastikan kebutuhan hidup keluarga mereka tetap tercukupi. Gunawan masih bekerja sebagai tukang bangunan, sementara Amira membuka warung kecil di depan rumah mereka.
*****
Setiap hari, setelah berjualan, Amira menulis surat-surat kecil untuk Samudera, meski hanya lewat pesan singkat. Di setiap pesan, Amira selalu mengingatkan anaknya untuk menjaga diri dan tidak melupakan asal usulnya.
“Jangan lupakan rumah kita, Sam. Ibu dan Ayah akan selalu menunggu kabarmu,” tulis Amira.
Gunawan, meskipun tidak pandai menulis pesan seperti istrinya, selalu mengingatkan Samudera dengan cara yang berbeda. Setiap malam, ia akan berdiri di depan rumah, menatap bintang-bintang yang membentang luas di langit. Ia tahu, di luar sana Samudera sedang berjuang. “Semoga Samudera berhasil. Biarlah bintang itu menjadi saksi,” katanya dalam hati, sambil menyeka peluh yang mengalir di wajahnya.
Waktu terus berlalu, dan Samudera semakin dekat dengan tujuannya. Meskipun beban hidup tak pernah ringan, ia menemukan kekuatan dalam setiap pesan dari orang tuanya. Suatu malam, setelah mengikuti ujian penting, Samudera duduk di kamarnya yang sempit, memandangi foto keluarga yang ia bawa.
Tiba-tiba, telepon berdering. Itu adalah Amira.
“Sam, Ibu hanya ingin bilang, kamu pasti bisa. Kamu adalah kebanggaan kami,” kata Amira dengan suara penuh kehangatan.
Samudera tersenyum tipis, air matanya hampir jatuh. Ia tahu, meskipun jauh, cinta mereka selalu menguatkan.
Esok harinya, Samudera bangun dengan semangat baru. Ia merasakan bahwa perjuangannya, meskipun berat, akan membuahkan hasil. Ia bertekad untuk kembali ke rumah, membawa kebanggaan yang telah lama dinantikan.
Di rumah, Gunawan dan Amira sedang menunggu dengan sabar. Mereka tahu, perjuangan Samudera tidak akan mudah, tetapi mereka yakin, suatu hari nanti, anak mereka akan pulang dengan membawa keberhasilan. Perpisahan ini bukanlah akhir, melainkan awal dari perjalanan panjang yang penuh harapan.
Dan pada akhirnya, Samudera tahu, apa pun yang terjadi, keluarganya adalah tempat pulang yang tak pernah pergi. “Kau tahu kapan dan ke mana harus kembali pulang nak.” Kalimat ayah dan ibu Samudera yang sudah mengakar diingatannya setiap kali terngiang perjuangan manis pahitnya di perantauan.
Penulis: Ummu Masrurah