Sumber foto: http://www.muslimfamilia.com/2016/05/dampak-negatif-perceraian-dibenci-allah.html

Oleh: KH. Fawaid Abdullah*

Thalaq atau Perceraian

Pada Zaman Jahiliyah yang dimaksud Thalaq atau pemisahan itu diartikan memisahkan antara dua istri. Maka ketika Islam datang, lalu hukum yang mengatur tentang ini di disyariatkan. Maka arti atau makna Thalaq adalah terputusnya akad, dan tidak halalnya status seorang istri bagi suaminya. Maka status pernikahannya menjadi hilang atau gugur atau berkurang sebab adanya Thalaq atau perceraian tersebut.

Thalaq dibagi menjadi dua; ada Thalaq Raj’iy dan Thalaq Baa-in. Thalaq Raj’iy itu dimana suami-istri masih ada waktu dan kesempatan boleh ruju’ atau kembali. Sedangkan Thalaq Baa-in, suami-istri tidak lagi diperbolehkan kembali. Kecuali ada Muhallil (pembahasan tentang ini sudah dibahas pada bagian sebelumnya).

Rukun Thalaq ada 4 yaitu: suami, istri, sighat (lafadz talak), & yang terakhir itu Al Qasdu atau bermaksud atau berniat dengan sengaja.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Pendapat para Imam Madzhab terkait hal ini sebagai berikut:

  1. Madzhab Hanafi & Hanbali:

“Rukun Thalaq itu hanya satu yaitu mewujudkan secara mutlak niat bercerai atau berpisah dengan istri atau suaminya”, yang diwujudkan dengan sighat secara sharieh atau secara jelas maupun secara kinayah atau sindiran.

  1. Madzhab Maliki dan Syafi’i:

“Thalaq itu hanya terjadi setelah seseorang itu melaksanakan pernikahan,” sebagaimana Hadist ini, “Laa Thalaqa iLLa ba’da Nikahin”, tidak ada perceraian kecuali setelah ada pernikahan,” maka tidak terjadi perceraian sebagaimana dalam Ta’liq Thalaq itu.

Bagaimana Thalaqnya seseorang yang sedang dalam keadaan marah?

Sebagian ulama membagi dalam tiga bagian:

  1. Keadaan marah itu tidak sampai merubah atau mempengaruhi akal sehat dari seseorang. Dalam kondisi seperti ini, maka tetap jatuh Thalaq.
  2. Keadaan marah yang dapat menyebabkan merusak atau merubah akal sehat, seperti orang gila yang tidak punya maksud atau niat Thalaq, tidak mengerti atau tidak sadar akan perkataannya. Maka keadaan seperti ini, tidak jatuh Thalaq.
  3. Keadaan marah yang sedang-sedang diantara dua kondisi (antara sadar dan tidak); yaitu di luar kebiasaan-kebiasaan seperti seseorang itu dalam keadaan gila. Dalam keadaan seperti ini, Jumhur Ulama berpendapat tetap jatuh Thalaq.

Prinsipnya, bahwa terkait masalah Thalaq atau perceraian, maka tidak boleh dibuat main-main, atau dibuat lelucon, dagelan dan sejenisnya. Juga tidak boleh dibuat coba-coba. Itulah Syariat Islam, ketika seseorang terlanjur mengucapkan sighat Thalaq baik secara sharieh atau jelas maupun secara kinayah atau sindiran, maka masih ada kesempatan untuk ruju’ atau kembali selagi masih dalam status hukum Raj’iy. Makanya, Allah SWT sangat membenci perceraian atau Thalaq; “Abghadlu Al Halali iLa Allah Al Thalaqu, sesuatu yang halal yang paling dibenci Allah itu adalah Thalaq atau perceraian.” [Lebih jelasnya, silakan dibuka dan dibaca Kitab Al Fiqh ‘ala Al Madzahib Al Arba’ah karya Syaikh Abdurrahman Al Juzairy, halaman 280-385, Juz 4, terbitan Daar el Fikr].

Kalam Ikhtishar, ringkasan

Tidak terasa, saya menulis tulisan kecil, sederhana dan ringkas, hari ini sudah hari ke-31, itu artinya sudah sekitar satu bulanan tiap pagi sebelum Subuh menyempatkan diri membuka dua kitab klasik, kitab yang jadi rujukan bagi kalangan santri dan pesantren, yaitu kitab karya Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari dan kitab karya Syaikh Abdurrahman Al Juzairy.

Tentu tulisan ini sangat banyak kekurangan dan kelemahan di sana-sini, bahkan kekeliruan karena kelemahan dan keterbatasan-keterbatasan. Semoga Allah memaafkan. Maka koreksi dari semua pihak sangat diharapkan.

Kenapa saya tulis tentang SEPUTAR PERNIKAHAN menurut dua Kitab ini, yaitu Kitab Dlau’ Al Mishbah & Kitab Al Fiqh ‘ala Al Madzahib Al Arba’ah? ini semata-mata karena saya melihat dan membaca perlu kiranya kita semua mempelajari dan perlu tahu bagaimana pandangan dan pendapat kedua ulama besar ini dalam kurun waktu dan zaman yang berbeda. Tulisan ini (mungkin) tidak mewakili keseluruhan dari kedua ulama ini, tetapi setidaknya sebagian kecil sudah saya paparkan dalam bentuk tulisan sederhana dan singkat ini.

Pernikahan itu sesuatu yang sangat terhormat, sakral, dan bahkan sangat agung. Itu lah kenapa Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari menyampaikan dalam kalam Ikhtishar dalam kitab karya beliau ini,  bahwa:

“Dalam adabnya, seorang perempuan yang menjadi istri hendaknya melakukan kesibukan-kesibukan di dalam rumahnya, sedikit bicara dengan tetangganya (seperlunya saja), menjaga diri baik suaminya sedang berada di rumah maupun sedang tidak ada di rumah, selalu mencari kegembiraan disetiap urusan-urusan rumah tangganya, tidak keluar rumah kecuali atas seizin suaminya, menjaga diri dari pandangan ketika berjalan serta tidak toleh kanan toleh kiri, menjauhi diri dari bersama laki-laki kecuali hanya disebabkan ada alasan penting dan diketahui suaminya, menyayangi anak-anaknya, menjaga rahasia rumah tangga, tidak bersuara keras yang tidak pada tempatnya dan lainnya.”

Apa yang disampaikan oleh Hadratussyaikh di atas ini, memberikan gambaran kepada kita bahwa pernikahan yang baik itu, adalah pernikahan di mana kedua belah pihak yaitu suami istri sama-sama punya tanggung jawab, melaksanakan kewajiban-kewajiban masing-masing pihak, dan sama-sama menerima hak masing-masing dari suami-istri secara baik dan benar sesuai dengan apa yang dilakukan dan dicontohkan baginda Nabi, Rasulullah SAW sebagai junjungan dan panutan kita semua sebagai umat beliau.

Ikhtitam! semoga kita semua selalu dalam ridla, hidayah, dan ma’unah Allah. Diberikan kesehatan dan umur panjang serta kehidupan dan keluarga yang barokah, bahagia di dunia dan selamat di akhirat. Rabbana aa-tinaa fid dun-yaa hasanah wa fil akhirati aasanah wa qina ‘adzaabannaar. Aaamiiin…

Allahumma ikfinaa bi halalika ‘an haramika, wa aghninaa bi fadlika ‘amman siwaaka.


*Santri Tebuireng 1989-1999, Ketua Umum IKAPETE Jawa Timur 2006-2009, saat ini sebagai Pengasuh Pesantren Roudlotut Tholibin Kombangan Bangkalan Madura.


*Disarikan dari Kitab Dhaul Misbah fi Bayani Ahkam an Nikah, karya Hadratussyaikh Kiai Hasyim Asy’ari  dan Kitab Madzahib al Arba’ah karya Imam Abdurrahman Al Juzairy.