Aswaja – ahlus sunnah wal jamaah

Oleh: Luluatul Mabruroh*

Setiap organisasi, kelompok, faham ataupun aliran tertentu pasti memiliki ciri khas dan karakter tertentu yang membedakan dengan yang lainnya. Begitu pula dengan faham Ahlussunnah Wal-Jama’ah yang bersandar kepada Rasulullah SAW, para sahabat dan tabi’in, tentu memiliki karakter yang berbeda dengan faham-faham yang lainnya. Ahlussunnah wal-Jama’ah memiliki empat karakter pokok, diantaranya adalah tawassuth, tawazun, i’tidal, dan tasamuh.

Tawassuth merupakan sikap tengah-tengah atau sedang-sedang diantara dua sikap yang saling berlawanan. Sikap tawassuth merupakan sikap yang tidak terlalu keras (fundamentalis) ataupun terlalu bebas (liberalisme). Dengan sikap inilah Islam bisa diterima di berbagai lapisan masyarakat. Allah Swt berfirman dalam surat al-Baqarah ayat 143:

“Dan demikianlah kami menjadikanmu (umat Islam), umat yang adil (tengah-tengah) dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas perbuatan kamu. (QS al-Baqarah : 143)

Jadi, dalam faham Ahlussunnah wal-Jama’ah tidak dibenarkan untuk membuat alasan atas nama agama dan berjihad semena-mena tanpa pertimbangan mudhorot kepada yang lainnya. Faham Aswaja menghendaki sikap yang lemah lembut terhadap sesama manusia pada umumnya dan pada sesama muslim pada khususnya. Tidak dibenarkan asal mengkafirkan dan menuding orang, ataupun kelompok lain bersalah tanpa hukum yang jelas dan prosedur yang jelas.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Begitu pula, tawazun artinya tidak menghendaki kebebasan yang melampaui batas (liberalisme) yang mana mengagungkan kebebasan ideologi dan bahkan membenarkan semua agama dan semua Tuhan. Yang dikehendaki dari sikap tawazun adalah sikap ditengah-tengah antara keduanya.

Karakter yang kedua adalah sikap Tawazun. Tawazun adalah sikap seimbang dalam segala hal, baik dalam ibadah yang berhubungan langsung dengan Allah Swt (hablun min Allah) ataupun hubungan dengan sesama (hablun min an-nas). Termasuk juga keseimbangan di dalam menggunakan dalil akal (aqli) dan dalil syara’ (naqli). Karakter tawazun (keseimbangan) sangat penting dalam upaya menyeimbangkan antara hak dan kewajiban setiap manusia dengan Tuhannya, manusia dengan sesamanya, manusia dengan makhluk yang lain seperti hewan, tumbuh-tumbuhan, dan lainnya. Karakter ini sesuai dengan firman Allah swt dalam surat al-Hadid ayat 25:

“Sesungguhnya kami telah mengutus para Rasul kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah kami turunkan bersama mereka al-Kitab dan timbangan (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan.” (QS.. al-Hadid: 25)

Karakter yang ketiga adalah I’tidal. I’tidal merupakan sikap adil, jujur, dan apa adanya. Ahlussunnah wal-Jama’ah selalu menegakkan dan menjalankan keadilan kepada siapapun, dimanapun, kapanpun dan dalam kondisi apapun berdasarkan pertimbangan kemaslahatan bersama. Dengan sikap I’tidal diharapkan terwujudnya, kesejahteraan, keadilan dan kemakmuran sesuai dengan dasar Indonesia, Pancasila. Sehingga pada gilirannya akan tercipta masyarakat yang adil dan makmur. Sikap ini merupakan sebuah kewajiban dari ajaran syari’at Islam. Sebagaimana firman Allah dalam surat al-Ma’idah ayat 8:

“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Maidah : 8)

Karakter yang ketiga adalah Tasamuh. Tasamuh merupakan sikap saling menghargai, dan menghormati (toleransi). Artinya, dalam kehidupan, Ahlussunnah wal-Jama’ah selalu bersikap menghargai dan menghormati orang atau kelompok lain yang berbeda pandangan, karena perbedaan merupakan sebuah keniscayaan yang tidak bisa dihindari. sikap Tasamuh bukan berarti membenarkan segala perilaku orang lain atau kelompok lain yang berbeda, akan tetapi semuanya harus tetap berada pada jalan yang telah ditetapkan oleh Syari’at. Artinya mengatakan kebenaran jika hal itu dinilai benar dan mengatakan salah jika hal itu dinilai salah. Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt dalam QS.Thaha :44.

“Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut” (QS. Thaha : 44)


*Mahasiswa Unhasy Tebuireng Jombang.


Disadur dari buku Ahlussunnah wal-Jama’ah  karangan K. Abdul Mannan.