
Mendengar istilah “Santri”, yang terbayang adalah seseorang yang suci hati, pikiran, perkataan, dan perbuatannya. Tidak sedikit yang mencoba mendefinisikan makhluk spesial ini, termasuk Dr. Jamal Ma’ruf Asmani, M.A. Beliau di dalam bukunya yang berjudul, “Jihad Keilmuan dan Kebangsaan Pesantren” mendefinisikan santri sebagai para pengelana yang haus ilmu dan kearifan sehingga mampu menerima pancaran sinar kiai dengan jernih. Mereka menimba ilmu hanya bermodalkan nekat dan tekad. Kendati demikian, mereka menyerap ilmu kiai sedalam-dalamnya untuk memuaskan dahaga ilmu yang membara di dada.
Pesantren yang menjadi tempat mereka mencari ilmu menjadi tempat belajar yang paling baik nan indah. Selain itu, pesantren merupakan institusi pendidikan keagamaan indigenous, khas Indonesia. Beratus tahun sudah pesantren lahir, tetapi pesantren masih tetap eksis dan terus berkembang dalam dinamika alam yang terus bergerak, berganti, berubah, dan tanpa kehilangan jati dirinya.
Menurut sejarahnya, embrio pesantren adalah padepokan yang didirikan oleh Sunan Ampel sebagai pusat pendidikan di Jawa yang santrinya berasal dari berbagai penjuru Nusantara pada abad ke-15. Aktivitas yang ada di dalamnya penuh untuk ibadah dan belajar di bawah naungan ulama. Pada tempat inilah para santri adalah keluarga.
K.H. MA. Sahal Mahfudh di dalam karya beliau yang berjudul Pesantren Mencari Makna menjelaskan dua tugas agung pesantren sebagai lembaga pendidikan dan lembaga kemasyarakatan. Tugas pertama yaitu membekali santri kemampuan agama secara mendalam (tafaqquh fiddin). Tidak hanya membekali santri dalam kemampuan agama, akan tetapi membekali kemampuan melakukan sosialisasi di tengah masyarakat (indzarul qaum) dan hal ini menjadi tugas kedua pesantren.
Sebelum masuk ke ranah hal yang dilakukan setelah menjadi santri, nampaknya kita harus mengetahui tugas seorang santri sehingga setelah mengetahui tugasnya bisa memahami mengenai langkah yang harus diambil dalam menunaikan tugas tersebut. Setidaknya, seorang santri mempunyai dua tugas besar.
Pertama, mendalami ilmu agama (tafaqquh fiddin) dengan pemahaman kontekstual sehingga mampu merespons problematika kontemporer dengan nas.
Kedua, mendidik dan membimbing masyarakat menuju jalan yang benar sesuai petunjuk Allah Swt. dan Rasul-Nya.
Baca Juga: Semangat Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari Ketika Nyantri
Tugas yang pertama mengharuskan santri menjadi ilmuwan yang mumpuni. Materi-materi yang dipelajari dan dipahami di antaranya adalah ilmu alat, fikih, tauhid, tafsir al-Quran maupun hadis, dan ilmu tasawuf. Adapun tugas yang kedua mengharuskan santri menjadi aktivis sosial yang gethol bergumul dengan problematika sosial yang kompleks. Tugas kedua ini merupakan implementasi dari tugas yang pertama. Masyarakat menjadi kawah candradimuka para santri dalam mengamalkan ilmunya.
Kemudian, setelah mengetahui tugas seorang santri dan jika sudah menjadi santri, mau apa?
Setelah melihat tugas besar nan agung dari pesantren dan santri, seorang santri memiliki tanggung jawab untuk meneruskan perjuangan ulama-ulama yang mempunyai kompetensi meneguhkan agama dan bangsa. Terlebih lagi di zaman sekarang, tantangan dunia semakin berat sehingga tanggung jawab seorang santri pun menjadi lebih berat. Jadi, tidak ada kata tidak bagi seorang santri. Hal tersebut menjadi sebuah keniscayaan yang harus diemban dalam kehidupan ini. Seharusnya hal tersebut tidak menjadi beban yang berarti bagi santri, karena mereka sudah dididik oleh kiai, lahir maupun batin, sehingga ilmu; akhlak; dan kematangan sosial yang ditempa di pesantren harus digunakan untuk memberikan kemanfaatan sebesar-besarnya kepada masyarakat.
Memberikan kemanfaatan pada khalayak umum memang sudah seharusnya menjadi tujuan utama bagi seseorang yang berstatus “santri”, sehingga keilmuan yang mereka dapatkan di pesantren tidak sekadar “wacana”. Sebenarnya hal tersebut sudah menjadi hal yang sangat lumrah diketahui oleh santri, bahwasanya muqim (baca: menempati tempat tinggal) harus menebarkan ilmu agama dengan cara memberikan berbagai kemanfaatan kepada khalayak. Lebih dari itu, sebaik-baiknya manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain, sesuai hadis Nabi Saw.
خير النّاس أنفعهم للنّاس
Artinya: “Sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia lain.”
Saya rasa, ini menjadi satu-satunya hal yang harus dilakukan seseorang setelah dianggap sebagai “santri”. Kemudian, cara untuk melakukannya itu dikembalikan kepada masing-masing individu. Memberikan kemanfaatan adalah sebuah prinsip yang tidak bisa ditawar dan cara menjalankan prinsip tersebut bisa dikondisikan menyesuaikan situasi dan kondisi. Dengan kata lain, kita harus fanatik terhadap prinsip akan tetapi cara dalam menjalankan prinsip harus fleksibel karena kita tidak mampu mengontrol laju keadaan.
Baca Juga: Kiai Syansuri Badawi: Romantisme Nyantri di Tebuireng
Termasuk memberikan kemanfaatan kepada khalayak yakni santri tidak ragu untuk turun tangan mbarengi masyarakat melalui musala-musala; langgar-langgar; masjid-masjid. Jadi, santri pulang tidak harus mendirikan pondok pesantren dan menganggap bahwa meyalurkan ilmunya hanya di sebuah tempat yang dinamakan pondok pesantren.
Tapi, saya juga tidak masalah kepada santri yang memang memiliki privilege keturunan keluarga yang memiliki pondok pesantren sehingga ketika muqim menyalurkan ilmunya di pondok pesantren milik keluarganya tersebut. Menjadi masalah ketika santri muqim orientasinya adalah mendirikan pondok pesantren dan menganggap pondok pesantren tersebut satu-satunya tempat yang bisa digunakan untuk menyalurkan ilmunya.
Jika semua santri muqim orientasinya mendirikan pondok pesantren dan menyalurkan ilmunya hanya di pondok pesantren tersebut, lantas di musala-musala; langgar-langgar; masjid-masjid siapa yang akan mbarengi? Santri harus paham bahwa jalan dakwah setiap individu itu berbeda-beda. Tentu ada santri yang memangku pondok pesantren, tetapi harus ada juga santri yang berdakwah di musala-musala; langgar-langgar; dan masjid-masjid.
“Jadi, mari renungkan bersama tugas dan tanggung jawab kita sebagai santri.”
“Setelah menjadi santri, mau apa? Tentu memberikan kemanfaatan.”
Akhir kata, memberikan kemanfaatan menjadi prinsip dan orientasi utama bagi seorang santri. Adapun cara dalam mencapai orientasi tersebut kita harus fleksibel, harus paham bahwa jalan dakwah setiap individu berbeda-beda.
Penulis: Muhammad Luthfi Anam Khoirudin