Oleh: Dhonni Dwi Prasetyo*
Praktik poligami sejak dulu telah menjadi realita dalam kehidupan rumah tangga. Praktik ini kian lestari sebab masih terus saja terjadi hingga hari ini. Padahal, praktik poligami sendiri sejatinya tidak sesuai dengan prinsip dasar pernikahan.
Pada dasarnya, pernikahan itu dilakukan oleh sepasang kekasih atas dasar komitmen kasih sayang dan kesalingan dalam berbuat kebaikan. Tujuan pernikahan sendiri ialah untuk memperoleh kedamaian dan kebahagiaan dalam kehidupan berumah tangga. Agama Islam hadir dengan membawa ‘wacana pencerahan’ demikian. Namun, dengan adanya praktik poligami, apakah tujuan pernikahan berupa mendapatkan kedamaian dan kebahagiaan tersebut dapat tercapai? Jawabannya sudah pasti tidak.
Praktik poligami justru menyebabkan tujuan pernikahan tidak tercapai. Kedamaian dan kebahagiaan hidup berumah tangga akan sulit tercapai sebab adanya praktik poligami yang dilakukan suami. Alih-alih mendapatkan kasih sayang sejati yang adil dari suami, justru istri merasa sedih dan tersakiti hatinya sepanjang hidupnya akibat ulah suami yang ‘tega’ memadunya. Pada intinya, pihak yang paling dirugikan dari praktik ‘menyimpang’ ini adalah istri.
Di dunia ini, lazimnya hampir tidak ada istri yang mau dimadu. Karena, pada dasarnya seorang istri ingin menjadi satu-satunya pasangan yang dicintai oleh suaminya, bukan sekadar salah satunya. Suami yang bijak pasti akan memperhatikan dan mengutamakan perasaan istrinya dibanding menuruti kepuasan nafsu seksualnya dengan melakukan poligami.
Baca Juga: Poligami; Mengejar Sunah atau Menambah Lara?
Di samping itu, ketika seorang suami benar-benar mencintai perempuan yang pertama (istrinya), pasti dia tidak akan pernah jatuh cinta pada perempuan yang kedua, ketiga, dan seterusnya. Logikanya, kalau ada laki-laki yang sudah menikah, tetapi malah mencintai perempuan lain selain istrinya, maka sejatinya ia tidak benar-benar mencintai istrinya sebagai pasangan hidupnya.
Melalui tulisan ini, penulis bukan bermaksud ‘mengharamkan’ praktik poligami yang sejatinya memang legal dalam syariat Islam dengan syarat tertentu, melainkan ingin menyuarakan aspirasi kaum perempuan yang kerap menjadi ‘korban’ poligami bahwa poligami bukanlah perkara yang dianjurkan dalam Islam. Sebaliknya, justru Islam menjadi agama yang menganjurkan praktik monogami dalam pernikahan.
Hal ini sebagaimana firman Allah SWT berikut:
وَاِنۡ خِفۡتُمۡ اَلَّا تُقۡسِطُوۡا فِى الۡيَتٰمٰى فَانْكِحُوۡا مَا طَابَ لَـكُمۡ مِّنَ النِّسَآءِ مَثۡنٰى وَثُلٰثَ وَرُبٰعَ ۚ فَاِنۡ خِفۡتُمۡ اَلَّا تَعۡدِلُوۡا فَوَاحِدَةً اَوۡ مَا مَلَـكَتۡ اَيۡمَانُكُمۡ ؕ ذٰ لِكَ اَدۡنٰٓى اَلَّا تَعُوۡلُوۡا ؕ (٣)
Artinya: “Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim.” (QS. An-Nisa [4]:3).
Dalam memahami ayat di atas, kebanyakan orang hanya fokus ‘perintah’ menikahi perempuan sebanyak dua, tiga, atau maksimal empat. Namun, mereka gagal paham tentang keterangan berikutnya bahwa tatkala seorang laki-laki khawatir tidak mampu berbuat adi dan kebanyakan realita yang terjadi memang laki-laki tidak mampu adil, terlebih dalam memberikan kasih saying maka ia dianjurkan untuk menikahi satu perempuan saja.
Mengenai konsep adil ini, Allah SWT sejatinya telah memberikan isyarat ‘peringatan’ dalam firman-Nya berikut:
وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّساءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلا تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوها كَالْمُعَلَّقَةِ وَإِنْ تُصْلِحُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كانَ غَفُورًا رَحِيمًا (١٢٩)
Artinya: “Dan kamu tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. An-Nisa [4]:129).
Dalam ayat di atas, Allah SWT telah memperingatkan bahwa seorang laki-laki tidak mungkin bisa berbuat adil kepada istri-istrinya. Imam al-Qurthubi dalam kitab Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an memaknai ‘ketidak-mungkinan’ pada ayat tersebut sebagai berikut:
قَوْلُهُ تَعَالَى: (وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّساءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلا تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ) أَخْبَرَ تَعَالَى بِنَفْيِ الِاسْتِطَاعَةِ فِي الْعَدْلِ بَيْنَ النِّسَاءِ، وَذَلِكَ فِي مَيْلِ الطَّبْعِ بِالْمَحَبَّةِ وَالْجِمَاعِ وَالْحَظِّ مِنَ الْقَلْبِ
Artinya: “Dalam firman Allah SWT (ayat 129 dalam surah An-Nisa’) ini, Allah SWT memberitahukan tentang ketidakmampuan (seorang suami) berbuat adil di antara istri-istrinya. Dan ketidakmampuan berbuat adil ini terletak dalam aspek non-material seperti kecenderungan perasaan cinta dan kecenderungan dalam menggauli, dan juga (memberikan kesamaan) perhatian dari hati.” (Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an, 5/407).
Karena tidak mungkin, maka tidak menjadi kewajiban bagi pelaku poligami untuk berlaku adil pada aspek-aspek non-material tersebut. Sementara untuk aspek material, seperti nafkah, rumah, dan lainnya, tetap diwajibkan berlaku adil.
Peringatan Allah SWT dalam ayat ini, sejatinya lebih mengisyaratkan bahwa poligami itu penuh dengan resiko yang tidak mudah setiap orang lakukan. Maka dari itu, melakukan praktik monogami merupakan jalan yang lebih selamat. Sebab, lebih memungkinkan seorang laki-laki untuk tidak terjebak pada perilaku tidak adil, baik dari segi material maupun non-material.
Lebih lanjut, ayat ini sebenarnya tidak tepat jika kita pahami sebagai penafian terhadap kewajiban bertindak adil pada aspek non-material. Ayat ini akan lebih tepat bila dipahami sebagai dalil tentang peringatan dan kewaspadaan, agar seseorang berpikir seribu kali ketika ingin atau sudah berpoligami. Ini adalah bukti bahwa sejak berabad-abad lalu Islam telah menganjurkan praktik monogami dalam pernikahan.
Memang benar dalam Al-Qur’an ada ayat yang menjelaskan bahkan seolah memerintahkan tentang poligami. Akan tetapi, kita jangan sampai keliru dalam memahami informasi yang terkandung dalam ayat Al-Qur’an tersebut, sehingga menyebabkan salah paham dan mengakibatkan orang yang melakukannya menjadi berpaham salah.
Kita mesti memahami informasi yang ada dalam Al-Qur’an secara berhati-hati, teliti, dan tidak sembarangan dalam mengambil konklusi hukum atasnya. Ketika kita sebagai umat Islam memperhatikan dan menerapkan hal-hal demikian ini, maka ketika memahami ayat Al-Qur’an tentang poligami, kita tidak akan lagi menganggap praktik poligami sebagai perintah Tuhan yang wajib dilakukan, melainkan meyakini bahwa praktik monogami-lah yang dianjurkan dalam agama Islam. Wallahu a’lam.
Baca Juga: Kesalahpahaman Tentang Poligami
*Alumnus Pondok Pesantren Raudlatul Ulum Guyangan dan Universitas Negeri Semarang.
Referensi:
Al-Qur’an Al-Karim.
Al-Qurthubi. Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an. (link akses: https://app.turath.io/book/20855 ).