buku: Identitas Politik Umat Islam
  • Judul: Identitas Politik Umat Islam
  • Penulis: Prof. Dr. Kuntowijoyo
  • Penerbit: IRCiSod
  • Cetakan: Pertama, 2018
  • Tebal: xxvi + 307 hlm
  • Peresensi: Muhammad Masnun*

Buku atau kitab tentang politik (siyasah) dalam Islam klasik di antaranya karya Al Farabi (878-950), Al Mawardi (wafat 1058), dan Ibnu Taimiyah (1263-1328), menekankan syariah dan kesalehan pribadi, karena diasumsikan negara kerajaan. Sedangkan yang lebih modern, karya Tjokroaminoto, tulisan tahun 1924, dengan sosialisme Islamnya, masih dibayangi dengan negara kolonial. Selain itu ada pula Abdul A’la Al-Maududi dan Musthafa Husni As-Siba’i dengan asumsi negara republik dengan pemahaman sistem.

Salah satu tujuan politik adalah mengatasi kesenjangan. Kuntowijoyo menjelaskan bahwa yang bisa ditangani oleh politik ialah kesenjangan struktural. Untuk kesenjangan natural atau alamiah bisa diatasi dengan zakat, infak, dan shadaqah. Kesenjangan natural terjadi karena perbedaan kepandaian, nasib, dan lokasi. 

Kesenjangan struktural terjadi karena pilihan atau aturan politik. Di masa penjajahan, Belanda mengutamakan pengusaha nonpribumi atas inlander yang muslim dengan alasan keamanan. Akibatnya orang nonpribumi ekonominya mampu naik lebih cepat dan jaringan yang luas daripada inlander. 

‎Islam berpendapat bahwa Tuhan adalah pusat (teosentris). Maka dari itu perlu diterjemahkan dalam lembaga dan budget. Lembaga eksekutif dan legislatif sama-sama pentingnya dalam penyusunan budget. Umat Islam harus berperan dalam menyukseskan pembangunan, dan tujuan akhir pembangunan adalah perubahan. Perubahan kesadaran jauh lebih permanen daripada perubahan materi.

Proses perubahan yang baik terjadi bila semua elemen yang ada mampu bersinergi. Pemerintah/negara dengan strukturnya menyongsong pemberdayaan masyarakat, civil society dengan perbaikan moral individu, dan mobilitas sosial dengan usaha secara sadarnya. Bagi orang yang sering membaca tulisan Kuntowijoyo pasti sudah paham tentang mobilitas sosial.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Mobilitas sosial adalah perubahan kondisi masyarakat bawah ke posisi menengah. Peningkatan posisi ini memunculkan kesadaran untuk bergerak bersama dan sistematis. Selama abad ke-19 perlawanan terhadap penjajahan berpusat di desa. Pada awal abad ke-20 muncul golongan terpelajar dan golongan pedagang sebagai kelas menengah baru di kota-kota dan membentuk SI (Sarekat Islam). Kemudian akhir abad ke-20 kaum terpelajar dan usahawan muslim menjadi kelas menengah dan memunculkan ICME (Ikatan Cindekiawan Muslim Indonesia). Kelompok-kelompok ini dengan kesadarannya mampu membentuk pergerakan untuk mencapai tujuan bersama.

Umat Islam tidak perlu bersikap apolitik, namun harus bersikap kritis terhadap politik. Kepemimpinan politik di Indonesia lahir dari sejarah, budaya, dan harapan-harapan masyarakat. Politik di zaman paska kemerdekaan atau proklamasi cenderung keideologi. Berlanjut dengan kepemimpinan pragmatis di zaman orde baru. Guru Besar UGM ini mewanti-wanti agar dalam memilih pemimpin untuk mengutamakan legal-rasional, bukan kepada karismatik. Kepemimpinan rasional berdasarkan hukum dan bukan berdasarkan atas wibawa perorangan. (hlm. 226)

Nilai yang perlu dijunjung tinggi oleh umat adalah keadilan. Menjadikan semua orang memiliki hak yang sama, apabila harus memilih maka kaum tertindaslah yang diutamakan. Kepentingan politik umat Islam adalah (1) moralitas (jalan Allah, sabilillah), (2) perubahan struktur (jalan kaum teraniaya, sabilil mustadafin), (3) mekanisme politik yang baik (jihad besar melawan ‘nafsu politik’). (hlm. 250)

Islam tidak melihat konflik sebagai dasar pergerakan. Malah melihat unit sosial yang tampak berseberangan sebagai pasangan-pasangan seperti pemerintah-masyarakat, elite-massa, pengusaha-buruh, dan sebagainya. ‎Berbeda dengan komunisme yang berangkat dari konflik, bila tidak kawan maka itu lawan. Pengusaha dilawan dengan buruh dan pemilik tanah dilawan dengan buruh tani. 

Pasangan memang merupakan orang lain, namun hakikatnya satu. Suami istri adalah pasangan memproduksi anak, pengusaha dan buruh berfungsi memproduksi barang, serta pemilik tanah dan buruh tani menghasilkan pangan. Itu semua hal yang diakui, namun yang perlu diperhatikan adalah kesejahteraan keduanya. Tidak boleh terjadi penindasan dalam hubungan fungsional tersebut.‎

Buku ini merupakan kumpulan tulisan Prof. Kuntowijoyo tentang politik yang pernah dimuat di Majalah Ummat tahun 1996. Namun pemikiran visioner Kuntowijoyo melambung ke depan sampai tahun 2020. Beliau merupakan orang yang konsisten dengan manhaj fikr-nya, yakni humanisme, liberalisme, dan transendensi. Mayoritas tulisannya mengarah ke sana.

Walaupun gelar Guru Besar sudah dimilikinya, namun dia tidak pernah menyombongkan diri. Di akhir prakatanya, dia menulis, “Saya beristighfar untuk kesalahan-kesalahan, terutama berani mengatasnamakan umat Islam.”

*Alumni Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang.