Identitas Buku

Judul Buku      : Islam yang Saya Anut                      

Penulis             : M. Quraish Shihab

Penerbit           : Lentera Hati

Tahun Terbit    : 2018

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Tebal               : 346 hlm

ISBN               : 978-602-7720-74-9

Peresensi         : Lutfi Nur Fadhilah*

Agama beraneka ragam dengan pilihan masing-masing untuk mempercayai dan melaksanakan apa yang baik dan benar. Biarlah manusia yang berbeda itu berlomba dalam kebajikan. Kalau kebajikan itu disepakati maka mari bergandengan tangan untuk mewujudkannya. Kalau tidak disepakati, jangan cari siapa yang salah dan siapa yang benar. Masing-masing mestinya telah mempelajari agamanya dan menemukan yang benar, sehingga tidak mungkin dibenarkan dua agama yang berbeda dalam saat yang sama.

Islam adalah agama rohmatan lil ‘alamin. Hampir 15 abad yang lalu, namun ajarannya selalu relevan sepanjang zaman. Quraish Shihab dalam bukunya “Islam yang Saya Anut” menjelaskan Islam secara sederhana dan mengena. Kita diajak bercengkerama seputar agama, manusia dan evolusinya, agama Islam, ajaran Islam, rukun Islam, akidah, rukun iman, aspek hukum rukun-rukun Islam, Islam adalah akhlak dan diakhiri pembahasan tentang beragama dengan ikhlas.

Faktor yang melahirkan keberagaman dan aneka pendapat dalam Islam adalah teks al-Quran dan penilaian terhadap keabsahan sunah Nabi Saw. Meskipun teks-teks ayat al-Quran disepakati dan diyakini semua muslim bersumber dari Allah Swt. dan merupakan firman-Nya yang disusun langsung oleh-Nya, pada umumnya kosa kata yang digunakan kitab suci tersebut mengandung aneka makna. (hlm. 6)

Agama adalah bagi manusia, lain dengan hewan dan binatang. Manusia diciptakan dengan dibekali akal dan nafsu. Akal sebagai penetralisir nafsu yang senantiasa mengajak kepada kejelekan. Oleh sebab itu, manusia pun ditunjuk oleh Allah Swt. sebagai khalifah di muka bumi.

Mungkin pertanyaan yang ada pada benak kita adalah “Kalau memang sejak semula Allah Swt menghendaki agar makhluk ciptaanNya itu bertugas di bumi maka mengapa sebelum turun bertugas ia harus transit di surga? Maka, salah satu jawabannya menurut Quraish Shihab adalah keberadaan mereka di surga untuk memberi mereka pelajaran tentang tugas yang akan mereka emban di bumi dan tantangan yang akan mereka hadapi serta target minimal yang hendaknya mereka perjuangkan untuk mereka capai. Yakni di bumi mereka hendaknya berjuang untuk menciptakan bayang-bayang surga sebagaimana yang mereka alami dengan ketersediaan sandang, pandang dan papan serta rasa aman dan damai. (hlm. 62)

Sebelum membahas secara mendalam, kita perlu mengerti apa Islam itu. Islam terambil dari kata silm yang berarti damai, penyerahan diri. Dari kata damai tercermin bahwa agama ini mendambakan kedamaian dalam pribadi dan masyarakat, baik lahir maupun batin. Sesuai dengan sapaan “Assalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh” (semoga keselamatan atau kedamaian selalu terlimpah kepada anda disertai dengan rahmat dan keberkahanNya). Islam tak menghendaki adanya kekerasan, apalagi terhadap sesama muslim.

Manusia selalu berharap akan keselamatannya baik di dunia maupun di akhirat. Dua alam yang berbeda. Untuk mencapai kehidupan itu, dalam diri manusia ada yang dinamai intuisi yang dapat mengantarkannya berpindah dari alam materi ke alam non materi. Ia dapat hadir dalam diri manusia dalam bentuk kilauan yang mencerahkan, dan datang tanpa dipanggil karena memang dia tidak dapat dipanggil dan tidak juga dapat ditampik bila ia datang.

Kita tidak sepenuhnya mengetahui batas ruang takdir yang ditetapkan bagi kita. Kita dituntut untuk berusaha dan berusaha. Di sini kita dapat berhasil dan juga gagal. Namun, kalau kita sudah berusaha semaksimal mungkin lalu gagal, maka ketika itulah kita berkata “Ini takdir yang dipilihkan Allah”. Ketika itu pula kita mestinya tidak menyesal dan gerah karena kita telah berusaha. Memang wajar kita menyesal jika masih ada usaha yang dapat kita lakukan tapi kita tidak lagi mencobanya.

Islam tidak membebani di luar kemampuan muslim. Jika ada gangguan yang seseorang alami dan membuatnya kesulitan melaksanakan salat pada waktunya maka ia dapat menjamaknya, meskipun tidak dalam keadaan sakit atau musafir. Tapi, dengan catatan selama hal tersebut tidak dijadikan kebiasaan. Sebagaimana hadis Nabi Saw., Ibnu Abbas ra. menyampaikan bahwa Nabi Saw. pernah menjamak salat padahal saat itu beliau bukan dalam keadaan musafir, tidak juga terjadi hujan lebat atau sesuatu yang menakutkan. (hlm. 271)

Islam adalah akhlak. Alqur’an mengajarkan agar tidak membalas kesalahan pihak lain. Bahkan kalau bisa balaslah dengan berbuat baik kepadanya. Dengan berpedoman akhlak Islam, akhirnya kita bisa beragama dengan ikhlas. Manusia dapat lengah dan juga salah, bahkan akal dapat letih. Jadi bagaimana akal dapat diandalkan untuk memberi petunjuk, khususnya yang berkaitan dengan kehidupan manusia di dunia dan di akhirat. Itulah agama yang bukan sebagai tujuan, namun agama sebagai wasilah untuk mencapai tujuan.


*Mahasiswi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Walisongo, Alumni Ponpes Attanwir Talun, Bojonegoro