salah satu suasana saat halal bihalal. (sumber foto: rumah.com)

Sudah menjadi suatu kebiasaan tersendiri bagi masyarakat Indonesia melaksanakan berbagai kegiatan dalam menyambut hari-hari besar Islam dengan upacara atau selamatan. Hal itu berangkat dari kultur yang telah melekat sejak dulu dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia. Salah satu tradisi yang ada di masyarakat Indonesia khususnya umat muslim ketika memasuki bulan Syawal adalah tradisi Halal Bihalal.

Penulis mendapatkan dua sumber utama mengenai asal-usul tradisi Halal Bihalal.

Pertama, tradisi Halal Bihalal mula-mula dirintis oleh KGPAA Mangkunegara I (lahir 08 April 1725) yang lebih dikenal dengan sebutan Pangeran Sambernyawa. Guna menghemat waktu, tenaga, pikiran serta biaya, maka seusai shalat Idul Fitri diadakanlah pertemuan antara raja dengan punggawa dan prajurit secara serentak di balai istana. Semua penggawa dan prajurit secara tertib melakukan sungkem kepada raja dan permaisuri.

Kedua, hal yang menjadi penguat istilah ‘Halal Bihalal’ juga dilatarbelakangi atas keresahan Presiden Sukarno pada kisaran tahun 1948 terhadap kondisi bangsa Indonesia yang baru-baru saja merdeka, namun para elite politiknya justru saling berseteru. Ditambah masa itu, Indonesia tengah mengalami pemberontakan yang dilakukan oleh DI/TII dan PKI di Madiun.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Kemudian KH. Wahab Hasbullah mengusulkan kepada Presiden Sukarno untuk membentuk acara pertemuan yang diupayakan mereka semua duduk dalam satu meja untuk saling memaafkan dan saling menghalalkan dalam satu jalinan silaturahmi. Pertemuan tersebut dikenal dengan istilah ‘Halal Bihalal’.

Halal Bihalal sendiri tidak akan ditemukan dalam kamus maupun ensiklopedia Arab, sehingga orang Arab pun harus menyelami kultur masyarakat Islam Indonesia. Meskipun secara bunyinya terdengar seperti bahasa Arab. Berangkat dari hasil kreasi kearifan lokal dan hanya dapat dijumpai di Indonesia, sehingga Halal Bihalal menjadi suatu khas tersendiri bagi masyarakat umat muslim Indonesia yang tidak dapat ditemukan di negara-negara Islam lainnya seperti jazirah Arab bahkan negara Islam Timur Tengah.

Tradisi Halal Bihalal dilaksanakan oleh seluruh lapisan masyarakat, mulai dari masyarakat perkotaan, perkampungan, suatu lembaga instansi, universitas, sekolah, perkantoran dan perusahaan. Pada praktiknya, masyarakat menggelar suatu forum pertemuan dengan tujuan saling maaf-memaafkan kepada orang-orang tertentu yang pernah kita umpat, kita tuduh, kita lukai hatinya, kita zalimi atau kita gunjing.

Selain maaf-memaafkan, praktik Halal Bihalal menjadi momentum kembali menyambung silaturahmi yang telah terputus sebelumnya oleh berbagai latar belakang seperti perbedaan sudut pandang politik atau lain-lainya.

Dalil Landasan Tradisi Halal Bihalal

Dari hasil penelusuran penulis, bahwasanya tidak ada hadis yang benar-benar secara spesifik membahas perihal tradisi Halal Bihalal. Tetapi dalam Kitab Shahih Bukhari, terdapat suatu hadis yang bisa menjadi landasan kuat guna diperbolehkannya tradisi Halal Bihalal, bunyi hadis tersebut:

عن أبي هريرة رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: «من كانت عنده مَظْلِمَةٌ لأخيه، من عِرضِه أو من شيءٍ، فلْيتحلَّلْهُ منه اليوم قبل أن لا يكون دينارٌ ولا درهم؛ إن كان له عمل صالحٌ أُخِذ منه بقدر مَظلِمتهِ، وإن لم يكن له حسناتٌ من سيئات صاحبه فحُمِل عليه»رواه البخاري

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Barangsiapa melakukan kezaliman kepada saudaranya, hendaklah meminta dihalalkan (dimaafkan) ; karena di sana (akhirat) tidak ada lagi perhitungan dinar dan dirham, sebelum kebaikannya diberikan kepada saudaranya, dan jika ia tidak punya kebaikan lagi, maka keburukan saudaranya itu akan diambil dan diberikan kepadanya. [HR al Bukhari no. 6169]

Selain hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, terdapat juga hadis pendukung atas tradisi Halal Bihalal yang bisa menjadi dalil penguat. Bunyi hadis tersebut ialah: selain hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, terdapat juga hadis pendukung atas tradisi Halal Bihalal yang bisa menjadi dalil penguat. Bunyi hadis tersebut ialah,

حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ ، قَالَ : حَدَّثَنِي مَالِكٌ ، عَنْ سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيِّ ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : ” مَنْ كَانَتْ عِنْدَهُ مَظْلِمَةٌ لِأَخِيهِ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهَا رواه البخاري

Ismail telah berkata pada kami, ia telah diceritakan oleh Malik, dari Said al-Maqbari, dari Abu Hurairah, bahwasanya Nabi Muhammad Saw pernah bersabda; siapa pun yang telah melakukan kesalahan kepada saudaranya, maka hendaklah ia meminta maaf. (HR. Bukhari 6534)

Kedua hadis itu memiliki tujuan yang sama yakni, hendaknya seorang muslim meminta maaf kepada saudaranya bila sebelumnya ia pernah melakukan sebuah kesalahan. Maka dari hal inilah pada lafaz فَلْيَتَحَلَّلْهُ memberikan pemahaman pada kita bahwasanya ‘Halal’ adalah bentuk permintaan maaf seseorang yang kepada orang lain yang disebabkan atas kesalahan ataupun dosa yang pernah dilakukan di masa silam.

Maka untuk dapat mendapatkan ke ridaan atas orang yang pernah kita zalimi, sudah selayaknya seseorang meminta maaf. Permintaan maaf inilah salah satu dari rangkaian kegiatan yang berada di tradisi Halal Bihalal. Sehingga tradisi ini menjadi suatu tradisi yang dilakukan oleh umat Islam Indonesia pasca berakhirnya hari raya Idul Fitri pada tanggal 1 Syawal.

Mohon maaf lahir dan batin. Semoga kita senantiasa menjadi manusia yang bisa meminta maaf dan memaafkan. Selamat menyambut Hari Raya Idul Fitri.

*Dimas Setyawan, Santri Tabuireng.