Sumber gambar: http://sp.beritasatu.com

Oleh: Hilmi Abedillah*

Kisah antaragama di Indonesia memiliki catatan merah, sekalipun masih banyak yang menyimpan ‘Bhinneka Tunggal Ika’ di dalam dada. Anomali multikulturalisme beragam wujudnya, mulai dari sekadar kata-kata sampai pengrusakan dan pembunuhan. Baru-baru ini, terjadi penyerangan di sebuah Gereja di Yogyakarta yang selain merusak inventaris gereja juga menuai korban.

Karena gereja merupakan tempat ibadah, maka persepsi yang pertama muncul adalah penyerangan ini atas nama agama, walau kemungkinan tidak demikian. Dan tentunya, agama yang ikut tercemar adalah agama penyerang, yaitu Islam. Di Indonesia, Islam adalah agama mayoritas namun bukan berarti semena-mena. Hukum tidak memihak pada salah satu agama, karena semua agama resmi di negeri Jamrud Khatulistiwa ini diperlakukan sederajat.

Bagaimana fikih memandang pengrusakan gereja? Apakah dakwaan Islam tentang kekafiran agama lain melegalkan aksi tersebut? Lebih-lebih lagi Islam merupakan agama mayoritas yang bisa berlaku sesuai keinginannya.

Mari kita mulai dengan sebuah firman Allah:

وَلَوْلَا دَفْعُ اللَّهِ النَّاسَ بَعْضَهُمْ بِبَعْضٍ لَهُدِّمَتْ صَوَامِعُ وَبِيَعٌ وَصَلَوَاتٌ وَمَسَاجِدُ يُذْكَرُ فِيهَا اسْمُ اللَّهِ

“Dan sekiranya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentu telah dirobohkan biara-biara Nasrasi, gereja-gereja, rumah-rumah ibadah orang Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah.” (QS. al-Hajj: 40)

Showami’ adalah tempat ibadah untuk pendeta menyendiri, biya’ ialah gereja milih jemaat Nasrani dalam syariat Nabi Isa a.s., shalawat ialah tempat ibadah orang Yahudi dalam syariat Nabi Musa a.s., sementara masajid adalah tempat ibadah umat Islam dalam syariat Nabi Muhammad saw. Di tempat-tempat itulah nama Allah disebut-sebut. Dalam sebuah tafsir disebutkan, yang dimaksud keganasan manusia kepada manusia lain ialah dengan tajamnya perlakuan orang-orang mukmin kepada orang-orang kafir. (Tafsir Haqi, VIII, 413)

Umat non-muslim di Indonesia tidak bisa dikategorikan sebagai kafir harbi maupun kafir dzimmi. Karena, kafir harbi ialah orang-orang yang non-muslim yang memerangi orang muslim. Sedangkan kafir dzimmi ialah orang-orang non-muslim yang melakukan perjanjian dengan orang muslim. Ada kategori lain yang mirip dengan dzimmi, yaitu mu’ahad (melakukan perjanjian) atau musta’min (diberi rasa aman) yang secara mendasar sama-sama berdamai dengan muslim. Namun, kafir dzimmi ini berada di negara milik orang Islam, tunduk patuh pada aturan orang Islam. Sementara Indonesia bukan negara milik orang Islam, melainkan milik bersama. Namun, banyak pula yang menganggap non-muslim Indonesia sebagai kafir dzimmi karena sama-sama damai tidak melakukan peperangan.

Orang yang melakukan penyerangan di gereja mestinya membaca satu hadits ini:

مَنْ قَتَلَ مُعَاهِدًا لَمْ يُرَحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ

Barangsiapa membunuh mu’ahad, maka tidak akan mencium bau surga. (Shahih Bukhori, XVII, 321; Sunan Ibn Majah, II, 896)

Diceritakan dalam hadits, Islam mengajarkan kedamaian dan kelembutan. Perang yang terjadi hanyalah sebagai langkah proteksi, bukan penyerangan. Dalam kondisi perang pun Nabi menasehati para sahabatnya untuk bertindak etis. Di antara aturan perang Islam ialah tidak mengganggu orang para biarawan maupun orang yang tengah beribadaha, juga tidak merusak lingkungan, termasuk bangunan dan alam:

اغزوا بسم الله، في سبيل الله، مَنْ كفر بالله، لا تغدروا، ولا تغلوا، ولا تقتلوا وليداً ولا امرأة، ولا كبيراً فانياً، ولا منعزلاً بصومعة، ولا تقطعوا نخلاً ولا شجرة، ولا تهدموا بناء

Berperanglah dengan nama Allah, di jalan Allah. Barangsiapa kafir kepada Allah, janganlah berkhianat, janganlah dendam, janganlah membunuh anak kecil, perempuan, dan orang tua renta, janganlah menghancurkan pertapaan rahib, janganlah menebang kurma dan pohon, dan janganlah merobohkan bangunan. (ar-Rahiq al-Makhtum, 360)

Dari sini bisa kita pahami bahwa upaya dakwah Nabi Muhammad dilakukan secara etis, bukan anarki. Dalam ranah perang saja tidak diperbolehkan, apalagi di luar perang. Oleh Rasulullah, non-muslim diberikan jaminan hidup tenang dan tidak diganggu meskipun mereka berlainan keyakinan.

وقد كتب عمر بن عبد العزيز إلى عماله : ألا يهدموا بيعة ولا كنيسة ولا بيت نار

Umar bin Abdul Aziz pernah menulis untuk para pegawainya untuk tidak merusak sinagog, gereja, juga rumah api. (al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, VII, 129)

Sejak awal munculnya Islam, Nabi Muhammad sudah mengajari prinsip kebebasan beragama. Itu terbukti dengan janji beliau melindungi umat Kristiani beserta gerejanya di daerah Najran. (Majallah Majma’ al-Fiqh al-Islami, VII, 1827)

Tragedi pengrusakan gereja tidak memiliki dasar apapun dalam agama Islam. Tidak ada alasan melindungi agama (hifdhud din), melindungi jiwa (hifdhun nafs), menjaga harta (hifdhul maal), menjaga keturunan (hifdhun nasl), maupun menjaga kehormatan (hifdhul ‘irdl) yang disebutkan dalam maqashid syariah. Tindakan itu justeru membuat luka bagi banyak orang di kedua belah pihak.

Begitu banyak oknum yang mengatasnamakan Islam untuk meraup keuntungan. Banyak pula orang yang ingin membangun Islam, justeru ia malah merobohkannya. Semoga Allah melindungi kita semua.


*) Tim Redaksi Majalah Tebuireng