ilustrasi ibu memberikan asi

Air susu ibu (ASI) merupakan makanan terbaik yang dikonsumsi oleh bayi yang belum genap berusia enam bulan. Karena pada usia ini, bayi tidak dapat mencerna makanan selain air susu tersebut. Maka tak heran, bila dapat menyusui sang bayi dengan lancar menjadi harapan utama bagi para perempuan.

Namun, nyatanya banyak dari perempuan yang tidak dapat memproduksi air susunya dengan lancar dikarenakan faktor lain. Sehingga mereka mengambil jalan pintas untuk membeli susu formula ataupun membeli ASI dari orang lain. Kemudian, bagaimana syariat menghukumi seseorang yang bertransaksi air susu ibu tersebut? Para ulama berbeda pendapat mengenai hal ini. ada yang mengesahkan jual beli ini, ada juga yang melarangnya.

Ulama yang Mengesahkan Transaksi ASI

Madzhab Syafi’I memperbolehkan jual beli air susu ibu. Mereka berdalih bahwa air susu tersebut merupakan benda yang suci, memberikan kemanfaatan dan juga halal untuk diminum. Alasan tersebut disamakan dengan hukum kebolehan untuk meminum air susu kambing. Berikut pendapat dari madzhab yang memperbolehkan transaksi ini:

وَيَصِحُّ بَيْعُ لَبَنِ الْآدَمِيَّاتِ؛ لِأَنَّهُ طَاهِرٌ مُنْتَفَعٌ بِهِ فَأَشْبَهَ لَبَنَ الشِّيَاهِ، وَمِثْلُهُ لَبَنُ الْآدَمِيِّينَ بِنَاءً عَلَى طَهَارَتِهِ، وَهُوَ الْمُعْتَمَدُ كَمَا مَرَّ فِي بَابِ النَّجَاسَةِ

“Dan sah menjual susu perempuan karena benda tersebut suci, dapat diambil manfaat, maka disamakan dengan susu kambing-kambing. Demikian pula dengan susu yang dikeluarkan oleh pria (jika memungkinkan). Hal ini berdasarkan atas kesuciannya susu tersebut. Pendapat ini adalah yang dibuat pegangan sebagaimana pada bab najis.”

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Akan tetapi, pendapat ini ditentang oleh ulama yang tidak memperbolehkan penjualan air susu ibu. Mereka berpendapat bahwa air susu ibu tidak bisa disamakan hukumnya dengan air susu kambing. Mengapa demikian? Karena daging dari manusia haram untuk dimakan, sedangkan daging kambing halal untuk dikonsumsi. Maka dari itu, susu yang keluar dari keduanya tidak bisa disamakan hukumnya.

Ulama yang Melarang Transaksi ASI

Akan tetapi, lain halnya dengan madzhab Hanafi dan Malik. Mereka melarang menjualbelikan air susu ibu. Dengan alasan karena hal ini adalah suatu yang aneh atau tidak biasa dijual di mana pun. Air susu ibu merupakan kelebihan anggota tubuh manusia, maka tidak boleh menjualnya sebagaimana air mata, keringat dan ingus. Berikut pendapat madzhab Hanafi dan Malik yang terdapat dalam kitab Majmu’:

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ وَمَالِكٌ لَا يَجُوزُ بَيْعُهُ وعن أحمد روايتان كالمذهبين * وَاحْتَجَّ الْمَانِعُونَ بِأَنَّهُ لَا يُبَاعُ فِي الْعَادَةِ وَبِأَنَّهُ فَضْلَةُ آدَمِيٍّ فَلَمْ يَجُزْ بَيْعُهُ كَالدَّمْعِ وَالْعَرَقِ وَالْمُخَاطِ وَبِأَنَّ مَا لَا يَجُوزُ بَيْعُهُ مُتَّصِلًا لَا يَجُوزُ بَيْعُهُ مُنْفَصِلًا كَشَعْرِ الْآدَمِيِّ ولانه لا يؤكل لحمها فَلَا يَجُوزُ بَيْعُ لَبَنِهَا .

“Abu Hanifah dan Malik menyatakan tidak boleh menjual ASI. Dan dari Imam Ahmad menjelaskan ada dua perbedaan pendapat. Bagi ulama yang tidak memperbolehkan menjual ASI karena ASI bukan lah suatu hal yang biasa dijual dalam kebiasaan masyarakat. Dan ASI merupakan kelebihan anggota tubuh manusia, maka tidak boleh menjualnya sebagaimana air mata, keringat dan ingus.”

Akan tetapi, pendapat ini juga disangkal oleh kubu yang memperbolehkan jual beli ASI. Mereka setuju bahwa penjualan air mata, keringat dan juga ingus tidak sah hukumnya. Karena barang tersebut tidak ada manfaatnya bagi konsumen.

Berbeda halnya dengan air susu ibu. ASI masih memiliki beberapa manfaat untuk sang bayi. Maka dari itu, tidak sah hukumnya menyamakan (men-qiyas-kan) antara hukum air susu ibu kepada hukum ingus. Tiap pendapat memiliki argumentasi dan dasarnya masing-masing.

Dari penjelasan di atas bisa kita simpulkan bahwa madzhab Syafi’i memperbolehkan atau mengesahkan jual beli air susu ibu. Akan tetapi berbeda halnya dengan madzhab Hanafi dan Malik, mereka tidak memperbolehkan sekaligus tidak mengesahkan transaksi ASI.

Umat Islam Indonesia yang mayoritas bermazhab Syafi’i boleh saja mengambil pendapat keabsahan transaksi jual beli ASI, dengan tetap memperhatikan konsekuensi hukumnya, yakni terbentuknya hubungan mahram (haram dinikah) antara si anak penerima ASI dan si ibu penyuplai ASI, berikut cabang nasab turunannya.

Baca Juga: Donor Asi dan Kerancuan Mahram

Ditulis oleh: Achmad Firdaus, Mahasiswa Ma’had Aly An-Nur II Al Murtadlo Malang.