Oleh : Kyai Ahmad Mubarok Yassin, Kyai Muda Madura

Menteri kesehatan menganjurkan ibu-ibu untuk mendonorkan ASI (Air Susu Ibu) bagi bayi yang tidak memiliki ibu. Pandangan Islam sudah tentu hal itu akan menyebabkan mahram.

PERTANYAAN:

  1. Bolehkah menganjurkan untuk mendonor ASI bagi orang yang tidak dikenal dan tidak diketahui nasabnya?
  2. Sampai batas manakah susuan itu bisa menyebabkan mahrom dari sisi kualitas dan kuantitas air susu dan dari batas-batas individu yang menjadi mahrom?
  3. Bagaimanakah jika kelak terjadi pernikahan antar mahrom susuan?
  4. Bagaimanakah struktur mahrom jika air susu yang diberikan kepada bayi-bayi itu adalah campuran ASI dari banyak ibu?
  5. Bagaimana sikap kita menindak-lanjuti anjuran menteri kesehatan diatas?

Demikian pertanyaan ini kami sampaikan. (Choirul Anwar)

 

JAWABAN:

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Mas Choirul Anam yang dimuliakan Allah. Karena banyaknya point pertanyaan yang Mas Choirul Anam ajukan, maka kami akan mengurutkan jawaban satu-persatu sbb:

  1. Bolehkah menganjurkan untuk mendonor ASI bagi orang yang tidak dikenal dan tidak diketahui nasabnya?

(JAWABAN a): Secara umum, menganjurkan donor ASI boleh-boleh saja, terutama kepada wanita yang mempunyai stok ASI melebihi kebutuhan anaknya sendiri, dan ia juga berkeinginan untuk mendonorkan. Mendonorkan ASI justru menjadi amal shaleh bagi si wanita. Karena bersedekah ASI sama hukumnya seperti bersedekah makanan (Himatut Tasyri’ wa Falsafatuhu, juz 2 hal. 110-113).

Tapi, anjuran tersebut tidak boleh ditangani sembarangan; dalam arti Pemerintah harus mengatur secara ketat dan selektif, agar kesehatan si bayi terjamin (karena bisa saja wanita pendonor memiliki riwayat penyakit tertentu). Juga agar hubungan kekerabatan antara si wanita dengan si bayi bisa terpelihara. Maka, sebaiknya antara wanita pendonor dan keluarga si bayi dipertemukan terlebih dahulu.

Dan bila kita melihat Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2012, maka ketentuan di atas sudah banyak yang terpenuhi. Di antara persyaratan-persyaratan yang tertuang dalam UU tersebut ialah:

  1. Donor ASI dilakukan sesuai permintaan ibu kandung atau keluarga bayi yang bersangkutan.
  2. Identitas, agama, dan alamat pendonor ASI diketahui jelas oleh ibu kandung atau keluarga bayi penerima ASI.
  3. Mendapat persetujuan pendonor ASI setelah mengetahui identitas bayi yang akan diberi ASI.
  4. Kondisi kesehatan pendonor ASI dalam keadaan baik dan tidak mempunyai riwayat penyakit berbahaya.
  5. ASI tidak diperjualbelikan.

Jika si wanita pendonor beragama Islam, perlu ditambah satu syarat lagi: Dia harus mendapat izin dari suami sebelum mendonorkan ASI-nya.

 

  1. Sampai batas manakah susuan itu bisa menyebabkan mahrom dari sisi kualitas dan kuantitas air susu dan dari batas-batas individu yang menjadi mahrom?

(JAWABAN b1): Dari sisi kualitas, tidak ada ketentuan khusus. Yang penting, menurut Jumhur Ulama, ASI sudah masuk ke dalam perut bayi, atau masuk ke dalam otak dan sumsumnya (versi ulama Syafi’iyyah), dan dapat mengenyangkan (HR Bukhari No. 2647 dan Muslim No. 3679), sehingga ASI tersebut membentuk daging dan tulangnya (HR. Abu Dawud). Bahkan, andaikata rasa ASI sudah berubah kecut, atau direbus terlebih dahulu sebelum diminumkan, atau bentuknya mengental, atau berubah menjadi keju, hukumnya tetap sama seperti ASI yang baru keluar dari tetek si ibu (Lihat Raudlah ath-Thalibin, juz, 9, hal. 4).

Tapi, andaikata ASI masuk ke perut bayi lewat mata, telinga, pori-pori kulit, atau pun lewat suntikan yang tidak dimaksudkan sebagai pemberian makanan pokok, maka hal ini tidak menyebabkan mahram. Karena ASI tersebut tidak dikonsumsi dengan cara yang umum dan tidak dapat menumbuhkan daging dan tulang.

(JAWABAN b2): Kuantitas ASI yang menyebabkan mahram, menurut pendapat Jumhur Ulama adalah 5 kali susuan. Hal ini berdasarkan hadits riwayat ‘Aisyah ra, bahwa pada masa awal kenabian, penyusuan yang menyebabkan mahram adalah 10 kali. Tapi ketentuan tersebut di-naskh (dikoreksi) menjadi 5 kali. Dan ini yang berlaku sampai Rasulullah saw wafat (HR Muslim No.3670). Karena itu, Syeikh Muhammad Syatha’ ad-Dimyathi menegaskan, ASI yang menyebabkan mahram itu harus dikeluarkan dalam 5 tahapan dan sampai ke perut anak yang disusui sebanyak 5 tahapan juga. (Lihat I’anah ath-Thalibin, juz, 3, hal. 287).

Sedangkan cara menentukan bilangan 1 kali susuan, menurut Imam as-Shan’ani, ialah: Ketika si bayi menyusu, kemudian ia melepaskan isapannya karena kenyang dan tanpa paksaan, maka itu sudah termasuk 1 kali susuan. Jika dia menyusu lagi setelah satu atau dua jam, maka itu terhitung 2 kali susuan, dan begitu seterusnya sampai 5 kali susuan. Tapi, jika si bayi berhenti menyusu karena ingin bernafas atau menguap, lalu kembali menyusu lagi, maka itu belum terhitung 1 susuan, melainkan susuan yang belum selsesai.” (Lihat Subulus-Salam, hal. 1117).

Dari sini dapat dipahami, yang dimaksud 5 kali susuan adalah 5 kali aktivitas menyusu, bukan 5 isapan. Sekali menyusu bisa terdiri dari beberapa kali isapan. Dalam konteks donor ASI, berarti wanita pendonor harus mengeluarkan minimal 5 kantong ASI, kemudian si bayi harus “menyusu” minimal 5 kali dari kantong susu wanita tersebut, barulah di antara keduanya terjalin hubungan mahram.

(JAWABAN b3): Mengenai sejauh mana batas-batas mahram, maka mahramnya sama seperti mahram se-nasab dan sesuai urutan waris Ashabah. Artinya, hubungan mahram radla’ antara wanita pendonor dengan si bayi, sama seperti si bayi dengan ibunya sendiri dan keluarga sang ibu (mahram bi an-nasab). Berarti, semua anak si ibu pendonor, suaminya, orang tuanya, saudaranya, semuanya akan menjadi mahram sepersusuan bagi si bayi tersebut (lihat Fathul Qarib al-Mujib, hal.45).

 

  1. Bagaimanakah jika kelak terjadi pernikahan antar mahrom susuan?

(JAWABAN c): Jika kedua pasangan benar-benar saudara sesusuan (sesuai data dan fakta yang valid), maka pernikahannya otomatis menjadi batal.

  1. Bagaimanakah struktur mahram jika air susu yang diberikan kepada bayi-bayi itu adalah campuran ASI dari banyak ibu?

(JAWABAN d): Kalau terjadi percampuran atau pengoplosan, artinya ASI pertama dari donor ibu A, dan yang kedua dari ibu B, maka harus ada pendataan identitas yang jelas dan detail, baik dari wanita pendonor atau si bayi penerima donor (sesuai ketentuan jawaban point “b” dan UU Nomor 33 Tahun 2012 tersebut di atas). Kemudian, perlu diperjelas pula apakah si bayi masih berumur di bawah 2 tahun atau tidak (Q.S. Al-Baqarah: 233).

Sebenarnya, masalah ini sudah pernah dibahas oleh komisi bahtsul masail Muktamar NU ke-25 tahun 1971 di Surabaya, di mana para Muktamirin (peserta Muktamar) saat itu membahas tentang hukum “Mengumpulkan ASI dari Beberapa Ibu untuk Bayi-bayi yang Dirawat di Rumah Sakit”. Muktamar memutuskan bahwa pengumpulan ASI seperti itu bisa menjadikan mahram, dengan 5 syarat sbb: Pertama, perempuan yang diambil air susunya masih dalam keadaan hidup dan berusia sembilan tahun (qamariyah/hijriyah). Kedua, bayi yang diberi air susu belum berumur 2 tahun (qamariyah/hijriyah). Ketiga, pengambilan dan pemberian ASI dilakukan minimal 5 kali. Keempat, air susu itu harus dari perempuan tertentu dan jelas identitasnya. Kelima, semua syarat yang tersebut harus terpenuhi secara meyakinkan (berarti datanya harus kongkrit dan tidak boleh spekulatif).

 

  1. Bagaimana sikap kita menindak-lanjuti anjuran menteri kesehatan di atas?

Menurut pribadi kami, anjuran tersebut baik-baik saja dan tidak perlu dipersoalkan. Asalkan tidak melabrak hukum syariat dan ada jaminan dari Kementerian Kesehatan untuk menjaga hubungan mahram antara si wanita dengan si bayi. Sebab, di Indonesia, tidak sedikit ibu-ibu yang tidak dapat menyusui bayinya secara maksimal karena bayinya lahir secara prematur. Tidak sedikit pula ibu cacat yang tidak bisa menggerakkan tangan atau kakinya, atau sedang menjalani perawatan di rumah sakit, sehingga bayinya menjadi terbengkalai. Bahkan ada sebagian ibu yang dilarang oleh dokter untuk memberi ASI kepada bayinya, karena terindikasi memiliki riwayat penyakit berbahaya. Dan yang paling umum, banyak bayi yang ibunya meninggal saat melahirkan. Maka, donor ASI adalah solusi untuk mengatasi semua problem tersebut.

Di lain pihak, ada sebagian ibu-ibu yang memiliki ASI berlimpah lalu memerahnya dan menyimpannya di freezer. Mereka merasa sayang kalau ASInya terbuang percuma, sehingga memilih untuk menyimpan dan mendonorkannya. Maka, anjuran Menteri Kesehatan tersebut justru menjadi “jalan keluar” bagi ibu-ibu yang memiliki stok ASI berlimpah tersebut.

Di Indonesia, sebelum para ibu mendonorkan ASI-nya, mereka terlebih dahulu melakukan skrining terkait penyakit berbahaya yang mungkin diderita, seperti Hepatitis, HIV/AIDS, atau TBC. Para ibu yang mengidap penyakit tersebut dilarang mendonorkan ASI. Bahkan di Negara-negara maju, kantong-kantong yang berisi ASI dipasteurisasi secara rutin sebelum dikonsumsi si bayi. Pasteurisasi adalah proses pemanasan pada suhu rendah (62,5-63 derajat Celcius) selama 30 menit untuk mematikan virus dan bakteri berbahaya, seperti HIV dan CMV (Citomegalovirus). Kantong-kantong ASI tersebut juga disimpan di dalam freezer dengan suhu minus 20 derajat celcius, untuk memastikan komposisi ASI tidak mengalami perubahan.

Mengenai cara menjaga hubungan mahram antara pendonor dan keluarga bayi, menurut kami, perlu ditangani lembaga khusus (misalnya rumah sakit). Pihak rumah sakit dapat menjadi fasilitator yang menghubungkan antara konsumen (bayi) dengan wanita pendonor. Dengan cara itu, akan terjalin komunikasi di antara kedua belah pihak, sehingga bisa dilanjutkan dengan hubungan silaturahim dan kekeluargaan. Komunikasi seperti itu juga bermanfaat untuk mengetahui “kualitas spiritual” wanita pendonor. Karena di dalam Islam, menghindarkan diri dari mengonsumsi barang-barang haram adalah hal yang sangat prinsip. Mengetahui latar-belakang keluarga dan “kualitas spiritual” wanita pendonor, dapat melindungi si bayi dari mengonsumsi ASI yang berasal dari sumber-sumber yang haram. Wal-Laahu a’lam.