Kakiku terasa berat saat aku mulai keluar kamar. Tanpa aku sadari, ternyata aku sendirian dirumah. Jam menunjukkan pukul 00.30 WIB. Kulihat seluruh lampu ruangan padam. Hanya ada satu ruangan yang menyala. Kamar mandi tamu. Tidak hanya menyala, namun didalamnya terdengar suara tangisan anak kecil dan kran yang menyala deras. Akupun memberanikan diri untuk melihat. Hawa aneh mulai menjalar seluruh tubuhku. Suara siapa didalam? Sedangkan aku tidak memiliki Adik. Akupun mengetuk pintu.
“Siapa didalam? Kamu nggak papa kan..?”
Berkali-kali pintu kuketuk. Namun tetap tidak ada jawaban. Akupun mencoba membuka paksa. Anehnya suara tangisan tadi hilang dan kran yang tadi menyala deras sekarang menetes kecil. Hatiku semakin tegang, takut dan khawatir. Kusebarkan pandanganku keseluruh sudut ruangan Kamar Mandi. Dan tiba-tiba lampu mati!
“Tidaaaak! Kenapa lampunya mati?!”
Teriakku kaget sambal meraba-raba sesuatu didepanku. Berharap mendapatkan sesuatu yang bisa mengeluarkan cahaya. Seingatku, disamping pintu kamar mandi ada senter peninggalan Kakekku. Tapi anehnya lantai yang ku injak tak lagi normal. Seperti ada cairan namun sedikit kental. Akupun mengecek dengan jari telunjukku. Saat kucium, baunya begitu anyir. Apakah ini benar-benar darah? Lalu darah siapa? Otakku pun berpikir keras, tubuhku gemetar, denyut jantungku semakin cepat.
“Ya Allah…apa yang sebenarnya terjadi? Ibu…! Ibu dimana?! Ayaaah? Tolongin Aku. Aku berteriak memanggil Ayah Ibuku. Tiba-tiba ada seseorang yang menepuk pundakku dari belakang.
“TAPP..!”
“Tidaaak…jangan sakiti aku..!!” Aku meringkuk menutup mata, ketakutan. Tak kusangka ternyata yang menepuk pundakku adalah Aji.
“Tenang…. Aku nggak ngapa-ngapain kok, kamu kenapa ketakutan?”
Suara beratnya yang biasa aku dengar membuatku lega. Ya, Aji adalah sahabat kecilku. Ia selalu baik hati denganku. Akupun langsung menangis memeluknya. Namun ditengah – tengah tangisanku terdengar suara alarm.
“Kriiiiiiing….” Suara yang begitu keras memcahkan suasana pagi Asrama Santri. Masing – masing mulai bangun dari tidurnya. Ada juga yang masih menggeliat dan menyelimuti diri. Mataku yang masih berat untuk dibuka, menyuruhku untuk melanjutkan mimpiku yang terhenti.
“Aduuuh..lagi seru -serunya nih!”
Batinku dengan kesal sambal menutup wajahku dengan bantal. Tanpa kusadari, teman – temanku mulai pergi mengambil air wudlu untuk sholat tahajud. Hanya tersisa aku Aku, Dea dan Nayla. Kebetulan, hari ini Pembina kamarku sedang berada di Luar Pondok karena banyak tugas yang harus dikerjakan. Jadi, tidak ada yang mengontrol bangun pagi. Sementara itu, teman – temanku yang lain berjamaah tahajud seperti biasa. Mereka selalu semangat mengikuti kegiatan. Lain halnya dengan Aku yang paling lelet saat Pembina kamar tidak ada.
Benar, bisa dibilang aku paling sulit untuk diajak disiplin. Sifatku yang pemalas ini tidak sesuai dengan namaku. Nama lengkapku Humaira Safa. Teman – temanku memanggilku Ira. Nama yang terdengar begitu indah namun tidak pada karakternya. Mungkin karena aku masih kelas 1 SMP. Ya, aku baru masuk Pesantren 10 bulan yang lalu. Di Pondok Pesantren Tebu Ireng ini, aku merasakan sulitnya menimba ilmu dan serunya belajar di sekolah berbasis pesantren SMP A. Wahid Hasyim.
Hingga akhirnya Tarhim berkumandang. Teman – temanku segera pergi ke Masjid untuk bersiap jama’ah. Jarak Asrama ke Masjid lumayan jauh. Sehingga harus memakai alas kaki. Ustadzah Mila, sebagai imam sholat juga sudah siap. Pukul 04.30 WIB sholat shubuh pun dimulai dan dilanjut dengan amalan wirid seperti biasa. Namun, Aku dan sahabatku Nayla tetap dalam posisi yang sama. Hanya Dea yang bangkit dari tidurnya.
Ya Allah Iraaa…., kita kesiangan nih!! Udah jam 5 tuh!” Teriak Dea menarik bantal diatas wajahku.
“Buset dah! Mimpiku masih seru banget tadii.” Ucap ku membuka mata.
“Udah deeeh, mimpi – mimpi terus….buruan sekarang kekamar mandi!” Dea pun langsung menarik tanganku hingga Aku berdiri.
“Ya elah… Nayla masih ngorok lagi!” Ucapku menuju kamar mandi.
“Masya Allah Nay…! Banguun! Cepetan bangun! Udah jam 5 tuh!” Teriak Dea tepat ditelinga sambal menepuk kaki Nayla.
“Apa..!? Kesiangan doong!” Ucap Nayla kaget langsung pergi menuju kamar mandi.
Alhasil Aku, Dea dan Nayla berjama’ah subuh di Kamar karena takut ketahuan keamanan.
“Assalamu’alaikum…” Ucapku menutup jama’ah sholat subuh. Namun, tanpa disadari Ustadzah Luluk mengintip dari jendela Kamar. Mengetahui kami bertiga tidak mengikuti jama’ah sholat subuh di Masjid.
“Kenapa tidak ikut jama’ah di Masjid!?”
Bentak Ustadzah Luluk sambil memukulkan tongkat keramatnya tepat di pintu lemari. Sontak Aku, Dea dan Nayla membisu, tidak berani menjawab sepatah katapun.
“Sekarang kalian bertiga jalan jongkok menuju Masjid, langsung ikut kelompok mengaji masing – masing!”
Perintah Ustadzah Luluk tidak bisa dibantah. Kami pun segera keluar kamar mengambil sandal dan berjalan jongkok menuju Masjid.
Suasana masjid saat itu sangat ramai, karena kegiatan mengaji sedang berlangsung. Barisan kami yang berjalan jongkok menjadi sorotan seluruh isi Masjid. Rasa malu mulai menjalar dibenakku. Ingin rasanya mengulang waktu Tarhim agar Aku bisa bangun lebih pagi. Namun percuma, tidak bisa diulangi lagi. Ustadzah Luluk yang dari tadi mengawasi, memerintahkan kami untuk bergabung dikelompok mengaji masing – masing. Dengan cepat, kami langsung berdiri dan mengikuti. Nafasku terengah – engah karena jalan jongkok dengan jarak yang lumayan jauh. Hingga akhirnya, kelas mengaji ku ikuti dengan tubuh yang lemas.
Pukul 06.45 WIB sirine berbunyi. Tanda kelas mengaji selesai. Waktu para santri untuk segera mandi. Karena Aku, Dea dan Nayla masuk terlambat kami juga selesai ngaji paling akhir. Sehingga waktu mandi kami mepet. Seharusnya sih, mandi sebelum subuh. Tapi karena tadi kesiangan mau gimana lagi? Akupun mandi dengan gerak cepat, agar waktu tidak mengejarku lagi.
[Selesai mandi]
“Pokoknya Nay..kali ini kita nggak boleh terlambat lagi, malu banget jadi sorotan orang!” Ucapku tegas sambil menyiapkan buku pelajaran sekolah.
“Kamu sih, udah tahu kalau Tarhim…tetep aja tidurnya diterusin.”
“Lhoh, kok jadi nyalahin aku….Kamu tadi juga masih ngorok!!” Sergahku dengan nada tinggi.
“Udah – udah, ini semua salah kita. Seharusnya dari awal kita maksain diri untuk bangun.”
Jawab Dea menengahi Aku dan Nayla yang sama-sama tidak mau kalah.
Tanpa disadari, waktu menunjukkan pukul 07.15 WIB. Jam sarapan telah tutup.
“Tuh kaan…telat lagii! Pakek kresek aja ngambilnya! Nanti makan di Kelas..!”
Sahutku menggendong tas sembari berlari kedapur.
“Tunggu Mbaaak! Ngambil nasi bentar aja…” Pinta Dea kepada salah satu petugas sarapan.
“Dari mana aja tadi !? Cepetan ambil…!” Tanya petugas sarapan.
Kami hanya membalas dengan senyuman meringis. Selesai bertempur mengambil nasi, kami memutuskan untuk berlari agar tidak terlambat. Namun, waktu berkata lain. Gerbang sekolah telah ditutup rapat – rapat. Penjaga gerbang juga sudah siap mengontrol siswa yang telat.
“Ya Ampun Paak..kami sudah lari – lari tadi, kok tetep telat sih…” Rengek Nayla.
“Kalian nggak lihat sudaah jam berapa ? sudah 15 menit kalian terlambat!” Jelas Pak Satpam.
“Terus gimana nih Paaak..?” Tanya ku dengan nada memelas.
“Pokoknya setelah sholat dluha, kalian membersihkan lapangan sekolah!” Jawab Pak Satpam sambil menunjuk Lapangan.
“Astaghfirullahh.. Lapaangannya kotor banget lagi!” Gerutu Dea dengan melipat muka.
[30 menit kemudian]
Aku mengambil sapu dengan wajah yang memelas. Kenapa hari ini begitu menyebalkan?
Apa sih yang salah denganku ? Otakku terus berpikir sambil menyapu pelan. Dea yang dari tadi memperhatikanku, menepuk pundakku.
“Hey! Nyapu yang bener dong! Lagi mikirin apa sih..?”
“Nggak De, hari ini rasanya capek banget..dari tadi telat terus. Aku capek dikejar waktu.” Ujarku melanjutkan menyapu.
“Kamu tuh Ir… jelas – jelas kita bangun kesiangan. Jadi semua ikut telat..” Jelas Nayla.
“Bener Nay, hanya karena telat 1 aja, semua kena imbasnya.” Sahut Dea.
“Ternyata, waktu emang gak bisa dikompromi.”
“Yang seharusnya menghandle kan kita Ir… Seberapa kita bisa memanfaatkan waktu, ya segitu juga hasilnya nanti.”
“Pinter juga kamu Nay…” Ledek Dea dengan tawa kecilnya.
Sejak saat itu, kami tidak pernah menyepelekan waktu lagi. Aku mengerti bahwa, hanya diri sendiri yang harus bisa mengatur semuanya. Bukan malah menyia – nyiakan waktu begini. Kejadian hari ini, telah menjadi pelajaran yang sangat berharga bagiku. Mengikuti semua kegiatan dan selalu tepat waktu, itulah yang membuat kita menuju gerbang kesuksesan.
Penulis: Izza Humairo