Dalam beberapa tahun terakhir, masalah pengelolaan sampah semakin menjadi sorotan, terutama di tengah pertumbuhan populasi dan urbanisasi yang pesat. Banyak daerah menghadapi tantangan besar terkait penanganan limbah, yang sering kali berujung pada pencemaran lingkungan dan dampak Kesehatan. Oleh karena itu, sebelum sampah dibawa ke tempat pembuangan, sampah-sampah tersebut hendaknya dipilah terlebih dahulu dari sumbernya. Dengan demikian, ketika sampai di tempat pembuangan akhir, sampah organik dan anorganik tidak akan tercampur. Kebiasaan kecil seperti ini, jika diterapkan secara konsisten, dapat membawa dampak besar bagi kehidupan manusia.
Menurut Hanie Ismail, CO Founder Nol Sampah Surabaya, lima puluh sampai enam puluh persen sampah organik yang dihasilkan manusia berasal dari sisa makanan yang kebanyakan dari rumah tangga, resto, ataupun food loss dan food waste. Food loss sendiri merupakan makanan yang hilang selama proses produksi, pengolahan, penyimpanan, dan distribusi sebelum sampai ke konsumen. Sedangkan food waste adalah sisa makanan yang masih layak konsumsi dan terbuang sebagai sampah.
Ketika sampah organik membusuk tanpa pengolahan yang tepat, gas metana yang dihasilkan jauh lebih berbahaya dibandingkan dengan karbon dioksida. Jika hal ini terus dibiarkan maka gas metana juga akan semakin besar sehingga memicu kenaikan pada tingkat pemanasan global. Disisi lain, sampah organik menyumbang sebagian besar emisi gas rumah kaca, yang jika tidak ditangani dengan baik akan semakin memperburuk kondisi iklim.
Lalu bagaimana dengan pembakaran sampah? Tentu hal tersebut bukanlah opsi yang tepat. Pembakaran sampah juga memiliki dampak yang signifikan. Proses ini menghasilkan emisi karbon dioksida dan zat berbahaya lainnya yang memperburuk efek rumah kaca. Ironisnya, masyarakat seringkali memilih untuk membakar sampah karena kurangnya fasilitas pengelolaan yang memadai. Sekain itu sampah anorganik, meskipun tidak memberikan dampak langsung pada perubahan iklim, tetap saja menjadi masalah karena sifatnya yang tidak bisa terurai. Walaupun tidak berkontribusi pada emisi gas rumah kaca, sampah anorganik yang dibiarkan menumpuk akan mencemari lingkungan.
Pengolahan sampah organik menjadi kompos merupakan solusi yang efektif. Salah satu metode yang dapat diterapkan adalah dengan menggunakan molase, yaitu sisa cairan dari pembuatan gula. Menambahkan molase ke dalam campuran sampah organic akan meningkatkan aktivitas mikroorganisme pengurai. Ini membantu mempercepat proses komposting dan meminimalisir kemungkinan munculnya gas metana. Selain itu, kompos yang dihasilkan dari proses ini kaya akan nutrisi, yang sangat berguna untuk meningkatkan kesuburan tanah.
Namun, tantangan utama tetap pada kesadaran masyarakat dan habit buruk yang telah terbentuk. Banyak orang masih membuang sampah ke sungai atau membakar karena mereka tidak tahu alternatif yang lebih baik. Kebiasaan membakar sampah juga dianggap sebagai cara yang praktis dan cepat, padahal ini bisa menyebabkan polusi udara dan mencemari lingkungan sekitar. Hal ini tentu akan menyebabkan masalah yang berkepanjangan ditengah kondisi saat ini. Dampaknya pun akan terus berlanjut, menyebabkan masalah yang berkepanjangan seperti pencemaran air, penumpukan limbah, dan risiko bencana alam seperti banjir.
Pemerintah diharapkan dapat mengambil langkah proaktif dalam membangun infrastruktur pengelolaan sampah yang lebih baik. Seperti berinvestasi dalam infrastruktur yang memadai, pembangunan tempat pembuangan sampah yang terpisah untuk sampah organik dan anorganik. Selain itu, pemerintah juga diharapkan mampu mengembangkan pusat daur ulang yang mudah diakses oleh warga untuk mempermudah proses pengelolaan limbah. Selain itu, peluncuran program edukasi dan kampanye kesadaran masyarakat juga harus digencarkan untuk mengedukasi masyarakat dengan pendekatan dan metode yang tepat.
Penulis: Helfi Livia Putri