sumber gambar: http://www.alkawthartv.com

Oleh: Muhammad Irham*

Di Balik Sebuah Nama

Bulan Muharram merupakan salah satu dari bulan yang dimuliakan (al-syharu al-hurum) oleh Allah SWT. Dengan kemuliaannya itu tentunya di dalamnya banyak fadhilahfadhilah dan keutamaan yang tidak ada di dalam bulan lainnya. Selain doa awal dan akhir tahun, puasa, bersedekah dan shalat sunah, di dalamya ada keistimewaan yang lebih dari semua itu, yaitu adanya yaumul asyura atau hari ke-10 di bulan Muharram.

Di dalam bulan Muharram sendiri ada istilah yaumul asyri (hari sepuluh) dan ada istilah yaumul ‘asyir (hari kesepuluh). Dua kalimat tersebut walaupun mirip dan terbentuk dari akar kata yang sama tetapi memiliki maksud dan pengertian yang berbeda.

Yaumul asyri artinya hari sepuluh yaitu hari mulai tanggal satu sampai tanggal sepuluh. Sedangakan yaumul asyir artinya hari kesepuluh atau hari pada saat itu tanggal 10 Muharram yang biasanya di sebut hari asyura. Sedangkan asyura sendiri berasal dari kata asyrun yang artinya sepuluh.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Ada pendapat lain mengapa di namakn asyura karena pada hari itu Allah SWT telah memulyakan sepuluh nabinya dengan sepuluh keistimewaan.

Pertama, Allah telah menerima taubatnya Nabi Adam as. Kedua, Allah telah mengangkat Nabi Idris as. ke tempat yang mulia. Kegita, Allah telah menyelamatkan Nabi Nuh as. dan kaumnya dari banjir bandang.

Keempat, Allah telah menyelamatkan Nabi Ibrahim atas api yang membara dari pembakaran Raja Namrudz, kemudian diangkat menjadi Khalilullah (kekasih allah). Kelima, Allah telah menerimanya taubatnya Nabi Dawud as.

Keenam, Allah telah menyelamatkan Nabi Musa as. dan umatnya dari kejaran Raja Fira’un. Pada hari itu juga Fir’aun ditelenggelamkan Allah ke dalam laut merah. Ketujuh, Allah telah menyelmatkan Nabi Yunus as. dan mengeluarkanya dari perut ikan.

Kedelapan, Allah telah mengembalikan kerajaan Nabi Sulaiman as. Kesembilan, Allah telah mengangkat Nabi Isa ke langit. Kesepuluh, Allah memberikan jaminan pengampunan pada Nabi Muhammad Saw baik yang sudah terjadi maupun yang belum terjadi.

Selain yang disebutkan di atas ada pendapat lain yang mengatakan bahwa nama asyura’ disematkan karena menjadi urutan ke-10 dari 10 keistimewaan yang diberikan oleh Allah kepada umat Nabi Muhammad Saw.

Sepuluh keistimewaan itu antara lain: 1. Bulan Rajab 2. Bulan Sya’ban 3. Bulan Ramadhan 4. Malam lailatul qodar 5. Hari Raya Idul Fitri 6. Ayyamul asyr atau hari sepuluh 7. Hari arofah 8. Hari Raya Idul Adha 9. Hari Jum’at 10. Yaumul asyura’

Tradisi di Yaumul Asyura’

  1. Puasa Asyura’

Dalam kitab irsyadul ibad Syekh zainuddin al-Malibari menuliskan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh al-Syaikhan (Bukhari dan Muslim).

Dari Ibnu Abbas ra berkata pada saat Rasulullah datang ke Madinah beliau menemui orang-orang Yahudi yang sedang berpuasa pada hari asyura’, Rasulullah berkata “hari apa ini ..?” Orang Yahudi menjawab ini hari yang baik, pada hari ini Allah menyelamatkan Nabi Musa dan kaumnya. Maka Nabi Musa berpuasa pada hari ini.

Nabi Muhammad Saw bersabda:

فَنَحْنُ أَحَقُّ وَأَوْلَى بِمُوْسَى مِنْكُمْ فَصَامَهُ وَأَمَرَ أَصْحَابَهُ بِصِيَامِهِ

Kita lebih benar dan lebih utama dari Musa dari kalian. Maka Musa puasa pada hari itu, dan memerintahkan sahabat-sahabatnya untuk puasa.”

Dalam hadits lain berbunyi:

انَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِصِيَامِ يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ فَلَمَّا فُرِضَ رَمَضَانَ كَانَ مَنْ شَاءَ صَامَ وَمَنْ شَاءَ أَفْطَرَ

“Aisyah ra. berkata Dahulu Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wassalam memerintahkan untuk puasa di hari ‘Asyura. Dan ketika puasa Ramadhan diwajibkan, barangsiapa yang ingin (berpuasa di hari ‘Asyura) ia boleh berpuasa dan barangsiapa yang ingin (tidak berpuasa) ia boleh berbuka”. (HR. Al Bukhari No 1897)

Melihat beberapa keistimewaan dari puasa asyura’ di atas, sudah sepatutnya kita sebagai orang muslim yang beriman bisa melakukan apa yang sudah dianjurkan oleh Nabi Muhammad Saw, walapun secara hukum puasa tersebut termasuk kategori puasa sunnah.

Bagaimana dengan puasa tasu’a? Tidak hanya puasa pada hari kesepuluh saja, alangkah baiknya jika diikuti dengan puasa pada hari sebelumya (tasu’a) hari kesembilan atau sesudahnya dihari kesebelas.

Ibnu abbas berkata “Berpuasalah pada hari asyura’ dan berbedalah dengan orang yahudi. Berpuasalah sehari sebelum asyura’ dan sehari sesudahnya.” (HR Ahmad)

Dalam riwayat Imam Baihaqi disebutkan:

 صُوْمُوْا التَّاسِعُ وَالْعَاشِرُ وَلَا تُشَبِّهُوْا بِالْيَهُوْدِ

“Berpuasalah pada hari tasu’a dan asyura’ dan janganlah kalian semua menyerupai orang-orang yahudi.”

  1. Doa Pada Malam Asyura’

Doa merupakan wujud penghambaan kita kepada Allah Swt. Dengan doa kita berarti membutuhkan pertolongan Dzat yang Maha Menolong. Namun sebaliknya kalau kita enggan berdoa maka kita termasuk orang yang menyombongkan diri.

Dan doa merupakan saif (pedang) bagi orang yang beriman. Termasuk tradisi yang sudah dihidupkan oleh ulama ulama salaf yaitu menghidupkan malam asyura’ dengan dzikir dan doa.

Barang siapa yang mengerjakan ibadah pada malam asyura’, maka dia seakan-akan beribadah kepada Allah seperti beribadahnya semua mahluk yang berada di tujuh langit.

Hal ini sebagai mana yang disebutkan dalam kitab I’anatu al-Tholibin. al-Allamah al-Dairobi dan Sayid Muhammad al-Amir menukil keterangan Imam al-Ajhuri yang mengatakan bahwa “Barang siapa yang pada malam atau hari asyura’ membaca wirid حَسْبُنَا اللهُ وَنِعْمَ الْوَكِيْلُ نِعْمَ اْلمَوْلَى وَنِعْمَ النَّصِيْرُ  tujuh puluh kali Insya Allah sepanjang tahun akan dilindungi oleh Allah dari musibah dan hal yang buruk.

Adapun doa pada malam Asyura’ seperti berikut ini:

بسم الله الرحمن الرحيم وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى أَلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَمْ سُبْحَانَ الله مِلأَ الْمِيْزَانِ وَمُنْتَهَىَ الْعِلْمِ وَمَبْلَغَ الِّرضَى وَزِنَةَ الْعَرْشِ لَا مَلْجَأَ وَلاَ مَنْجَا مِنْ اللهِ إِلّاَ إِلَيْهِ. سُبْحَانَ الله عَدَدَ الشَّفْعِ وَالْوِتْرِ وَعَدَدَ كَالِمَاتِهِ التَّامَّاتِ كُالِّهَا، أَسْأَلُكَ السَّلَامَةَ كُلِّهَا بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَامَ الرَّاحِمِيْنَ، وَلاَ حَوْلَا وَلاَ قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ، وَهُوَ حَسْبِى وَنِعْمَ الْوَكِيْلُ نِعْمض الْمَوْلَى وَنِعْمَ النَّصِيْرُ ، وَصَلَّى اللهُ تَعَالَى عَلَى نَبِيِّنَا خَيْرِ خَلْقِهِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ أَجْمَعِيْنَ

  1. Memberi Nafkah Yang Lebih Istimewa

Salah satu tradisi yang dilakukan oleh ulama salaf pada hari Asyura’ yaitu memberi nafkah yang lebih kepada orang yang wajib diberi nafkah. Maksudnya bagi kepala keluarga alangkah baiknnya pada hari asyura’ ini, menyajikan menu yang spesial, yang lebih enak dan lezat dari hari selainnya. Imam al-Thabrani dan Imam al-Baihaqi meriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri:

 مَنْ وَسَّعَ عَلَى عِيَالِهِ يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ وَسَّعَ اللهُ عَلَيْهِ فِيْ سَنَتِهِ كُلِّهَا

“Barangsiapa memberi kelonggaran (nafkah) pada keluarganya pada hari Asyura, niscaya Allah akan memberikan kelonggaran (rizki) kepadanya sepanjang tahun”.

Ada kisah menarik dari seorang ulama yang membuktikan tentang keabsahan hadits itu. Yaitu Sufyan bin Uyainah. Dia berkata “Saya telah mencoba dan mengamalkan hadits tersebut selama kurang lebih 50 tahun atau 60 tahun, dan hal itu benar dan mujarabnya benar.”

  1. Bersedekah

Sebenarnya untuk tradisi bersedekah ini tidak harus pada hari Asyura’. Karena sedekah bisa dilakukan kapan saja dan di mana saja. Semakin banyak bersedekah semakin banyak pula kebaikan yang akan kita terima. Sedekah juga diyakini bisa menolak dari bahaya (bala’) yang menimpa diri orang yang mengamalkanya.

Pada hari asyura’ ini ada keistimewaan dan kelebihan bagi orang yang mau bersedekah. Diriwayatkan dari Abu Musa al-Madiny dari Ibnu Umar berkata:

مَنْ صَامَ عَاشُوْرَاءَ فَكَأَنَّمَا صَامَ السَّنَةَ ، وَمَنْ تَصَدّقَ فِيْهِ كَانَ كَصَدَّقَةٍ السَّنَةِ

“Barang siapa berpuasa pada hari asyura’ seakan akan seperti puasa satu tahun. Dan barangsiapa bersedekah pada hari asyura’ maka seperti sedekah satu tahun”.

Sebuah Tragedi

Pada tanggal 10 Muharram 61H, terjadi peristiwa sejarah yang yang sangat memilukan bagi umat Islam. Karena pada hari itu Sayyidina Husain cucu Rasulullah Saw terbunuh di sebuah tempat yang namanya Karbala. Kejadian ini akhirnya dikenal dengan istilah peristiwa karbala.

Pembunuhan ini dilakukan oleh kelompok pro-khalifah pada masa itu. Yaitu pendukung Yazid bin Mu’awiyah. Menurut beberapa pakar sejarah, meskipun sebenarnya khalifah sendiri tidak menghendaki tentang pembunuhan itu.

Peristiwa itu memang sangat kejam dan tragis bagi siapa yang merenungkan ataupun membaca kisahnya. Sebab yang dibunuh adalah orang yang sangat dicintai Rasulallah saw.

Tetapi sesedih atau setragis apapun peristiwa itu, apakah harus memperingatinya dengan melakukan kegiatan-kegiatan sebagai bentuk kedukaan dengan cara melukai diri sendiri, meratap dan menangis. Cukup mendoakan, mayakini bahwa beliau adalah cucu kesayangan Rasulullah, dan mengambil hikmah dari sikap, sifat, dan keteladanan beliau, serta hikmah yang terkandung dalam tragedi itu.

Menyakiti diri sendiri, apalagi membahayakan nyawa atas dasar apapun, apalagi tidak membawa pada kemanfaatan pribadi maupun umum, adalah bentuk pengkhianatan seorang hamba pada Tuhannya yang menciptakan tubuhnya, yang seharusnya dirawat dan dijaga sebaik mungkin.