Tebuireng.online- Pengasuh Pesantren Tebuireng, KH Salahuddin Wahid (Gus Sholah), menyampaikan tiga pemikiran KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam acara Haul ke-8 Gus Dur yang dilaksanakan di Tebuireng Jombang, Kamis (28/12/17).
Gus Sholah mengawali, “Pertama, perjuangan untuk demokrasi dan penegakan hukum. Itu sebetulnya cita-cita pendiri bangsa kita semuanya,” Gus Sholah juga menyebutkan contoh yang mungkin bisa ditampilkan sebagai tokoh demokrasi adalah Bung Hatta. Ketika tidak sejalan dengan Bung Karno, beliau mengundurkan diri dan mempersilakan Bung Karno meneruskan kebijakannya.
Demokrasi yang dicita-citakan Gus Dur merupakan demokrasi substansial. Tidak prosedural apalagi transaksional seperti sekarang. “Demokrasi tentu tidak terlepas dari pendekatan hukum atau dilihat dari keadilan. Dan ini pun masih menjadi perjuangan kita ke depan,” ungkap adik Gus Dur ini.
Hal kedua yang diperjuangkan Gus Dur adalah pluralisme. Sebenarnya ini bukanlah monopoli Gus Dur. Masyarakat Indonesia sudah mengenal kata Bhinneka Tunggal Ika yang diambil dari semboyan atau kata mutiara yang diciptakan Mpu Tantular.
Yang mengusulkan istilah Bhinneka Tunggal Ika adalah Mr. Muhammad Yamin. Beliau menyampaikan kepada Bung Karno untuk menggunakan semboyan itu dan disetujui oleh Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). “Dan itu memang sesuai dengan fitrah Indonesia yang sangat majemuk dalam banyak hal, suku bangsa, budaya, bahasa, agama, etnis, dan lain-lain,” terang cucu Hadratussyaikh ini.
Keragaman ini sekarang menjadi suatu masalah. Padahal sebetulnya Indonesia merdeka karena mempunyai modal sosial. “Dulu keragaman itu menjadi modal sekarang menjadi masalah. Dan ini tantangan kita semua. Untuk mengatasinya dibutukan toleransi,” jelas Gus Sholah.
Beliau melanjutkan, “Ada perbedaan antara toleransi Gus Dur dan kebanyakan orang. Toleransi kita kebanyakan pasif. Kita toleran kepada orang lain. Tapi kita tidak memedulikan kalau ada kelompok yang tidak toleran kepada kelompok lain. Toleransi Gus Dur merupakan toleransi aktif. Beliau tidak bisa melihat itu dan selalu mencoba menyumbangkan pemikiran atau tindakan untuk memecahkan masalah tersebut,”
Yang ketiga adalah pemikiran Gus Dur tentang kemanusiaan. Gus Sholah mengingatkan kisah Gus Dur yang melindungi kaum minoritas. “Saya ingat cerita Bingki Irawan, mungkin tahun 90an. Mas Bingki ini minta Gus Dur menjadi saksi di dalam sidang pengadilan pernikahan orang Konghucu yang tidak boleh menikah dengan cara orang Konghucu,” papar mantan Wakil Ketua Komnas HAM ini.
Kemudian Gus Dur mengusulkan bahwa orang Konghucu diizinkan menikah dengan cara Konghucu. Dan hakim memutuskan untuk menyetujui orang Konghucu menikah dengan cara Konghucu.
“Agama-agama yang ada di Indonesia ini umurnya lebih tua daripada Indonesia. Jadi tentunya Indonesia tidak bisa melarang agama-agama itu. Dan kita menghormati keyakinan itu dan keyakinan mereka mempunyai cara-cara sendiri yang menurut saya seharusnya kita hormati,” pungkas Gus Sholah.
Pewarta: M. Masnun
Editor/Publisher: Rara Zarary