tebuireng.online– Sambutan Pengasuh Pesantren Tebuireng, Dr. Ir. KH. Salahuddin Wahid kemarin malam (26/12/2015), dalam acara Haul ke-6 KH. Abdurrahman Wahid di Pesantren Tebuireng menyinggung Pancasila sebagai dasar negara. Gus Sholah menegaskan bahwa Pancasila adalah hasil konsesus para ulama dan berdasarkan ajaran agama Islam, serta menegaskan kembali ajaran Pendiri NU, Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari untuk berkhidmat kepada NU.
“Apalagi kita sudah menerima pancasila sejak tahun 1984,” terang beliau di depan para hadirin yang datang. Beliau juga menjelaskan perihal pendirian Museum Islam Hasyim Asy’ari. Gus Sholah menerangkan alasan kenapa museum yang sedang dibangun di sisi barat laut Pesantren Tebuireng tersebut menggunakan Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari, bukan KH. Abdurrahman Wahid. “Kalau nggak ada Mbah Hasyim, nggak ada Gus Dur, baik secara biologis maupun ideologis,” ungkap beliau sebagai jawaban dari pertanyaan Pak Agung Laksono.
Menurut Gus Sholah, Mbah Hasyim adalah tokoh nasionalis sekaligus islamis. KH. A. Wahid Hasyim juga dalam perjuangannya dan proses penempaan dirinya tidak akan terlepas dari sosok sang ayah. Berkat didikan Hadratussyaikh, Kiai Wahid bisa menjadi yang dikenal sekarang ini. Maka dari itu, lanjut Gus Sholah, bukan kebetulan juga kemudian muncullah dari rahim Pesantren Tebuireng, salah seorang santri, KH. Achmad Siddiq berhasil merumuskan dokumen hubungan antara Islam dan Pancasila.
Dalam dokumen tersebut, disebutkan bahwa sila-sila Pancasila adalah wahana atau penerapan dari ajaran syariat Islam disesuaikan dengan kondisi Bangsa Indonesia. Beliau juga bercerita tentang kisah beliau bersama sahabat beliau Hadidjojo Nitimihardjo putra Maruto Nitimihardjo, seorang tokoh pattimura yang dekat dengan tokoh-tokoh pergerakan dan juga pimpinan perwira-perwira Jepang.
Pak Maruto menceritakan kepada putranya, Pak Hadidjojo bahwa, ia pernah diutus oleh pimpinan perwira Jepang menemui Mbah Hasyim dan menanyakan apakah beliau bersedia apabila dijadikan Presiden Indonesia. Namun Mbah Hasyim dengan tegas menolak dan mengatakan, “Saya ini Kiai, tugas saya mengurus pesantren, mana mungkin saya meninggalkan Tebuireng.” Ketika ditanya siapa yang pantas menjadi presiden jika Mbah Hasyim tidak bersedia, beliau menjawab atas saran Kiai Wahid, mengusulkan nama Bung Karno dan Bung Hatta sebagai wakilnya.
Gus Sholah juga mengatakan bahwa selain ajaran-ajaran di atas, Mbah Hasyim juga sangat menjunjung tinggi nilai-nilai moralitas atau akhlak. Menurut Mbah Hasyim, santri yang baik adalah ketika pulang ke rumah, ia mampu mengamalkan apa yang dipelajari di pesantren dalam kehidupan sehari-hari. “Gus Dur dan kiai-kiai lainnya, mampu menangkap semua esensi dari ajaran Mbah Hasyim bahwa Islam itu tidak hanya urusan ibadah ritual, tapi juga ibadah sosial bahkan ibadah kenegeraan.
“Mbah Hasyim juga meminta santri-santrinya untuk berkhidmat pada NU, mengabdi pada NU, untuk memberi manfaat kepada NU, bukan mengambil manfaat dari NU. Gus Sholah juga menegaskan bahwa Mbah Wahab, Mbah Bisri, KH. Achmad Siddiq, Gus Dur, dan ulama-ulama masa lalu, mampu menunjukkan kemampuan dalam menjalankan ajaran Mbah Hasyim tersebut.
Beliau menyayangkan, di era ini, banyak sekali tokoh NU, kurang pandai memberi manfaat NU, malah pandai sekali memanfaatkan NU untuk kepentingan dirinya dan kelompoknya, seperti yang terjadi di Muktamar ke-33 di Jombang Agustus lalu. Dalam akhir sambutannya, beliau berdoa agar orang-orang yang memanfaatkan NU tersebut, oleh Allah dibukakan hati mereka untuk menyadari kesalahan mereka, dan memperbaiki diri. (abror)