Foto: Gus Ishom

Oleh: H. Fawaid Abdullah HR*

Gus, yang tidak ke-me-Gus

Ini mungkin agak subyektif, dan bisa jadi hanya keterbatasan pandangan saya saja. Setau saya, sejak Gus Ishom pulang kampung dan menetap di Tebuireng sejak 1990-an sampai saya sudah boyong dan tidak aktif (lagi) di Tebuireng, belum saya temukan dari sosok seorang Gus Ishom, beliau tidak pernah marah-marah kepada santri-santri, baik itu santri putra maupun kepada santri-santri putri di pondok Al Masruriyyah dimana beliau menetap.

Juga tidak pernah saya temukan selama saya nyantri di Tebuireng dari tahun 1989-1995 (menetap di dalam pondok) Gus Ishom itu bersikap layaknya Gus (dari seorang putra dan keturunan kiai, cucu Hadratussyaikh) mulai sikap yang berat dan serius sampai sikap yang enteng, ringan, dan remeh sekalipun, misalnya dari cara beliau berpakaian dan penampilannya saja sudah sangat tidak mencerminkan ke-Gus-annya.

Sering saya temukan dan saya lihat sendiri beliau ini kalau mulang (ngajar) ngaji kitab di serambi Masjid Tebuireng hanya pakai kaos yang ada kerahnya saja, sandalnya pun hanya memakai sandal jepit merk swallow, kopiah hitam yang dipakai seringkali sudah tampak usang, sudah tidak hitam lagi dan kemerah-merahan.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Seringkali sandal jepit itu tertukar tatkala Gus Ishom datang di ruang ta’mir Masjid Tebuireng, ketika mau pulang sandal sudah tidak ada karena dibawa “ghosob” santri-santri, maklum sandal jepit. Ketika beliau ngajar di Aliyah Tebuireng pun, masuk ke kelas hanya dengan pakai celana dan baju batik yang sudah tidak “nggayani” dan tidak mencerminkan bahwa beliau ini seorang cucu Hadratussyaikh, darah biru dan seorang Gus.

Masa itu, di Aliyah Tebuireng ada tiga guru yang punya kekhasan dan keistimewaan sendiri, ada almaghfurlah Allah Yarhamhu pak Usman Rohim dari Madura dengan senjata khas “rukun Islam dan plus rukun imannya”, ada juga almaghfurlah Allah Yarhamhu Kyai Syamsun Kayyis (pak Kayis) dengan senjata khas “cubitan kecil di sekitar dada” dan ada sosok Gus Ishom yang lebih tampil slow, santai, pakaian alakadarnya.

Ketiga “guru besar” Aliyah Tebuireng ini sama-sama sangat sederhana dan alim ilmu sesuai disiplinnya masing-masing. Khusus untuk Gus Ishom, Saya yakin seyakin-yakinnya bukan berarti beliau ini tidak mampu membeli pakaian yang bagus dan mahal, berpenampilan perlente sekaligus glamour, Gus Ishom pasti bisa lakukan, tapi kenapa beliau ini sangat sederhana sekali? ini, justru keunikan beliau.

Tidak pernah saya jumpai Gus Ishom ini kalau menyuruh santri-santri dengan kalimat kasar dan membentak-bentak, justru santri-santri jadi malu sendiri, beliau sangat dekat sekali dengan santri-santri sampai terkadang tidak ada jarak antara seorang (derajat) Gus dan seorang santri.

Seringkali santri jadi malu sendiri karena diperlakukan melebihi batas kewajarannya sebagai santri. Secara umum yang saya tahu, memang para Gawagus “gus-gus” di wilayah Jombang (pondok-pondok besar di Jombang baik itu di Denanyar, Darul Ulum Njoso Peterongan dan Tambak Beras) dan khususnya lagi di Pondok Tebuireng, tampilan seorang Gus tidak “seserem” atau sesakral di tempat lain di luar Jombang, tapi khusus untuk Gus Ishom memang ada sesuatu yang lain dari pada yang lain.

Aura yang terpancar dari beliau, konon menurut banyak cerita memang lebih banyak auranya Hadratussyaikh, Gus Ishom benar-benar sangat tidak “nggayani”, tidak jaim-jaiman dan sangat tidak nampak tampilan ke-gus-annya baik dari segi penampilan pakaian maupun prilakunya. Beliau ini benar-benar Gus yang tidak ke-me-Gus. Wallaahu A’lam bis Shawab.

*Santri Tebuireng 1989-1999

—– Bersama Putra almaghfurlah Gus Ishom; Muhammad Hasyim Anta Maulana.