Ibu Nyai Aisyah memberikan keterangan saat menjadi pemateri di pertemuan kyai, santri, dan fatayat NU se-Jatim untuk pengendalian tembakau, (20/7).

Tebuireng.online- Dalam pertemuan kyai, santri, dan fatayat NU se-Jatim untuk pengendalian tembakau yang diselenggarakan pagi tadi, Sabtu (20/07/19) di Pesantren Tebuireng, tampak hadir tiga pemateri. Pemateri pertama, Bapak Hafid Algristian, Dosen Fakultas Kedokteran UNUSA.

Secara umum, ada tiga hal yang disampaikan oleh Bapak Hafidz, yang pertama mengenai kasus Pak Sutopo Purwo Nugroho, beliau menegaskan bahwa kasus bapak Sutopo cukup menjadi bukti bahwa kebebasan merokok bukanlah hak asasi manusia (HAM), sebab kebebasan tersebut dapat merugikan orang lain, “merokok atau tidak itu bukan HAM, tapi sudah melanggar HAM,” tegasnya.

Beliau memaparkan bahwa, sedari awal rokok telah didesain adiktif (memiliki candu), dan berdasarkan penelitian  tiga penyakit tertinggi yang paling sering diderita saat ini ada 3, yakni stroke, jantung, dan kanker, dan keseluruhan dari penyakit tersebut faktor terbesarnya ialah rokok.

Berkaca pada kerugian-kerugian yang terjadi, maka secara tegas dr. Hafidz menjelaskan bahwa budaya permisif atau dikenal dengan nyumonggokke (Jawa, red.) harus dihentikan. “Mungkin ini yang perlu kita tingkatkan, budaya permisif ini budaya sumonggokke, jadi harus ada filter sosial,” tuturnya.

Menyambung penjelasan Bapak Hafidz, dari beban konsumsi rokok pada ekonomi negara dan keluarga, dr. Abdullah Hasan selaku pemateri kedua menjelaskan bahwa diantara solusi yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah rokok ini ialah dengan menaikkan harga rokok. Menurut beliau, ada beberapa keuntungan yang akan dihasilkan jika harga rokok dinaikkan, diantaranya; harga rokok yang tinggi mengurangi konsumsi rokok. “Menaikkan harga rokok ini lebih efektif dari pada sekedar peringatan kesehatan,” ungkap beliau.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Kemudian yang kedua, penerimaan negara akan meningkat, sebab kenaikan penerimaan bea cukai, lalu penerimaan PAD juga akan meningkat sehingga dapat mengurangi beban JKN atau menutup defisit JKN. Kemudian di akhir, dr. Abdullah Hasan menawarkan beberapa solusi yang dapat dilakukan, diantaranya melarang iklan rokok, menaikkan cukai, memberikan peringatan kesehatan dan menciptakan kawasan tanpa rokok. dr. Abdullah Hasan menutup materinya dengan memberikan apresiasi kepada Pesantren Tebuireng, utamanya Gus Sholah, “Sekali lagi saya mengapresiasi kepada Pesantren Tebuireng karena sudah menjadi champion berada di garis terdepan pengendalian rokok,” imbuhnya.

Hal ini tentunya tak lain karena masyarakat NU dikenal akrab sekali dengan rokok, namun Gus Sholah selaku pengasuh pesantren Tebuireng dengan mengambil langkah ini tentunya bisa dibilang cukup berani.

Ibu Nyai Aisyah Baidhowi menjadi pemateri terakhir pada siang hari tadi. Dalam kesempatan tersebut ibu Nyai Aisyah mewakili keluarga Pesantren Tebuireng banyak menyampaikan mengenai langkah-langkah konkrit yang telah diambil oleh Pesantren Tebuireng dalam rangka mendidik santri agar sehat dan pintar.

Diantaranya memanggil ahli gizi untuk menyediakan makanan yang sehat, membangun Puskestren (Pusat Kesehatan Pesantren) dan menetapkan komitmen untuk menjadikan Tebuireng kawasan pondok tanpa rokok. “Kalau disini sudah 4500 santri, besar harapan ke depan mereka di luar sana juga tidak akan merokok,” pungkas wakil kepala pondok putri Pesantren Tebuireng tersebut sekaligus menutup materi.


Pewarta: Nailia

Publisher: MSA