Oleh: Silmi Adawiya*
Melakukan sesuatu yang dilarang dalam Islam biasa dikenal dengan maksiat. Tentunya seseorang yang melakukan maksiat akan mendapatkan haknya yang telah melanggar aturan Allah. Di antara akibat melakukan kemaksiatan adalah terhalangnya ia dari ilmu dan rezeki, timbul perilaku menyimpang antara dirinya dengan Allah, dan dirinya dengan orang lain, dipersulit urusan-urusannya, gelapnya hati, wajah, dan kuburan, terhalangnya dari ketaatan, sia-sianya umur, menumbuhkan kemaksiatan sejenisnya, serta melemahkan keinginannya untuk taat pada Allah subhanahu wata’ala.
Kemaksiatan yang dilakukan oleh seseorang yang lalai itu tidak hanya memberikan dampak negatif dalam kehidupan dunianya, melainkan balasan di hari kemudian lebih mencekam. Allah berfirman dalam Surat an-Nisa ayat 14:
وَمَنْ يَعْصِ اللهَ وَرَسُولَهُ وَيَتَعَدَّ حُدُودَهُ يُدْخِلْهُ نَارًا خَالِدًا فِيهَا وَلَهُ عَذَابٌ مُهِينٌ
“Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuanNya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.”
Maksiat memang indah diawal, namun efek selanjutnya menyebabkan hidup tidak tenang. Oleh karena itu, siapa saja yang menginginkan dirinya bisa terbebas atau bisa menghindari maksiat, pertama kali yang harus dimiliki adalah keinginan dari dirinya sendiri untuk tidak bersahabat dengan maksiat. Mengingat Allah ketika hendak melakukan maksiat membuatnya berat dan merasa bersalah untuk melakukannya.
Jika dengan mengingat Allah masih belum bisa menjadi benteng pertahanan untuk tidak melakukan maksiat, maka bayangkan kita sedang bersama dengan sosok orang saleh, sosok yang kita kagumi dan kita hormati. Mungkin ketika bayangan dan pikiran kita terkoneksi dengan sosok orang tersebut, kita bisa mengurungkan niat untuk berbuat maksiat. Entah lantaran malu, takut atau hal lain yang tak diinginkan.
Namun jika belum juga bisa, maka ingatlah orang-orang tersayang dan terdekat. Mereka pasti marah dan kecewa ketika mereka melihat kita melakukan sesuatu yang dilarang. Harapannya adalah dengan ingatan tersebut kita bisa kembali sadar dan terhindar dari perbuatan maksiat yang akan dilakukan. Karena kita sayang mereka, tentunya kita tak mau mereka kecewa lantaran maksiat yang kita lakukan.
Dan yang terakhir, jika memang tiga cara di atas belum juga bisa membuat kita tersadar dan menghindar dari maksiat, maka ketahuilah jika saat itu juga kita telah berubah menjadi binatang. Akal dan pikiran tak lagi berjalan. Yang ada hanyalah kepuasan.
Berbagai keterangan di atas dibahas oleh Syekh Mushtofa as-Sibâ’i dalam kitabnya Hâkadzâ ‘Allamtanî al-Hayât:
إذا همّت نفسك بالمعصية فذكرها بالله، فإذا لم ترجع فذكرها بأخلاق الرجال، فإذا لم ترجع فذكرها بالفضيحة إذا علم بها الناس، فإذا لم ترجع فاعلم أنك تلك الساعة قد انقلبت إلى حيوان.
“Apabila dirimu tergerak melakukan maksiat maka ingatlah Allah. Apabila rasa itu belum hilang juga maka ingatlah akhlak seseorang (yang mulia). Apabila belum hilang juga maka ingatlah dengan terungkapnya maksiat tersebut orang-orang mengetahuinya, apabila belum hilang juga maka ketahuilah saat itu juga engkau telah berubah menjadi binatang!”
*Alumni Unhasy dan Pondok Pesantren Walisongo Jombang.