Oleh: Quratul Adawiyah*

“Sesungguhnya Allah mengangkat derajat beberapa kaum disebabkan Al-Quran dan juga merendahkan derajat kaum yang lainnya karena Al-Qur’an.”

Tidak semua muslim memandang Al-Quran  dengan pandangan yang sama, menatap Al-Quran dengan pandangan yang sama, bahkan menilai Al-Quran dengan pandangan yang sama. Ada seorang muslim yang memandang Al-Quran sebagai Kitab Suci Allah yang hanya ditempatkan di rak buku paling atas. Mushaf Al-Quran jarang disentuh, apalagi  mengkaji yang di dalamnya, padahal terdapat berbagai kedahsyatan yang sangat agung.

Ada pula seorang muslim yang hobi membaca Al-Quran. Ya, hanya sekedar membaca. Hampir tiap malam usai melaksanakan shalat maghrib  menyisakan waktu untuk membaca Al-Quran, hampir tidak ada malam yang dilalui tanpa membaca Al-Quran. Tapi hanya sebatas membaca, buta terhadap makna dan isi kandungan di dalamnya. Hidupnya tidak diterangi secara mutlak oleh cahaya Al-Quran. Al-Quran hanya sampai di tenggorokan saja.

Ada juga yang sibuk mendekati Al-Quran dengan melalui kefasihan dalam membacanya. Sibuk dengan huruf-huruf dan lebih memperhatikan pada bacaan tajwidnya. Ketika mengajari kepada anak-anaknya dan orang sekitar yang masih taraf pembelajaran, maka dia lebih mendekatkan kepada Al-Quran dengan cara atau sistem yang demikian. Dia ajarkan mana bacaan yang pendek, mana yang panjang, mana yang harus dibaca dengung dan lain sebagainya. Tetapi yang ia peroleh lebih kepada kefasihan saja. Makna dan hakikat dari Al-Quran itu sendiri tidak pernah didekati.

Yang lebih sangat disayangkan  lagi ada yang menghafal Al-Quran dan dikaruniai kemampuan hafal Al-Quran. Ini dilakukan setelah sekian tahun. Setiap hari pekerjaannya hanya difokuskan untuk membaca dan manghafal Al-Quran. Dia tidak pernah bekerja mencari nafkah, dia tidak pernah keluar rumah untuk bermasyarakat, dan sibuk di dalam ruangan untuk terus membaca dan menghafal Al-Quran. Lalu setelah hafal , orang ini disibukkan dengan terus mengulang-ulang agar hafalannya tidak berkurang, hilang dan musnah seketika.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Waktunya benar-benar dihabiskan hanya untuk menjaga hafalannya. Dia tidak peduli dengan keadaan sekitar, apakah pemuda-pemudi di sekitarnya dihantam syahwat dan tenggelam dalam kemaksiatan atau tidak. Yang dia pedulikan adalah dirinya sendiri. Dia hanya peduli bagaimana tidak kehilangan ingatan dalam hafalan Al-Qur’annya.

Orang-orang yang demikian itu terhadap Al-Quran adalah orang-orang yang aneh. Yang paling aneh dari keanehan-keanehan ini adalah sekelompok orang yang mulai mempertanyakan keabsahan Al-Quran sebagai dasar kehidupan seorang muslim. Orang-orang ini murni  produk pikiran liberal. Alih-alih mereka jadikan Al-Quran sebagai dasar, pedoman, dan pijakan dalam kehidupan. Justru mereka sudah berani melakukan kritik terhadap teks-teks Al-Quran .

Memang, mereka mendekati Al-Quran hanya dari sisi teks-teksnya saja. Mereka dibutakan dari pentingnya mengangkat misteri, makna, dan subtansi atau kandungan ayat-ayatnya. Mereka menyediakan otaknya hanya untuk megkritisi teks-teksnya belaka. Mereka pikir bahwa cara seperti itu adalah cara untuk menghidupkan Al-Quran, membumikan Al-Qur’an, menurunkan bahasa langit ke bahasa bumi, ke bahasa manusia.

Entahlah anda yang membaca tulisan ini termasuk yang bagaimana dalam memandang Al-Quran. Yang penting sesungguhnya bukan pada bagaimana menempatkan dan memandang Al-Quran. Tetapi yang penting adalah bagaimana energi Al-Quran mengaliri hidup dengan sedemikian rupa, sehingga menjadi teranglah jalan-jalan kebenaran yang akan ditempuh dalam mendekati dan berada dekat Allah SWT.

Wallahua’lam.


*Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari