sumber gambar: okezone

Pemaknaan doa oleh ahli akhlak (tasawuf) merupakan upaya untuk menghambakan diri kepada Allah SWT dengan mengakui segala bentuk kelemahan, serta mengharap dan memohon rahmat serta pertolongan kepada-Nya, sebagai wujud dari kepatuhan diri kepada Allah.

Sebagaimana perintah Allah yang artinya “Berdoalah kalian semua kepada-Ku, niscaya Aku akan mengabulkannya kepada kalian.” Dilalah al-Amri dalam berdoa menunjukkan Dilalah wajib.

Artinya, dalam kondisi bagaimanapun, doa tetap diperintahkan oleh Allah yang wajib dijalankan sebab doa yang afdhal adalah doa yang dalam konteks menjalankan perintah, bukan doa yang dalam konteks meminta jatah (rezeki) dari Allah.

Walaupun konteks yang kedua ini tidak juga bisa disalahkan. Rasulullah SAW bersabda: 

الدعاء سلاح المؤمن

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

“Doa adalah (laksana) pedang bagi orang mukmin.”

Makasud dari hadits di atas bahwasanya doa adalah senjata, ketika kekuatan fisik dan kekuatan inderawi sudah tidak memadai.

Perumpamaannya seperti seseorang yang akan mencabut (menggunakan) pedang jika tangan kosong tak lagi mampu menghadapi. Yaitu seseorang hendak memanjatkan doa ketika jiwa dan raganya tak mampu lagi menanggung atau menghadapi masalah.

Oleh sebab itu, dalam berdoa idealnya menggunakan bahasa yang jelas bukan menggunakan kalimat yang bersajak atau kalimat yang mengandung unsur takabur, riya’, pamer ilmu, dan lain-lain, kecuali shighat doa yang memang sudah maurud dari Rasulullah.

Selain ikhtiar, sediakanlah waktu untuk berdoa. Sikap itulah yang harus dimiliki oleh makhluk hidup yang berakal sehat, supaya tidak terjerumus pada hal-hal yang menyesatkan. Di saat manusia dihadapakan pada masalah yang berat dan rumit, tidak ada yang patut dilakukan kecuali doa.

Rasulullah SAW bersabda,

ليس أهل الجنة إلا على ساعة مرت بهم ولم يذكروا الله تعالى فيها

“Tidak ada penyesalan yang dialami penduduk surga kecuali waktu yang telah melewati mereka dan mereka (tidak sempat) berdzikir kepada Allah SWT.”

Sumber: Buku “Kado dari Pesantren” karya H. MA. Saifuddin Zuhri.