Sebuah ilustrasi para perempuan yang berjuang.

Namanya Aisyah. Seorang gadis muda dengan mata penuh cita-cita, yang lahir di sebuah desa kecil di pinggiran Jawa Timur. Di tengah keluarga yang pas-pasan, ia tumbuh dengan penuh kasih sayang, dan dibayangi oleh impian besar yang membara. Sejak kecil, Aisyah sudah memiliki tekad yang kuat untuk menghafalkan Al-Qur’an dan menjadi Hafidzah. Dengan uang saku 1.000.000 rupiah yang diberikan orang tuanya, ia memberanikan diri merantau ke Jombang, jauh dari kampung halaman, untuk menuntut ilmu di pondok pesantren dan Madrasah Aliyah.

Pondok yang ia pilih dikenal dengan sistem pendidikan yang sangat ketat. Para Kyai dan Nyai yang bijak membimbing para santri dengan penuh kasih, namun penuh tuntutan. Suasana pondok yang sangat berbeda dengan desa asalnya, memberi Aisyah tantangan baru. Setiap hari, ia bangun pagi, mengikuti kelas, mengaji, dan belajar dengan penuh semangat. Namun, seiring berjalannya waktu, Aisyah mulai menyadari sesuatu yang tak ia sangka: uang sakunya mulai menipis, dan nggak mungkin kalau harus minta ke orang tua terus menerus. Biaya buku, kebutuhan sehari-hari, dan berbagai pengeluaran tak terduga mulai menguras isi dompetnya.

Suatu hari, di tengah kecemasannya, Aisyah bertemu dengan seorang ibu pemilik warung makan dekat pondok. Ibu itu sedang mencari tambahan tenaga untuk membantu di warung. Tanpa ragu, Aisyah menawarkan diri untuk bekerja. Setiap sore selepas kelas, ia mencuci piring, menyapu lantai, dan merapikan meja. Meskipun penghasilannya tidak banyak, cukup untuk membeli kebutuhan sehari-hari dan buku pelajaran, Aisyah merasa lebih tenang. Namun yang lebih mengharukan adalah ketekunan dan semangatnya yang tak pernah padam. Di balik lelahnya bekerja, malam hari ia tetap menyempatkan diri menghafal Al-Qur’an dengan penuh kesungguhan.

Mata Aisyah seringkali terasa berat karena kelelahan, tapi ia tidak pernah menyerah. Setiap ayat yang ia hafal, terasa seperti cahaya yang semakin terang di hatinya. Meski air mata kadang menetes, itu bukan karena ia lelah, tapi karena rasa rindu pada keluarganya di desa dan tekad kuat yang menggerakkan hatinya.

Suatu sore, ketika Bu Nyai melihat Aisyah sedang bekerja di warung makan, ia merasa ada sesuatu yang harus dilakukan. Dengan lembut, Bu Nyai memanggil Aisyah ke ruangannya.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

“Aisyah, kenapa kamu bekerja di warung?” tanya Bu Nyai dengan penuh perhatian.

Aisyah terkejut, namun ia menceritakan segalanya dengan jujur. Ia mengatakan bahwa uang saku yang diberikan orang tuanya itu hanya cukup untuk kebutuhan selama 1 sampai 2 bulan saja. Sedangkan Aisyah di Jombang ini kan selama 3 Tahun. Aisyah tidak mau meminta ke orang tuanya, karena dia tahu kalau, orang tuanya disana juga harus memenuhi kebutuhan adiknya. Dan ia tak ingin membebani orang tuanya lebih lanjut. Bu Nyai mendengarkan dengan seksama dan tersenyum, penuh kasih sayang.

“Nak, kamu tak perlu bekerja di luar pondok. Mulai besok, bantu saja di kebun pondok ini. Bu Nyai akan mengurus semua kebutuhanmu,” ujar Bu Nyai sambil mengusap kepala Aisyah dengan penuh kelembutan.

Baca Juga: Hadiah Terakhir dari Paman

Mata Aisyah berkaca-kaca. Ia merasa seolah beban yang selama ini mengganjal hatinya hilang begitu saja. Dengan penuh rasa syukur, ia menerima tawaran itu. Sejak hari itu, ia menjadi tukang kebun pondok. Pekerjaan ini bukan hanya lebih ringan, tetapi jauh lebih menyenangkan. Di sela-sela merawat tanaman, Aisyah tetap menghafal Al-Qur’an, menikmati udara pagi yang segar, dan merasakan kedamaian yang lebih dalam di hatinya.

Waktu terus berlalu. Aisyah akhirnya menyelesaikan pendidikannya di Madrasah Aliyah. Di usia yang masih muda, ia berhasil menjadi Hafidzah. Impian yang dulu ia genggam dengan rapat, kini mulai nyata. Bahkan, ia mulai mengikuti berbagai lomba hafalan Al-Qur’an, dan di hampir setiap kesempatan, ia selalu membawa pulang gelar juara pertama. Kegigihannya membuatnya dikenal di kalangan santri sebagai sosok yang penuh semangat dan inspiratif.

Bu Nyai melihat potensi Aisyah yang lebih besar. Dengan penuh kasih, suatu hari beliau memanggil Aisyah ke ruangannya dan memberikan kabar yang mengejutkan.

“Aisyah, kamu akan melanjutkan pendidikanmu ke Maroko. Bu Nyai sudah mempersiapkan beasiswa untukmu,” ujar Bu Nyai dengan mata penuh haru.

Aisyah terdiam sejenak, air mata membasahi pipi nya. Semua yang terjadi terasa seperti mimpi. Dari hanya dengan 1.000.000 rupiah di saku, kini ia akan melangkah ke dunia yang lebih luas dan lebih besar, jauh dari kampung halaman, demi mengejar ilmu yang lebih dalam. Setiap langkah yang ia lalui menjadi cermin ketekunan dan tekad yang tak tergoyahkan.

Tahun-tahun berlalu, dan Aisyah kembali ke pondok pesantren setelah menuntaskan pendidikannya di negara Maroko. Ia kembali membawa ilmu yang lebih mendalam, serta kebanggaan yang semakin besar. Bu Nyai, yang selalu menjadi sosok ibu bagi Aisyah, mengangkatnya menjadi ustadzah di pondok pesantren tersebut. Kini, Aisyah menjadi ustadzah yang mengajarkan Al-Qur’an dan menanamkan semangat kepada santri-santri baru.



Penulis: Vira Laily Maghfiroh