Seorang gadis yang tampak bahagia menerima hadiah dari pamannya di halaman rumah. (lensgo.Ifa)

Langit sore tampak mendung, seakan turut berduka atas kepergian Paman Wira. Sejak kecil, Paman adalah sosok yang mengisi hari-hariku. Ia yang merawat dan menemaniku, sementara orang tuaku sibuk bekerja jauh dari rumah. Paman selalu ada untukku, dari pagi saat membangunkanku, sampai malam ketika membacakan cerita sebelum tidur. Tiada hari yang kulewati tanpa pamanku. Bagiku, Paman adalah pengganti orang tua—penjaga sekaligus sahabat yang selalu ada.

Dari kecil aku selalu diajak paman pergi berbelanja, berkebun, bermain masak-masakan, berangkat ke sekolah, mengerjakan tugas, sampai melakukan pekerjaan rumah juga bersama pamanku. Hari-hariku sangat seru sekali bersama pamanku.

“Aku tidak tahu bagaimana hariku, kalau pamanku sudah tiada ini. Hariku terasa hampa tanpa pamanku. Siapa yang akan mengajakku bermain lagi? Ucap Nara sambil mengusap air mata).

Di tanganku, sebuah kotak kecil berwarna biru terang dengan pita kuning yang terikat rapi di atasnya. Kotak ini diserahkan Ibu padaku setelah acara doa bersama selesai.

“Ini hadiah terakhir dari Paman Wira untukmu, Nara,” kata Ibu dengan suara pelan.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Aku menatap kotak itu dengan perasaan campur aduk. Paman memang sering memberikan hadiah kecil, tetapi kali ini terasa berbeda. Ada pesan mendalam di dalamnya yang seakan menanti untuk kutemukan.

“Bukalah, Nak. Paman Wira sudah lama mempersiapkan hadiah ini untukmu,” lanjut Ibu lembut.

Dengan hati-hati, aku membuka kotak itu. Di dalamnya, ada sebuah helm motor berwarna merah muda dengan desain lucu, penuh hiasan bunga-bunga kecil dan karakter kartun yang dulu sangat aku sukai. Di samping helm itu, ada selembar kertas tebal—sebuah voucher liburan ke pantai. Kupandangi voucher itu, dan kenangan pahit segera melintas di pikiranku.

Dua bulan yang lalu, Paman Wira mengatur rencana liburan ke pantai khusus untukku bersama keluarga. Ia sudah memesan penginapan dan menyusun rencana dengan penuh kegiatan yang menyenangkan—katanya agar aku bisa bersantai sejenak dari tugas  sekolah. Tapi aku terlalu sibuk. Menjelang semester akhir SMA, waktuku habis dengan tugas-tugas, ekstrakurikuler, dan persiapan ujian.

“Maaf, Paman. Aku nggak bisa ikut liburan kali ini,” ucapku waktu itu.

Paman tersenyum, meski ada kecewa di matanya yang tak bisa ia sembunyikan. “Nggak apa-apa, Nara. Mungkin lain kali kita bisa pergi, ya? Paman cuma ingin kamu bisa bersenang-senang, main pasir, dan mendengar suara ombak.”

Aku mengangguk cepat, tanpa menyadari bahwa ucapanku akan menjadi janji yang takkan pernah terpenuhi.

Kini, sambil menggenggam voucher itu, aku merasakan penyesalan yang dalam. Paman telah merawatku sejak kecil, mengajarkanku begitu banyak hal. Ia sering mengajakku berjalan-jalan di pagi hari, mengajarkanku naik sepeda, bahkan mendampingiku saat aku jatuh dari sepeda dan menangis. Paman selalu mendukungku, tetapi saat terakhir kalinya ia memintaku ikut liburan, aku malah menolak.

 

Aku memandang kertas kecil berisi pesan dari Paman yang kutemukan di dalam kotak:

“Nara, helm ini akan menemanimu setiap kali berangkat ke sekolah. Jangan lupa untuk sesekali beristirahat, ya. Voucher ini Paman berikan supaya kamu bisa liburan, meski kali ini kita tak bisa pergi bersama. Pakailah untuk menikmati hari yang kau lewati dengan bebas dan gembira, seperti yang selalu kuharapkan sejak kau kecil.”

Air mataku jatuh perlahan. Kata-kata Paman terasa begitu dekat, seolah ia masih di sini, menasihatiku dengan lembut. Voucher liburan ini adalah caranya untuk memintaku melanjutkan apa yang telah kami rencanakan bersama.

“Ibu, aku akan pergi ke pantai minggu depan,” bisikku dengan suara bergetar. Rasanya tidak akan sama tanpa Paman di sampingku, tapi aku tahu aku harus melakukannya. Paman ingin aku menikmati hidup, seperti yang selalu diinginkan sejak aku kecil.

“Ibu, Ayah, dan Adek nanti temani aku untuk pergi ke pantai ya, kita akan pergi ke pantai lagi, dengan perasaan senang, namun terharu, kecewa dan sedih. Meski begitu, ini adalah hadiah terakhir dari pamanku, yang harus aku terima dan aku tepati.

Dalam hatiku berbisik, “Paman, terimakasih banyak telah menemaniku dan mengajarkanku banyak hal dalam hidupku.”

“Paman aku akan terus mengenalmu dalam hati dan doaku…” mata berbinar-binar dengan raut wajah tersenyum, namun juga kesedihan.

Sambil menggenggam helm merah muda itu, aku berjanji akan menjaga kenangan ini dengan segenap hatiku. Helm ini akan menemani setiap langkahku, menjadi pengingat bahwa Paman Wira, sosok yang merawat dan mencintaiku tanpa syarat, seperti orang tuaku, yang akan selalu ada di sisiku, dalam setiap detik waktu dan langkah yang akan kujalani.



Penulis: Vira Laily Maghfiroh