dsc_4866-ranting-kelabu-1000
Sumber Gambar: https://rahard.wordpress.com/

Oleh : Prio Nur Utomo

Langit semakin menggelap, petir menyambar pohon pohon menumbangkannya, api masih terlihat memancar walau hujan telah menyiraminya, suasana menjadi suram kelam bagai melaju dalam mimpi kegelapan.

”ibuuu,,,”, Zahro berteriak mencari sang ibu  “Allahu Akbar,,,  ya robb”.

Suara takbir bergema dari bibir sang ibu sambil menggenggam buah hatinya, hanya bisa berlari keluar menghindar reruntuhan rumah tua ini. Yang ada hayalah do’a  yang tertulus, menghadap belas asih yang maha kuasa, tangisanpun tak henti dari mata yang penuh harap, mereka hanya diam terpaku di bumiNya, namun goncangan ini semakin lebih besar dan semakin menggetarkan bumi.

Zahro terbanting kemulut jurang, tubuhnya menggelinding bak kaleng tertiup angin, begitupun ibunya  yang telah tersujud penuh sahaja menanti pertolongan yang sangat berarti.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Suara takbir berkumandang di tiap sudutnya, bumi telah porak poranda seperti sang ajal telah mengahadang menanti korban yang telah ditentu, rumah-rumah yang berdiri tegak kini telah merata bersujud mencium tanah.

Suara jeritan,,,   suara tangisan,,,

Terdengar bersahutan seperti telah dirancang. Air mata berubah darah, menangis dan mengeluh, sepertinya bumi telah marah atas segala dosa dan kejahatan sang penghuni.

Bapak-bapak berlari mencari keluarganya, seorang ibu terus menjerit mencari anaknya yang hilang, bumi Bengkulu seakan-akan telah hancur dan  tak memginginkan persahabatan terlahir kembali, apakah bumi ini telah murka, cuaca berkabut hitam, hujanpun semakin deras melinang, doa-doa memohon ampunan  dan keselamatan tak henti terucap, sang petirpun tak mau berdiam menghantam bumi pertiwi, pohon pohon tumbang terjilat sang merah penuh kemarahan.

“ibu,,,,  ibu..  dimana ibu…..”, jeritan zahro terdengar penuh pasrah.

Zahro terus menjerit, meratap, mencari ibunya yang paling tercinta, kini dilihat rumahnya  menghilang mendasar bumi, yang terlihat hanyalah  hancur dan rata.

Seorang kakek terjepit bangunan  runtuh, darah segar mengalir berhamburan terciprat di mana-mana, jalan telah tebelah membuka celah  balita perempuan terjepit memasukinya entah kemana orang tuanya berlari, walau hujan telah behenti  namun  derita semakin menjelas, mobil ambulan tersebar ke mana-mana, bantuan berdatangan silih berganti  desa yang dulunya sepi sekarang ramai seperti tempat wisata, tetapi bukan tawa dan keceriaan yang hadir bukan keriangan yang menyambut namun kesedihan dan tangisan yang meratap, Begitupun Zahro terpaku dan termenung ketika mengetahui seluruh keluarganya telah kembali kepadaNya. Hanya tangis dan ratapan yang menemani kesunyian gadis 15 tahun ini, dan tak tau apa yang harus dilakukan dan dirasakan ketika menyaksikan jenazah ibunya terbungkus kafan putih.

‘ibuuuuuuuuu,,,,,,”

Zahropun terus menangis, meratapi sebuah nasib yang tak menentu

Ia teringat ketika terakhir kalinya ibunya menyentuh hatinya, ketika ibunya menyapa jiwanya, ia masih teringat kata kata terakhir ibunya,

“Nak, aku dan Bapakmu ingin mengajakmu pindah. di daerah kita ini rawan sekali Agamanya, ingat nak yaa, jangan sampai kamu terseret dan dianggap sebagai domba-domba yang tersesat oleh orang-orang itu.”

Tetapi hingga akhir-akhir detik yang menggentingkan iapun tak pernah mengetahui apa isi dari nasehat ibunya itu, hanya air mata yang terus merambat membasahi kelembaban pipi indahnya ketika ia harus terbayang kenapa harus ibunya, kenapa harus bapaknya yang harus pergi secepat ini meninggalkan senyumannya. Kini Zahro tersudut menekuk lutut di rumah sahabat kecilnya, Alfin, sahabat yang akan segera ada ketika kesunyian mulai menghadang dan bukan hanya kali ini saja tapi dari dulu dan seterusnya, dan hanya keluarga alfin yang selalu mencoba membuatnya tersenyum walau Zahro menyimpan  sembilu.

Tiba-tiba ketika senja telah menggantikan sang sinar, ada sekeluarga yang asing bagi Zahro dan melangkah ke rumah keluarga Alfin. Dan menanyakan tentang keluarga Zahro dan keadaannya sekarang ini,

“Zahro kenalkan saya ini teman ibumu dulu, saya ibu Dewi dan ini bapak Agus, nak bagaimana keadaanmu sekarang’

‘baik bu,,,  alhamdulillah” dengan sedikit terbata Zahro menjawabnya.

“Saya sudah mendengar kematian keluargamu nak, dan saya sama bapak kesini berniat menjengukmu, dan sebenarnya ingin mengangkatmu sebagai anak kami, saya sama bapak tidak punya anak nak”

Zahro terkejut membisu mendengarnya, hanya tangisannya yang mampu menjawabnya,

Dan setelah seharian berbicara dan musyawaroh dengan keluarga Alfin dan untuk masa depan Zahro akhirnya ia memutuskan untuk menerima orang asing tersebut menjadi orang tua angkatnya, dan akhirnya dibawalah gadis kecil ini kerumah orang tua angkatnya di Jakarta pusat,

“hahhcch… astagfirullah, ya Allah”, Zahro kaget melihat kenyataan yang menghadangnya karena ternyata orang tua angkatnya seorang kristiani yang tak seiman, bahkan ayah angkatnya seorang pastur di gereja peribadatan di samping rumahnya.

Malampun datang di kesunyianya ia terpaku dalam sujudnya menghadap sang ilaahi robbi “ya Allah,,, wahai Tuhanku,, benarkah Engkau mencintaiku, tapi kenapa ini semua terjadi padaku, maka ya Allah aku mohon selamatkanlah aku di waktu kau harus menyelamatkanku,”

Hari-haripun terus melaju dan tahun pun menyambut silih berganti, kini Zahro telah berbeda ia mempunyai kesibukan baru, disetiap minggu pagi dan hari-hari peribadatan gereja lainya ia selalu khusu’ dan aktif beribadah di gereja bahkan ia salah satu pemandu lagu lagu do’a di berbagai gereja di kota Jakarta, pergaulan dan keadaan keluarga baru Zahro lah yang memaksa ia melepaskan imannya, orang tua angkat yang penuh kasih sayang kepadanya membuat ia lupa akan siapa dirinya dan agamanya, kini ia telah menjadi umat kristiani bersama kehendak orang tua angkatnya.

Suatu ketika, setelah Zahro pulang dari undangan pernikahan jamaat orang tuanya di sebuah gereja katedral besar di kota sebelah, ada sesosok yang tak asing yang menatapnya dengan tajam sembari berfikir dan mengingat memperhatikannya di pinggiran jalan seakan mau menyeberang, sepertinya Zahro tahu sosok itu, sepertinya ia kenal sorot mata itu tapi mungkin hanya penuh tanya dan prasangka siapa dan siapa. Semakin dekat sosok itu menghampirinya, dan tepatlah sosok itu di depannya,

“maaf,, beenarkah kau Zahro. Teman kecilku”, Zahro sangat tercengang dan kaget menyaksikan sosok itu mengetahui namanya,

“benarkah”

“ iyaa benar,, anda siapa ya, dan darimana? “, Zahro berguman penuh Tanya.

“Ro’  kamu baik-baik saja kan, bagaimana keadaanmu sekarang, ingatkan kau ini aku Alfin, Alfin teman kecilmu, Ro’ masih ingatkan betapa besarnya gempa itu hingga kita terpisah seperti ini, masih ingatkah kau terakhir kali kau sapa aku sebelum kau pergi ke keluarga barumu dan tanpa mengingat aku lagi”

Air mata menetes di mata sayu Zahro, ternyata sosok itu adalah sahabat kecilnya, dan tiba tiba Zahro memeluk erat tubuh Alfin.

“ iya Fin, kemana saja kau ini, kemana?”

“ aku tetap di Bengkulu Ro’ mengadu nasibku yang mungkin semakin habis masa”

dan jampun menunjukan pukul 12.30 WIB,  masjid besar Istiqlal Jakarta tepat di depan gereja katedral tempat berlangsungnya pernikahan jamaat ayah angkat Zahro dilangsungkan terdengar suara Adzan dhuhur berkumandang dengan syahdunya.

“ Zahro ayo kita sholat Dhuhur berjama’ah di Istiqlal ini, sudah lama aku memimpikan bisa bersujud di masjid ini, inilah tujuanku di Jakarta menemuimu dan beribadah di masjid ini. Tapi Allah maha penyayang yang mempertemukan kita di dua keinginanku sekaligus dan waktu yang sama”, Alfin mengajak Zahro untuk bersamanya untuk melaksanakan sholat Dhuhur.

“Oh ya Ro’ dimana pakaian panjangmu, dimana kerudungmu?”

“sudahlah Fin sholat saja sendiri, aku bukan bagianmu lagi, aku kristiani Fin”

Sengat reflek secara tiba-tiba Alfin menjatuhkan tas yang dibawanya ia tercengang dan sangat kaget ketika mendengar kata yang barusan terucap dari bibir sahabat kecilnya, matanya kini berbinang-binang menyebut asma Allah.

“Ya Allah akan kah Engkau jadikan bencanaMu itu sebagai akhir dari keimananya ya Allah”

“Zahro…   apa yang menyebabkan semua ini, tak ingatkah masa kecilmu dulu, kau muslim Zahro kau muslim. Namun dimana iman itu sekarang, Zahro igatkan ketika almarhumah ibumu mengajarkan kau membaca Al Quran “qul huallahu ahad..” yang pastinya lupakah dirimu dengan senyum terakhir ibumu, ayahmu, lupakah kau dengan usaha mereka membesarkanmu, lupakah dirimu ketika kalimat syahadat  diucapkan terakhir kalinya oleh ayahmu.

Zahro merasa sangat terjepit dan ia mulai mengingat semuanya, air matanyapun tak dapat dibendung, ia hanya memikirkan almarhum ibunya dan ayahnya, mengingat kehidupan dulu, dan ia teringat akankah orang tuanya yang telah tiada akan tetap tersenyum melihat anaknya sekarang ini.

Ia terus tertekan, dengat hati yang tersayat dan terus menangis akhirnya Zahro berlari meninggalkan Alfin sekuat tenaga, Alfin pun segera mengejarnya tetapi Zahro tak ingin terhenti hingga tak disangka sebuah mobil Kijang hijau yang berlalu dengan sangat kencang menabrak tubuh Zahro terbanting dan terpental ke sudut trotoar jalan, darah mengalir dari kepalanya tetapi ia masih tak mengingat apapun kecuali senyum ibunya, Alfinpun berteriak kaku dan berlari menghampiri Zahro.

“Fin maafkan aku, dan Fin, aku masih ingat dengan semua yang kamu katakan tadi”

“Ro’ kamu harus bertahan, kamu harus bisa”

“aku mau menyusul ibu fin sama ayah, Fin di detik terakhirku. Bisakan aku memohon kepadamu Fin”

“iya Ro’. Tapi apa, Ro’ kamu harus bertahan”

“Fin bimbing  aku mengucapkan kalimat syahadat yang dulu pernah kuucapkan Fin”

Dan Alfinpun membantu Zahro mengucapkan kalimat kalimat toyyibah hingga akhirya Zahro pergi untuk selama-lamanya dan tak akan pernah kembali lagi. Dan di tengah jalan diantara masjid Istiqlal dan gereja  besar ini di waktu dhuhur ini telah menjadi saksi kepergianya, dan tak diketahui apakah Zahro akan akan kembali bersama ayah dan ibunya atau ia kembali bersama orang orang yang  musyrikin, meski diakhir hayatnya ia mengucapkan kalimat toyyibah.


* Penulis Mantan Wartawan Majalah Tebuireng.

**Artikel Ini pernah dimuat di Majalah Tebuireng edisi 15 (Mei-Juni) tahun 2011.