Sumber foto: wikipedia.org

Oleh: Ahmad Faozan*

Semua makanan bagi santri, nikmat semua. Padahal cuma nasi plus sambal terong, umpamanya. Siraman air ke bekas memasak nasi pun rasanya seger sekali. Entah, yang dibayangkan teh manis atau kopi pahit. Hal itu juga akan terkenang selalu selepas kita keluar dari pesantren.

Bersyukurlah, para santri sekarang yang sudah tidak perlu repot memasak, tinggal memakan saja. Meskipun tidak semuanya seperti itu. Kenapa? Masih banyak kita jumpai sejumlah pondok pesantren yang membolehkan santrinya memasak sendiri. Baiklah, intinya, bukan soal boleh masak-memasak. Tetapi, menikmati makanan.

Dalam hal ini, petuah dari Keluarga Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari menarik dijadikan teladan. Sosok Kiai Karim Hasyim atau kiai yang memiliki nama samaran Akarkhanaf ini didalam keluarganya benar-benar mengajarkan keteladanan yang saya kira perlu dicontoh.

Putra Hadratussyaikh ini tidak pernah mengeluh mengenai menu makanan yang dihidangkan di meja makannya. Beliau selalu bersyukur menikmati makanan bersama keluarganya. Cara beliau memakan pun menurut keluarganya tak biasa. Kiai Karim selalu mengawali makan dengan cara menghabiskan lauk pauknya yang biasa saja.
Beliau sisakan lauk yang enak untuk dimakan menjelang akhir. Kenapa demikian?

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Menurut Kiai Karim, “Inilah cara menikmati makanan. Yang kurang enak dimakan terlebih dahulu sedangkan yang enak di akhir. Sama dengan kita hidup, kita harus merasakan hal-hal yang kurang enak di hati kita. Toh, nanti kita akan merasakan sesuatu yang enak dikemudian hari.”

Dalam hal ini, Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari pernah berpesan kepada putranya, “Di saat makan, kalau mau menambah maka sisakan yang ada di piring jangan dihabiskan terlebih dahulu. Tetapi disisakan entah satu atau dua sendok agar rizkinya tidak habis. Setelah itu, baru tambah entah nasi atau lauk pauknya, agar kita mendapat rizki dari Allah pada saat kita tidak mendapatkan kenikmatan yang diberikan lagi oleh Allah.”

Soal makan, KH. M. Yusuf Hasyim putra Kiai Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari lainnya juga dawuh. “Kepribadian seseorang itu dapat terlihat saat ia makan.” Betapa, membaca kepribadian seseorang memang tidak melulu dari gaya berkomunikasi dan tulisan tangannya namun juga saat seseorang makan. Pesan ini pernah saya baca di dalam ndalem wingking dekat Asrama Lasykar Hizbullah, Pesantren Tebuireng.

Sedangkan melihat Gus Dur cucu Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari dalam hal makan, nampaknya semua makanan nikmat. Walaupun terkadang dilarang oleh dokter tetap saja dalam luar kesempatan sering melanggar, beliau tak menghiraukan aturan makanan untuknya. Entah, karena makan bersama orang khusus. Entah karena ingin menghormati yang membuat makan. Dan lain sebagainnya.

Begitupun dengan Gus Sholah, nampaknya dari cara beliau makan lahap sekali meskipun lauknya hanya tahu dan tempe plus sayur. ‘Tepak giliran menu itu, karena tiap hari menu makan santri berubah-rubah.’ Dengan memakan hidangan para santri-santri dan pengurus pondoknya bagi Gus Sholah tidak sekedar merasakan kenikmatan sebuah makanan. Lebih dari itu menjadi lebih tahu menu makanan buat para santrinya sudah kaya gizi belum.

Pesan penting yang bisa kita dipetik adalah. Gunakanlah etika saat makan. Jangan mencaci maki makanan. Bersyukurlah bisa makan, dan lain sebagainya. (Diolah dari berbagai sumber) Buat poro yai di atas, Al Fatihah.


*Direktur Unit Penerbitan Tebuireng