Sumber foto: www.google.com

Oleh: Hilmi Abedillah*

“Alhamdulillah, setelah menamatkan puasa Ramadan, akhirnya kita tiba di hari Idul Fitri. Hari di mana dosa-dosa telah lebur dan kita kembali suci.”

Begitulah kira-kira kalimat yang sering kita dengar setiap momen perayaan Idul Fitri. Baik dari iklan televisi, khatib, penceramah, maupun tatap muka secara langsung. Selama ini kita mempercayai bahwa id berarti kembali, dan fitri berarti suci.

Namun, pemaknaan tersebut sebenarnya kurang tepat, misalnya dari sudut pandang etimologis (bahasa). Menurut KBBI, Idul Fitri adalah hari raya umat Islam yang jatuh pada tanggal 1 Syawal setelah selesai menjalankan ibadah puasa selama bulan Ramadan.

Baik id maupun fitri sama-sama serapan dari bahasa Arab. Id berasal dari fi’il ‘aada – ya’uudu yang artinya kembali. Ia terdiri dari huruf ‘ain, ya, dal. Namun, asli dari ya ialah wawu. Diganti dengan ya karena huruf ‘ain yang berharakat kasrah. Bentuk jamaknya ialah a’yaad, dan tashghirnya ‘uyaid (hari raya kecil).

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Id adalah setiap hari perkumpulan. Bisa juga berarti karnaval, festival, atau pesta. (Jamharatul Lughoh, II, 669; Qomus al-Muhdats) Dalam bahasa Inggris, id lazimnya diartikan day (hari). Misalnya, idul istiqlal artinya independence day (hari kemerdekaan), idul ‘ummal artinya may day (hari buruh), dan idul ummi artinya mother’s day (hari ibu).

Hari-hari tersebut bukanlah hari biasa, melainkan hari raya atau haru besar. (Qomus al-Muhdats) Id memang berkaitan erat dengan arti kembali, namun id dalam idul fitri tidak lagi bermakna kembali. Ia diambil dari kata tersebut karena id akan kembali setiap tahunnya dengan kegembiraan baru, sebagaimana menurut Khasyab al-A’rabi.

Bagi orang Arab, id merupakan waktu di mana mereka memperingati kebahagiaan dan kesedihan. Menurut ahli bahasa yang lain, diambil dari kata i’taada yang artinya terbiasa. Ini karena kita terbiasa merayakan id secara berkala. (Lisanul Arab, III, 315; Jamharatul Lughoh, II, 669)

Sedangkan pemaknaa fitri sebagai suci mungkin tercemar oleh kata fitrah. Meski dari akar kata yang sama, keduanya berbeda dalam makna.

كُل مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ على الفِطْرَةِ

“Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan suci.”

Fitrah berasal dari asal kata fathara – yafthuru yang artinya membelah, terbit, tumbuh. Fitrah dalam hadits tersebut artinya agama yang menjadi tabiat dasar pembawaan.

Menurut Abul Haitsam, fitrah bermakna pembawaan yang diciptakan kepada bayi di dalam perut ibunya. (al-Muhith fil Lughoh, II, 318; Tajul Arus min Jawhiril Qamus, XIII, 328)

Selain dari asal kata yang telah disebutkan, fitri juga memiliki padanan iftar, yang berasal dari afthara – yufthiru yang artinya berbuka. Mungkin sulit untuk menerjemahkan kata fitri ke dalam bahasa Indonesia, karena fitri ialah lawan kata dari puasa.

Sementara berbuka didefinisikan sebagai minum atau makan pada petang hari (biasa ditandai dengan masuknya waktu maghrib) untuk membatalkan puasa sesudah berpuasa. Tidak sepenuhnya salah, tidak pula sepenuhnya benar. Karena, seseorang walaupun tidak makan atau minum, asalkan dia tidak puasa, ia disebut fitri.

Poinnya, fitri diterjemah sebagai buka telah mengalami pergeseran makna. (Lisanul Arab, V, 55; al-Muhith fil Lughoh, II, 318) Di samping diartikan berbuka, fitri juga bisa bermakna makan pagi. Idul fitri bisa berarti hari raya makan pagi atau pesta sarapan. Ini dikarenakan selama bulan Ramadhan tidak pernah ada makan pagi.

Ketika hari raya tiba, semua orang bahkan diharuskan makan pagi karena haram puasa di hari itu. Begitulah kiranya penjelasan arti idul fitri secara etimologi. Idul fitri bukanlah kembali suci, melainkan hari raya makan pagi. Namun, bisa jadi berarti demikian jika dipandang dari sudut filosofis atau yang lain.

Semoga saja, setelah purna dalam hablun min Allah selama sebulan dan hablun min an-nas pada hari raya, kita benar-benar ‘seperti’ kembali suci sebagaimana sediakala.

*Redaktur Majalah Tebuireng.