Sebuah buku pendidikan karya J. Sumardianta / Dhitta Puti Sarasvati

Dunia pendidikan kita sebagaimana banyak hal dalam kehidupan, tidak terlepas dari arus perkembangan zaman. Jika dulu para guru berperan sebagai penjaga pengetahuan yang terpapar di atas kertas, kini mereka dihadapkan pada sebuah revolusi digital yang serba cepat dan serba virtual.

Dalam karya kolaboratif mereka, Guru Posting Berdiri, Murid Update Berlari: Transformasi Pendidik Zaman Kerumunan Virtual, J. Sumardianta dan Dhitta Puti Sarasvati mengajak pembaca merenung lebih dalam tentang kondisi dunia pendidikan yang sedang mengalami transisi besar, terpengaruh oleh kemajuan teknologi dan gelombang sosial media yang datang begitu deras.

Buku ini bukanlah buku yang biasa. Dengan gaya yang tidak terlalu kaku dan sangat terbuka untuk interpretasi, buku ini menghindari struktur argumentasi yang tradisional. Sebaliknya, ia menyerupai mosaik warna-warni yang berpadu menjadi sebuah karya yang bisa dinikmati dari berbagai sisi.

Pembaca bebas untuk memasuki halaman mana pun tanpa harus mengikuti urutan bab yang telah ditentukan. Sebuah pendekatan yang mencerminkan sifat dunia pendidikan kontemporer yang kini begitu fleksibel dan terfragmentasi. Di halaman pertama, buku ini menyarankan bahwa kita harus “memandang pendidikan sebagai sebuah karya seni yang hidup, bukan sebagai sebuah sistem yang beku”.

Di bagian pengantar, buku ini mengutip pernyataan yang sangat kuat: “Pendidikan yang tidak digunakan untuk mengangkat harkat kemanusiaan, hanyalah hiasan berbahaya. Tak ubahnya permata berkilau yang bertengger di atas kepala kobra” (hlm. 2). Pernyataan ini bukan hanya sebuah prolog, tetapi juga semacam kode etik yang mengingatkan kita tentang hakikat sejati pendidikan.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Baca Juga: Digitalisasi Pendidikan, Pahami Peluang dan Tantangannya

Sebuah refleksi bahwa jika pendidikan hanya digunakan untuk mengejar angka-angka dan efisiensi semata, maka ia akan kehilangan arah dan makna. Seperti permata yang bersinar, pendidikan yang melupakan nilai kemanusiaan akan menjadi sesuatu yang berbahaya. Buku ini adalah usaha untuk kembali menyentuh dasar dari pendidikan itu sendiri.

Berkisah tentang perubahan besar yang terjadi dalam dunia pendidikan di era digital, Guru Posting Berdiri, Murid Update Berlari memperkenalkan dua figur penting dalam sejarah perkembangan teknologi: Johannes Gutenberg dan Mark Zuckerberg. Gutenberg, penemu mesin cetak pertama di abad ke-16, membawa revolusi dalam dunia literasi dan pencetakan buku.

Sementara Mark Zuckerberg, sang pendiri Facebook atau kini lebih dikenal sebagai CEO META, memimpin era baru dengan menciptakan kerumunan virtual yang kini mendominasi kehidupan sehari-hari kita. Buku ini melihat pendidikan dalam konteks dua tokoh besar ini, menggambarkan perbedaan zaman yang begitu kontras (hlm. 11).

Di tengah perbandingan ini, penulis mengungkapkan betapa perubahan yang terjadi dalam dunia pendidikan saat ini begitu tajam, terutama sejak pandemi COVID-19. Jika sebelum pandemi pendidikan masih terasa seperti mesin besar yang bergerak lambat dengan guru-guru yang memegang peran sebagai penyebar informasi dari atas mimbar, pandemi telah memaksa kita untuk beradaptasi dengan kecepatan dan ketidakpastian zaman baru.

Pembelajaran yang tadinya luring (offline) dengan segala rutinitasnya, kini terpaksa beralih menjadi daring (online), memaksa para guru untuk menyelam ke dalam dunia digital yang asing bagi mereka (hlm. 28).

Dalam bab-bab awal, pembaca diperkenalkan dengan tantangan yang dihadapi oleh guru-guru yang terbiasa dengan metode tradisional. Pandemi membuat mereka menjadi “penyintas” yang harus beradaptasi dengan cepat. Di sini, Sumardianta dan Sarasvati menggambarkan pertemuan dua dunia yang saling bertubrukan: guru-guru dari generasi yang lebih lambat dan murid-murid yang terbiasa dengan kecepatan.

Pergerakan generasi lama yang lebih mementingkan kedalaman pengetahuan bertemu dengan generasi baru yang cenderung superficial dan serba cepat, namun multitasking. Buku ini dengan cerdik menyatakan bahwa jika keduanya bisa berkolaborasi, maka pendidikan masa depan akan sangat luar biasa (hlm. 33-34).

Namun, meskipun perubahan telah terjadi, derajat guru di Indonesia tetap stagnan. Meskipun banyak guru yang kini memiliki kecakapan digital dan bahkan terpaksa memiliki sertifikasi sebagai upaya untuk meningkatkan kesejahteraan, profesi guru di Indonesia masih jauh dari dihormati. Di sini, penulis mengkritik keras kondisi ini, menyoroti bagaimana masyarakat masih memandang profesi guru sebagai pekerjaan yang tidak terhormat.

Baca Juga: Peran Tebuireng Menghadapi Kecerdasan Buatan

Penulis juga membandingkan dengan profesi pemadam kebakaran di Amerika Serikat yang dianggap lebih mulia karena memberikan kontribusi nyata untuk masyarakat. Sebuah kritik yang tajam, yang menyingkapkan bahwa pendidikan kita masih terperangkap dalam sekadar memenuhi tuntutan industri (hlm. 47-48).

Salah satu bagian penting dalam buku ini adalah ketika penulis mengungkapkan tentang pendidikan yang harus bertransformasi menjadi lebih eksploratif dan kontekstual. Pendidikan tidak boleh lagi berorientasi pada indoktrinasi dan materi yang monoton.

Guru harus mampu menjadi fasilitator yang memandirikan murid, bukan diktator yang memaksakan pengetahuan. Pendidikan harus menghargai rasa ingin tahu murid dan memadukan pembelajaran dengan konteks sosial dan lingkungan mereka (hlm. 53).

Buku ini, meski penuh kritik terhadap dunia pendidikan, juga menawarkan pandangan yang optimis. Penulis meyakini bahwa meskipun banyak tantangan, ada peluang besar untuk transformasi pendidikan yang lebih baik, terutama ketika guru dan murid bisa berkolaborasi secara sinergis. Guru yang bergerak perlahan, seperti kapal selam yang menyelam dalam lautan pengetahuan, bertemu dengan murid yang cepat, seperti speed boat yang melaju kencang di permukaan arus. Kolaborasi ini, menurut penulis, bisa menghasilkan pendidikan yang luar biasa, di mana kedua belah pihak saling melengkapi dan berkontribusi pada satu tujuan yang lebih besar (hlm. 60-61).

Dalam pandangan penulis, dunia pendidikan tidak bisa lagi hanya berfokus pada teknis dan administratif. Kita harus berani berpikir lebih jauh. Pendidikan harus mengangkat harkat kemanusiaan, bukan sekadar mengejar angka dan prestasi. Di sinilah buku ini memberikan pencerahan. Dengan pendekatan yang luwes dan kadang menggelitik, penulis mengajak kita untuk memikirkan kembali tujuan sejati dari pendidikan.

Jika pendidikan hanya sekadar memenuhi tuntutan pasar atau industri, maka ia akan kehilangan arah. Namun, jika pendidikan bisa kembali pada hakekatnya—mengangkat harkat kemanusiaan dan memberdayakan individu untuk berpikir kritis—maka masa depan pendidikan Indonesia akan cerah (hlm. 72).

Baca Juga: Pemuda Society 5.0 Harus Cakap Literasi Digital

Buku ini, meski tidak selalu terstruktur dengan rapi, berhasil menyentuh banyak aspek penting dari dunia pendidikan kita. Dengan gaya yang lugas dan penuh renungan, Guru Posting Berdiri, Murid Update Berlari menggugah kita untuk tidak hanya melihat pendidikan sebagai sebuah proses transfer pengetahuan, tetapi juga sebagai proses pembebasan dan pemberdayaan. Sebuah karya yang sangat relevan di tengah dinamika zaman yang terus berubah.

Di akhir buku, penulis mengajak kita untuk merenung. Pendidikan bukan hanya tentang kurikulum dan administrasi. Pendidikan adalah tentang manusia, tentang rasa ingin tahu, dan tentang bagaimana kita bisa lebih manusiawi satu sama lain. Sebuah pernyataan yang sangat relevan dan penting, mengingat pendidikan kita sering kali dilihat hanya sebagai alat untuk menghasilkan tenaga kerja produktif. Buku ini berhasil membuka mata kita bahwa pendidikan harus lebih dari itu.


Judul Buku                 : Guru Posting Berdiri, Murid Update Berlari
Penulis                        : J. Sumardianta & Dhitta Puti Sarasvati
Penerbit                      : DIVA Press
Tahun terbit               : 2022
ISBN                           : 978-623-293-724-6
Halaman                     : 272
Peresensi                   : Laela Wafiatul Alfia (Santri di Pondok Pesantren Tegalrejo, Magelang)