Novel Gadis 12 Rakaat. Karya Ma’mun Affany

Judul : Gadis 12 Rakaat
Penulis : Ma’mun Affany
Penerbit : Kanzun Books
Tebal Buku : 263 halaman
Peresensi : Nur Ifana*

Novel Gadis 12 Rakaat ini menceritakan tentang perjalanan cinta dan agama seorang pemuda nasrani yang ta’at. Bagus Pradana, sosok pemuda kelahiran Manado yang tak pernah mengenal ayah dan ibunya sejak kecil. Hidupnya gelandangan, ia menjadi pengamen dari tempat ke tempat sejak umur 5 tahun.

Wajahnya yang tampan, keberaniannya yang tampak, dan suaranya yang bagus menjadikan dirinya beruntung di angkat menjadi anak gereja. Setiap hari Minggu, ia yang selalu memimpin para jemaat gereja Marinius Surabaya untuk melantunkan pujian-pujian kepada Tuhan.

Selain seorang pemuda yang taat bergama, dirinya adalah pasukan militer. Ia merupakan mutiara bagi negara tanpa orang tua. Sosoknya adalah abdi negara yang menjadi pasukan khusus dalam penyerang-penyerangan rahasia. Tidak banyak yang tahu bahwa dirinya adalah pasukan paling rahasia.

Misi dalam hidupnya adalah hanya untuk Tuhan dan mendapatkan balasan surga dari Tuhan. Ia mendapatkan tugas suci untuk mendekati anak kiai besar di Jawa Timur yang diduga terpaut dalam jaringan teroris. Dengan mendekati anak tokoh yang berpengaruh besar, tentu akan mempengaruhi banyak orang jika anaknya berhasil ditaklukkan.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Aisy Fashihah Ilma, gadis berparas cantik, secantik ahlaknya. Gadis berdarah Arab ini adalah anak sulung dari Kiai Husein, Malang, yang menjadi incaran misinya Bagus Pradana. Fashihah, adalah santriwati emas di pondoknya. Ia menimba ilmu di pesantren yang ada di Kajen Pati Jawa Tengah. Pasalnya, meskipun ia adalah anak kiai sekaligus pengusaha besar, namun hidupnya penuh kesederhanaan. Suaranya bagus, sebagus paras dan tingkah lakunya.

Perjalanan Bagus untuk menemukan Fasihah tidaklah susah. Ia menyamar menjadi santri untuk belajar Al-Quran dan bahasa arab di pondok pesantren yang di tempati fasihah selama enam bulan. Ia bersembunyi dalam topengnya menjadi abdi ndalem untuk bisa mengetahui tentang sejatinya Fasihah. Dengan kelebihan yang sama-sama di miliki, keduanya pun jatuh hati. Dengan restu Gus Ali, pimpinan pesantren tersebut keduanya menikah setelah lulus dari pesantren.

Satu persatu misi Bagus terselesaikan. Fasihah berada dalam genggamannya, sah menjadi istrinya. Berharap lahir keturunan dari mereka dan anaknya akan di baptis menjadi pengikut kristiani. Namun tidak dengan takdir yang sudah di gariskan oleh sang pencipta, selama 8 tahun berumah tangga tak kunjung ada keturunan yang didapatkan. Bagus semakin dilema dengan tugas sucinya, lepas dari agamanya atau lepas dengan gadis yang benar-benar sudah terlanjur dicintainya. Cinta Fashihah benar-benar tulus kepada suaminya.

Cinta dipupuk dengan kebaikan akan semakin tumbuh, itulah yang dilakukan oleh Fasihah, yang benar-benar percaya pada suaminya. Bagus semakin jatuh hati kepada wanita muslimah yang taat beribadah ini. Bukan hanya sekadar perkataan saja, namun ajaran Islam benar-benar terwujud dalam perlakuan Fasihah. Ajaran yang penuh kebaikan dan kedamaian tanpa kebencian. Dirinya memutuskan untuk masuk Islam, meski tahu banyak risiko yang akan di tanggungnya.

“Agama tergantung siapa yang mengamalkannya. Jika ikhlas hanya untuk ibadah, semua terasa tenteram. Tidak tenteram hadir karena lebih mementingkan ego golongan dan pribadi. Aku bersandar pada istriku. Istriku tahu mana yang harus diperdebatkan dan mana yang harus diamalkan. Aku sudah bulat, aku akan masuk Islam.” (hal. 176)

Dalam novel ini, penulis memaparkan dengan bahasa romantisnya bahwa cinta manusia tidak bisa sesaat. Cinta harus kekal sampai ahir hayat dan bisa menyatu hingga di ahirat. Novel bercover merah jambu yang berhias tasbih di genggaman tangan ini, patut dibaca oleh kaum muda.

Bahasa dalam novel ini begitu mudah dipahami, dan benar-benar membawa pembaca larut dalam suasana cinta yang dialami oleh manusia berbeda agama. Satu cinta satu muara, kelak surga di alam baka.

*Pembina santri Trensains, Pesantren Tebuireng, Jombok, Ngoro Jombang.