Pertanyaan:
Assalaamu’alaykum. Wr. Wb.
Kepada yang saya hormati Pak Kyai Ali Mustafa Yaqub, saya pernah mendengar sebuah hadits yang mengatakan bahwa “Bekerjalah seolah-olah kamu akan hidup selamanya, dan beribadahlah seakan-akan kamu akan mati besok.” Pertanyaannya benarkah itu hadits atau sekedar maqolah yang masyhur, jika benar itu hadits bagaimana kualitasnya dan bagaimana jika kita mengamalkannya sedangkan ada keterangan lain yang tidak memperbolehkan mengejar-ngejar dunia dalam beragama. Matursuwun. Rasyid Abdul Rozaq, Purwokerto
Jawaban:
Wa’alaikumsalam. Wr. Wb.
Mas Rasyid yang dirahmati Allah. Hadits yang anda maksud mungkin ini, “Bekerjalah kamu untuk kepentingan duniamu seolah-olah kamu akan hidup selamanya, dan bekerjalah kamu untuk kepentingan akhiratmu seolah-olah kamu akan mati besok”. Menurut Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, hadits redaksi seperti ini tidak memiliki sanad sama sekali (lâ ashla lah) artinya tidak berasal dari Nabi saw (hadits mauqûf). Meskipun demikian, maqolah ini ternyata sangat popular di kalangan masyarakat. Syaikh Abdul Karim al-Ghazzi, pengarang kitab al-Jidd al-Hatsîs fi Bayân Mâ Laysa bi Hadîts (yaitu kitab yang memuat ungkapan-ungkapan yang diklaim sebagai hadits padahal bukan) ternyata tidak memasukkan hadits itu di dalam kitabnya. Dalam kitab al-Zuhd karya ibn al-mubarok, hadits tersebut ditemukan dengan sanadnya, hanya saja tidak bersumber dari Nabi Muhammad saw, melainkan dari sahabat Nabi yakni Abdullah bin Amr bin Ash. Dalam disiplin ilmu hadits ini masuk hadits mauquf bukan hadits marfu’.
Hadits mauquf dapat memiliki status sama dengan hadits marfu’ apabila ia berkaitan dengan turunnya al-Quran, misalnya seorang menerangkan bahwa ayat ini diturunkan dalam peristiwa ini, dan sebagainya ataupun hal itu tidak berkaitan dengan masalah ijtihadiyah. Masalah ijtihadiyah adalah hal-hal yang merupakan pemikiran para sahabat sendiri, baik yang berkaitan dengan hukum atau yang lain.
Kualitas Hadits
Setelah diketahui bahwa ungkapan tersebut bukan hadits Nabis saw, maka sebenarnya tidak perlu lagi diteliti apakah ia memiliki otensitas. Ternyata tidak demikian dalam sumber-sumber yang telah disebutkan diatas tadi, sanad atau transmisi ungkapan Abdullah bin Amru, itu ternyata munqati’ (terputus). Karenanya ia dalam kapasitasnya sebagai ungkapan atau pendapat sahabat juga tidak shahih. Dari segi matan atau substansinya, ungkapan di atas juga perlu ditinjau kembali. Sebab ungkapan tadi mengandung perintah agar kita mencari harta dunia dengan luar biasa seperti akan hidup di dunia ini selamanya. Hal ini sangatlah berlawanan dengan ajaran Islam secara umum yang menghendaki agar manusia bersikap zuhud dan agar selalu ingat mati serta tidak melamun untuk hidup di dunia ini selama-lamanya.
Dalam ayat al-Quran misalnya ada dua ayat yang disebut sebagai berkaitan dengan mencari dunia. Tetapi apabila dicermati masalahnya tidaklah seperti itu. Surat al-Qashas ayat 77 berbunyi, “Carilah dari apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu untuk kebahagiaan negeri akhirat dan janganlah kamu lupa bagianmu di dunia”. Ayat ini mulanya merupakan ucapam Nabi Musa as kepada Qarun, justru menyuruh manusia untuk mencari bekal akhirat, sementara untuk masalah dunia hanya dikatakan dan janganlah kamu lupa.
Banyak orang sekarang yang justru terbalik pemahamannya, sehingga ia sering member nasihat, “Carilah dunia sebanyak-banyaknya, tetapi jangan lupa kepentingan akhiratmu”. Dalam surat al-Jumu’ah ayat 10 disebutkan, “Maka apabila Telah ditunaikan Shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi, dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak agar kamu beruntung.”
Ayat ini tidaklah menyebutkan “carilah harta”, atau “carilah dunia”, melainkan ia hanya menyebut “carilah kemurahan Allah” sesuatu hal yang tetap berkonotasi ukhrawi. Hadits-hadits Nabi saw justru sarat dengan peringatan-peringatan agar manusia hati-hati dan waspada terhadap harta dan dunia. Dan kenyataannya tanpa ada satu ayat atau hadits pun yang menyuruh manusia untuk mencari dunia, manusia ternyata sudah menggebu-gebu dalam mencari dunia. Oleh karenanya ungkapan yang tidak otentik dari Abdullah bin Amr yang oleh kebanyakan orang diklaim sebagai hadits yang sesungguhnya sangat berlawanan dengan ajaran Islam. Wallahu’alam.
Prof. Dr. KH. Ali Musthofa Ya’kub, MA
Pengasuh Rubrik Telaah Hadis Majalah Tebuireng