Dalam ilmu Kalam sering diperdebatkan mengenai apa itu kebenaran, bagaimana kebenaran itu diraih, dan apakah orang yang tidak pernah mendengar tentang kebenaran itu wajib mengikutinya? Apakah orang yang tidak tau menahu soal Islam karena ia tidak pernah mendegarnya akan disikan di akhirat jika ia tidak beragama Islam? Jika ada orang yang tinggal di tempat yang jauh dari keramain –katakan di hutan- dan tidak pernah mendengar tentang Islam dan nabi Muhammad, apakah ia diwajibkan beriman kepadanya?
Kebanyakan ahli Kalam berpandangan bahwa seseorang yang berada dalam kondisi ini dan tidak pernah mendengar dakwah Islam tidak wajib beriman kepada nabi Muhammad dan tidak harus menjalankan aturan-aturan agama Islam. Ia tidak akan dimintai pertanggungjawaban kelak di akhirat atas ketidak-imanannya kepada Allah dan nabi Muhammad, dan tidak akan disiksa di nereka. Alasan yang dikemukakan oleh kebanyakan ahli Kalam tidak selamanya berdasarkan pada dalil-dalil dari Qur’an atau Hadith melainkan dari akal dan argumentasi rasional. Mereka memandang bahwa menghukum orang yang tidak tahu itu tidak adil. Allah Maha Adil, sehingga dengan keadilan-Nya, Ia tidak akan menghukum orang yang benar-benar tidak tahu. Allah hanya akan menghukum orang yang tahu tapi tidak patuh, menyeleweng atau membangkang.
Sebaliknya, orang yang pernah mendengar tentang Islam dengan satu cara atau lainnya, wajib beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, mengikuti ajaran Islam dan hidup sesuai dengan aturan-aturannya. Ini adalah pandangan yang sangat standar dan diterima oleh semua ulama. Sekarang persoalannya adalah, siapa yang dapat dianggap pernah mendengar Islam dan bagaimana seseorang itu dapat dinilai benar-benar pernah mendengar tentang agama ini? Apakah di era modern seperti ini, ada orang yang tidak pernah mendegar tentang Islam?
Al-Ghazali memberikan satu pandangan bahwa pernah tidaknya seseorang mendengar tentang Islam dapat dilihat dari lingkungan tempat ia tinggal. Lingkungan dimana seseorang berada sangat menentukan apakah ia dapat dikatakan pernah mendengar Islam apa tidak. Jika secara akal dan kebiasaan, seseorang dapat mendengar Islam melalui lingkungan tempat ia tinggal, maka ia dapat dihukumi pernah mendengar Islam.
Jika rumus ini yang kita gunakan, maka untuk era modern seperti ini tidak ada orang yang tidak pernah mendengar tentang Islam karena tehnologi informasi telah membuat agama ini dikenal di seantero dunia. Mungkin hanya ada segelintir orang yang tidak pernah mendengar tentang Islam seperti masyarakat pedalaman di hutan Amazon atau mungkin juga sebagian suku di negeri ini yang masih tergolong tertinggal seperti suku Anak Dalam di Riau.
Karena itu, pertanyaan mengenai status keimanan orang yang tidak pernah mendengar Islam sudah tidak relevan lagi di era modern ini mengingat hampir semua orang dapat dipastikan pernah mendengarnya. Pertanyaan yang pas sekarang ini adalah bagaimana kita mensikapi keimanan atau kebenaran agama itu sendiri. Jadi, sudah ada pergeseran cara pandang tentang Islam karena perubahan dan perbedaan zaman dan lingkungan. Dan perbedaan cara pandang itu berdampak pada perubahan pertanyaan yang harus kita jawab.
Menjawab pertanyaan mengenai bagaimana kita mensikapi keimanan dan keyakinan, orang seperti al-Ghazali lagi-lagi menggunakan kata kunci yang sama, lingkungan. Ia menegaskan bahwa keimanan dan kebenaran agama itu tunduk pada lingkungan. Keimanan seseorang dapat dibentuk oleh lingkungannya. Hitam putihnya keimanan seseorang dapat dipengaruhi oleh tempat dan masyarakat ia tinggal. Walhasil, di samping proses pendidikan formal dan pendidikan keluarga, pergaulan juga amat menentukan warna keimanan kita.
Pandangan al-Ghazali ini sekaligus merupakan peringatan agar kita lebih berhati-hati dalam memilih lingkungan hidup kita atau lingkungan pendidikan anak-anak kita. Ini perlu ditekankan mengingat kebiasaan, cara pikir, dan mentalitas manusia di sekitar kita akan turut –seringkali tanpa sadar- membentuk jiwa dan karakter kita. Apa yang kita saksikan setiap hari berupa kerusakan dan kebejatan moral serta sikap para pengrusak yang menggelikan adalah cermin betapa lingkungan kita sudah tidak lagi sehat untuk proses perkembangan keimanan dan keber-agama-an kita. Para pesohor mempertontonkan kemolekan tubuhnya, para penguasa unjuk gigi kekuasaannya, dan para hartawan memperlihatkan harta kekayaannya. Ada pula koruptor yang membanggakan perbuatan kejinya, rupawan yang mengumbar adegan ranjangnya, atau sekedar rakyat biasa yang tidak malu-malu melucuti harga dirinya.
Uniknya, itu semua berbanding lurus dengan perkembangan positif yang dicatatkan oleh kehidupan keber-agama-an kita. Di banyak kota besar di negeri kita, atau di layar-layar TV, kajian agama marak dilakukan dan dihadiri oleh sejumlah jama’ah yang tidak sedikit. Jumlah warga yang naik haji cenderung meningkat, wanita yang mengenakan jilbab semakin banyak, lagu-lagu relijius semakin digemari, tontotan-tontonan berbau nasehat keagamaan juga tidak sedikit. Jadi ada kontrakdsi nyata di sini. Satu sisi kita melihat ada noda hitam dalam tubuh masyarakat kita, sisi lain kita menemukan percikan cahaya. Tanpa bermaksud bersikap pesimistis, karakter masyarakat kita yang mendua seperti ini sudah cukup menjadi bukti bahwa kita sedang tidak beres. Ada yang salah dalam diri kita. Kalau boleh sedikit ekstrem, sikap mendua itu adalah sikap orang yang munafik.
Jika benar masyarakat kita sudah dihinggapi penyakit munafik, maka kita semua patut was-was karena kemunafikan sebagai faktor sosiologis dan psikologis akan sangat mewarnai akidah dan keimanan kita semua. Sangat mungkin kita yang sudah dibentuk dengan baik oleh lingkungan kita masing-masing, akan kemudian berubah menjadi rusak ketika melihat kemunafikan terjadi di mana-mana.
Ada yang menafsiri bahwa kemunafikan itu adalah akibat dari hedonisme, yaitu gaya hidup yang cenderung bersenang-senang. Ini ada benarnya mengingat bahwa kebiasaan hidup bersenang-senang akan mendorong seseorang untuk melakukan apa saja termasuk berbohong, mencuri, bermuka dua hingga menjual harga diri.
Kalau media massa yang menjadi ukurannya, maka kita dapat mengatakan bahwa virus hedonisme sudah sedemikian menggejala hingga acara-acara keagamaan sekalipun tidak terbebas dari pengaruhnya. Sudah bukan rahasia lagi bahwa motif keber-agama-an kita sudah tidak lagi murni demi agama atau kebenaran melainkan karena sesuatu yang lain yang lebih menyenangkan, seperti ketenaran dan materi. Bahkan baru-baru ini ada seorang “ustaz” yang bersitegang dengan jama’ah hanya karena urusan honor. Dan itu ditanyangkan di layar TV.
Karena virus hedonisme pula, banyak orang yang mencari kebahagiaan atau ketenangan jiwa bukan melalui agama, tapi melalui kesenangan-kesenangan duniawi. Mari kita perhatikan bahwa ternyata fans klub bola asal Inggris, Manchester United telah mencapai 500 juta manusia di seluruh dunia. Jumlah itu dua kali lipat lebih jumlah penduduk Muslim di Indonesia dan sepuluh kali lipat lebih warga Nahdhiyin. Jadi, ketika MU sedang berlaga, ada kurang lebih 500 juta pasang mata dari seluruh dunia yang melotot di depan TV menonton klub kesayangannya bermain. Itu jumlah yang pasti jauh lebih banyak dari jumlah orang yang sedang tahlilan, membaca al-Qur’an atau zikir. Walau tidak ada angka pasti tentang berapa banyak orang yang mengikuti kegiatan-kegiatan keagamaan dalam setiap minggu atau bulan di Indonesia, tapi dapat dipastikan jumlahnya tidak mencapai jutaan dalam seminggu. Itu karena intensitas kegiatan keagamaan yang diadakan tidak seberapa sering, dan beberapa kegiatan keagamaan yang masif tidak dihadiri oleh jama’ah sebanyak itu.
Ini keprihatianan yang layak untuk dipikirkan karena mencerminkan maraknya hedonisme di tengah-tengah masyarakat kita.
Pada tataran pemikiran, banyak gagasan yang berkembang di tengah-tengah masyarakat kita yang justru membuat ruwet sebuah keyakinan atau agama yang sejatinya sederhana dan mudah. Kebenaran malah menjadi samar dan remang-remang. Agama kita adalah agama yang mudah dan gamblang. Dari seluruh unsur dan ajarannya, agama kita tidak menyimpan teka-teki atau pertanyaan. Semuanya sudah jelas. Tapi dalam wacana keagamaan yang dikembangkan oleh para pemikir, justru agama kita menjadi lebih sulit untuk dipahami. Katakan persoalan kebenaran agama. Islam mengajarkan agar kita menghargai agama orang lain dengan tetap meyakini bahwa hanya Islam-lah agama yang benar. Tapi di tengah tuntutan pluralisme yang menggejala, dan juga karena kepentingan pribadi atau kelompok, ada gagasan yang menawarkan gagasan bahwa semua agama itu sama dan layak dikatakan benar. Ungkapan “semua agama itu sama” terdengar sangat lucu dan tidak masuk akal karena pada kenyatannya setiap agama itu beda. Dan perbedaan itu sudah nampak secara kasat mata.
Karena itu, aliran pemikiran modern perlu diwaspadai terutama yang melihat agama dengan pendekatan positifistik, yaitu yang tidak memperhitungkan wahyu sebagai sumber kebenaran.
Islam jelas menghargai setiap pendapat dan gagasan. Dan seorang Muslim juga mestinya harus bersuka-cita jika ada tawaran baru dalam cara kita memahami atau menjelaskan agama kita. Tapi pada saat yang bersamaan, ketika sebuah gagasan itu tidak membangun, sudah selayaknya dilakukan penolakan secara sistematis.
Ilmu-ilmu seperti sosiologi, antropologi dan fenomenologi yang positifistik (ada juga yang tidak positifistik) hanya mengakui kebenaran sebagai hasil temuan ilmiah dari sebuah penelitian. Tidak ada wahyu di dalamnya. Dengan demikian ilmu-ilmu ini –dan yang sejenisnya- tidak mengakui kebenaran agama dan hanya menerima kebenaran ilmiah saja. Dalam skema ini, kebenaran adalah hasil dari sebuah proses penelitian yang dilakukan oleh seorang peneliti dengan menggandeng objek sebagai informan dan pemberi data.
Dalam Islam dibedakan dengan tegas antara kebenaran agama dan kebenaran ilmiah. Al-Ghazali sering menekankan perbedaan ini. Kebenaran agama ditentukan oleh wahyu, dan tidak ada ruang sama sekali bagi manusia untuk ikut campur di dalamnya. Sesuatu dikatakan benar atau salah, baik atau buruk secara agama adalah hak prerogatif Tuhan untuk mengatakannya. Manusia hanya berhak mengikutinya dan melaksanakannya. Akidah dan ibadah adalah kebenaran jenis ini, dan hanya boleh bersumber dari Tuhan.
Sementara itu berkaitan dengan kebenaran ilmiah, al-Ghazali –seperti para ahli sosiologi- mengajarkan bahwa ia tergantung pada apa kata peneliti atau ilmuan. Contoh, jika akidah dan ibadah adalah wilayah Tuhan, maka Kalam -sebagai penjelasan atas akidah- dan Fiqh -sebagai penjelasan atas ibadah- adalah wilayah manusia. Dalam ungkapan al-Ghazali kebenaran ilmiah itu bersifat mandiri dan tidak bergantung pada yang lain termasuk agama atau wahyu. Adalah peran para ulama untuk mengatakan mana yang benar dan mana yang salah secara ilmiah. Jadi jelas bahwa al-Ghazali sangat mengakui peran besar ilmuan dalam membangun sebuah ilmu pengetahuan, atau menggagas sebuah teori dan paradigma.
Al-Ghazali mengajukan beberapa syarat yang harus dimiliki oleh seorang ilmuan dalam membangun sebuah gagasan dan menyusun sebuah ilmu pengetahuan. Syarat-syarat itu meliputi (1) sang peneliti harus mampu melandasi pendapatnya dengan data yang benar dan dapat dipertanggung-jawabkan, (2) mengajukan argumen yang kuat, dan (3) menyertai dalil-dalil yang mendukung. Di luar itu, al-Ghazali juga menganggap penting bahwa seorang peneliti, (1) terbebas dari fanatisisme dalam berbagai jenis dan macamnya, (2) tidak ditunggangi oleh kepentingan dan orientasi politik maupun ekonomi.
Jika Barat dan Islam sama-sama mengakui adanya kebenaran ilmiah dan bersepakat bahwa kebenaran ilmiah tergantung pada pendapat dan temuan para ilmuan, mereka berbeda pendapat tentang bagaimana kebenaran itu ditemukan. Ilmu-ilmu seperti sosiologi, antropologi dan fenomenologi mengajarkan bahwa kebenaran itu didapat dari hasil interaksi ilmuan (subyek) dengan informan (objek). Peneliti mendapatkan data dari informan. Informan bahkan dapat memengaruhi alur dan kesimpulan yang akan diambil oleh peneliti. Peran informan begitu besar hingga sang peneliti tidak boleh menolak apa kata informan. Peneliti harus memperhatikan dan mencatat apapun yang ia dengar dari informan tanpa ada perubahan, pengurangan maupun penambahan. Dalam skema ini, dapat dikatakan bahwa sebenarnya sebuah kebenaran ilmiah itu tergantung pada apa kata informan dan bukan pada apa kesimpulan ilmuan, karena kesimpulan ilmuan secara a priori sudah ditentukan oleh informan. Contoh, jika peneliti “A” ingin meneliti agama “B”, maka “A” harus mengikuti apa kata pengikut agama “B”. Jadi, jika ada peneliti Muslim yang meneliti agama lain, maka ia tidak boleh mengatakan hasil temuannya di luar apa yang sudah dikatakan oleh pengikut agama itu. Cara ini, kata para ahli sosiologi, antropologi dan fenomenologi dimaksudkan agar sebuah kebenaran ilmiah itu dapat dipertanggungjawabkan se-objektif mungkin.
Cara ini berbeda dengan Islam atau para pemikir Muslim. Raghib al-Isfahani mengajarkan bahwa kebenaran itu harus dicari dengan mengorek secara langsung esensi kebenaran itu sendiri. Kiasannya, jika kita ingin mengetahui rasa jeruk, maka kita harus memakannya dan langsung merasakannya, dan bukan sekedar bertanya kepada orang lain bagaimana rasanya. Al-Isfahani sering mengutip Ali bin Abi Talib yang mengatakan, “jangan memahami kebenaran melalui orang-orang yang menganutnya. Carilah kebenaran itu dan pahami maka engkau akan menyadari apa kebenaran itu dan siapa penganutnya”. Metode semacam ini sangat ditekankan oleh para pemikir Muslim karena mereka meyakini bahwa dalam Islam kebenaran adalah ukuran bagi manusia, berbeda dengan Barat yang menganggap bahwa manusia adalah ukuran bagi kebenaran.
Apa yang dikatakan oleh Ali bin Abi Talib mengandung arti bahwa seorang peneliti harus benar-benar objektif, teguh pada pendiriannya, tidak dipengaruhi pendapat orang lain, dan yang paling penting membangun pengetahuan dengan menyelami objek kebenaran itu sendiri. Seorang Muslim harus menyelami Tasawuf atau Filsafat jika hendak mengetahui kebenaran kedua ilmu ini, dan tidak cukup hanya dengan mendengar apa kata para sufi dan filsuf.
Dari uraian ini, barangkali dapat dipahami bahwa sejatinya pendekatan Barat dalam ilmu pengetahuan itu sangat dangkal dan artifisial karena hanya mengungkap luarannya saja. Hanya melihat sampulnya saja. Sedang Islam mengajak masuk ke dalam dengan menyelami apa yang ada dalam kandungan sebuah objek pengetahuan.
Sikap orang Barat yang serba “permukaan” ini sebenarnya berlaku juga dalam wilayah agama. Saya punya kesan bahwa cara mereka dalam ber-agama itu hanya elok pada tataran sampul saja, sedang jika dilihat dalamnya mereka sebenarnya tidak lebih baik dari kita. Maksud saya begini, jika orang seperti Max Webber dan Robert Bella sering mengatakan bahwa tidak ada peradaban yang semaju dan sehebat peradaban Kristen yang telah menyulap dunia Barat menjadi ikon dan raksasa modern, maka saya ingin mengatakan bahwa kehebatan peradaban modern itu hanya terlihat di lurannya saja. Jika dilihat lebih jauh, capaian Barat itu tidak lebih dari sekedar gelembung-gelembung besar yang tidak berisi. Ia kosong dari nilai, makna dan tujuan hidup. Gelembung-gelembung besar itu membawa manusia modern terbang ke angkasa tapi kemudian terombang-ambing di udara entah oleh angin kencang atau hujan lebat. Manusia modern hidup dalam kesenangan tapi menderita karena hilangnya pegangan dan pedoman hidup.
Karena alasan inilah, orang seperti Ernest Gellner berani mengatakan bahwa masa depan dunia ada di tangan Islam karena Islam memiliki pedoman (Tauhid), acuan hidup (Syari’ah) dan Tasawuf yang dapat menjawab dahaga manusia modern dan mengeluarkan mereka dari gorong-gorong modernitas. Dalam ungkapan Gellner, tidak ada agama sekokoh Islam; hanya Islam yang dapat tampil menjawab keruwetan hidup di era modern. Oleh karena itu, marilah kita kembali kepada pangkuan Islam karena agama ini sungguh sangat menyejukkan, damai dan sempurna.
DR. Abdul Kadir Riyadi, MA.
Pengasuh Rubrik Telaah Aqidah Majalah Tebuireng