AIB DIRI DAN RAHASIA GHAIB
“Keinginan dan hasrat memandang pada aib diri anda itu lebih baik daripada hasrat anda terhadap rahasia kegaiban yang ada di balik tirai.”
Aib, merupakan wujud dari kekurangan yang ada pada diri kita, baik kekurangan yang bersifat individual, kekurangan yang bersifat sosial maupun kekurangan yang bersifat vertikal, yang berhubungan erat dengan pelanggaran kita pada aturan Ilahi, lahir maupun batin, syariat maupun hakikat.
Manusia memang lebih senang memburu dunia ghaib, mencari rahasia alam samawat, mencari keistimewaan-keistimewaan yang di luar jangkauan nalar akali.
Aib itulah yang senantiasa menempel pada tindakan praktek amaliah, akhlak atau dalam adab antara sesama hamba dan Allah. Karena itu Aib terbagi dua: Pertama, aib yang bersifat lahiriah (nyata), dan kedua, aib yang bersifat batiniah (tersembunyi). Soal aib yang nyata bersifat fisik sangat mudah menghilangkan. Tetapi aib tersembunyi dalam hati kita itu sangat sulit melihatnya. Misalnya dalam gerak-gerik hati kita, seperti i’timad pada amal, atau bergantung pada amal, klaim terhadap apa yang dilakukan hamba sebagai perbuatan hamba, dan soal tazkiyah (pembersihan) jiwa.
Aib batin itulah yang mesti kita intropeksi agar kita selamat dalam hubungan kejiwaan kita dengan Allah SWT. Karena itu nilainya lebih tinggi ketimbang hasrat kita untuk membuka tirai kegaiban di balik alam nyata ini.
Kata-kata Ibnu Athaillah as-Sakandari di atas menunjukkan bahwa manusia memang lebih senang memburu dunia ghaib, mencari rahasia alam samawat, mencari keistimewaan-keistimewaan yang di luar jangkauan nalar akali. Pada saat yang sama ia juga lupa, bahwa dirinya sesungguhnya penuh dengan aib yang tidak tampak.
Oleh sebab itu beliau memperingatkan agar kita memprioritaskan intropeksi atas aib-aib batin kita, ketimbang mencari sesuatu yang cemerlang di balik kegaiban ini.
Banyak sekali aib yang tersembunyi dalam diri kita, dan Al-Ghazali secara gamblang mengklasifikasikan aib batin kita dalam sistematika Al-Aklaq al-Madzmumat (akhlak-akhlak batin yang tercela). Antara lain, Riya’, Takabur, Iri, Dengki, menuruti syahwat, menuruti kata hawa nafsu, kealpaan hati kita untuk mengingat Allah, ambisi duniawi, senang dipuja dan dipuji, takjub diri sendiri, dan sebagainya.
Dalam konteks Al-Hikam ini, Ibnu Athaillah mengingatkan betapa seringnya kita mencampuri urusan Allah di balik ikhtiar dan ibadah kita, dan itulah bentuk lain dari aib diri kita. Pada saat yang sama kita juga sering terjebak oleh ghurur-nya alam semesta, yaitu ketika kita memandang alam semesta ciptaan Allah, kita hanya terpesona keindahannya, bukan melihat Asma’, Af’al, dan Sifat Allah dibalik alam itu. Sehingga hati kita kehilangan Cahaya Ilahi di balik fenomena alam semesta raya ini.
Kemudian soal keghaiban, juga terbagi dua. Ada keghaiban yang bersifat empirik (inderawi). Ada juga keghaiban yang bersifat maknawi (spiritual). Ghaib yang bersifat fisik adalah kandungan ilmiah dan rahasia pengetahuan di balik alam fisika raya ini. Sedangkan ghaib secara maknawi adalah pencarian terhadap rahasia spiritual yang tersembunyi dibalik olah batin kita.
Tetapi hawa nafsu kita memiliki kecenderungan memburu hal-hal ghaib dan melupakan kondisi obyektif aib-aib kita. Lalu mengapa intropeksi terhadap aib diri harus diprioritaskan? Menurut Syeikh Zaruq, karena tiga alasan:
“Jadikan dirimu pencari istiqomah, dan janganlah dirimu menjadi pencari karomah.”
Pertama, sibuk mengurus aib diri kita akan mendorong diri untuk meraih kesempurnaan jiwa, sementara meraih hal-hal yang ghaib malah menjerumuskan kita (pada kesesatan).
Kedua, instropeksi aib diri sendiri merupakan kewajiban moral kita, sedangkan memburu rahasia keghaiban terkadang bisa menyesatkan kita.
Ketiga, instropeksi terhadap aib diri sendiri merupakan pelaksanaan atas hak Ketuhanan bagi kehambaan kita, sedangkan memburu keghaiban justru malah mengabaikan hak ubudiyah dan kehambaan kita.
Karena itu para sufi menegaskan:
“Jadikan dirimu pencari istiqomah, dan janganlah dirimu menjadi pencari karomah. Sebab nafsumu akan melipat dirimu ketika mencari karomah, padahal Tuhanmu menuntut istiqomahmu. Hendaknya dirimu memprioritaskan Hak Ilahiyah ketimbang hak nafsu diri anda.”
HIJAB
Mengapa aib ini harus diprioritaskan? Sebab aib diri kita justru menjadi hijab utama yang menghalangi diri kita ketika diri hendak memandang Allah. “Diri” itulah yang sesungguhnya menjadi faktor penghalang (hijab) antara Allah dan hamba. Padahal Allah itu hakikatnya tidak bisa dihijabi, dihalangi, ditutupi atau di tirai oleh apa pun atau siapa pun. Dan karenanya, Ibnu Athaillah melanjutkan hikmahnya:
“Allah itu tidak terhijab. Yang terhijab adalah “Anda” untuk memandang kepadaNya”.
Allah itu tidak bisa terhijabi, karena jika ada penghijab yang menutupi Allah, pasti penghijab itu lebih besar dan lebih luas dibanding Allah. Padahal Allah Ta’ala itu Maha Besar. Sedangkan diri kita justru menjadi hijab, itu jelas sekali, karena diri kita hakikatnya adalah aib-aib yang bergumpal.
Hijab itu terbagi pula menjadi dua: Hijab Mata Kepala dan Hijab Mata Hati.
Hijab Mata Kepala, sudah jelas, yaitu kelemahan-kelemahan asli kita dan kefanaan (ketiadaan) kita.
Sedangkan Hijab Mata Hati kita seperti dalam kitab Lathaiful Minan, adalah wujud aib kita sendiri. Menyucikan kotoran aib itu bisa membuka mata keghaiban kita. Karena itu anda jangan masuk dalam kategori orang yang menuntut Allah demi diri anda, tetapi jadilah orang yang menuntut diri sendiri demi Allah Ta’ala.
Orang yang menuntut Allah untuk dirinya, ia akan mandeg (berhenti) sebagai orang beriman yang meraih kesempurnaan. Ia justru akan menikmati “kemandegan” itu, dan akhirnya tidak meraih kesempurnaan.
Lalu dilanjutkan:
“Jika Allah dihijab oleh sesuatu, pasti sesuatu itu menutupi Allah. Kalau Allah punya pembatas tutup, pasti Allah itu terbatas. Sedangkan setiap pembatas itu pasti punya sifat pemaksa pada yang dibatasi. Padahal Allah Maha Pemaksa atas segala sesuatu.”
Allah Maha Besar, Maha Agung, Maha Luas, Maha Memaksa, Maha Tak Terhingga, Maha Tinggi, dan tak satu pun yang menyamai apalagi melampauinya. Jika itu ada pasti menutupi Allah, dan Allah menjadi terbatas. Jika terbatas pasti bukan Allah.
Allah Maha Jelas, Maha Nyata dan Maha Dekat, Maha Dzahir dan Maha Batin. ***
KH. M. Luqman Hakim, Ph. D.
Pengasuh Rubrik Kajian yang mengupas secara mendalam kitab tasawuf monumental “Al-Hikam” karya Ibnu Athoillah Al-Sakandari