sumber ilustrasi: paragram.ID

Oleh: Albii*

Sudah hampir 3 tahun berlalu kiranya, suara itu masih sering terbesit di benakku, bahkan cukup mengganggu hidupku. Kata orang, semua akan selesai dengan waktu yang menyembuhkan, menghapus atau memaksa hilang, tetapi nyatanya tidak semudah itu. Akulah yang menanggung persis tidak seperti bayangan orang-orang yang hanya mampu menyusun dan mengulang kata-kata, bukan menanggung realita. 

Seperti apa yang terjadi padaku kali ini, dia datang kembali. Seseorang yang kukubur dalam dan berulang kulupakan, tampak jelas di depan mataku, entah apa maksud Tuhan mengirimkannya kembali? Mau sampai kapan hal itu menghantui hidupku? Bukankah jika kisah ini memang selesai aku tak perlu lagi memikirkan? Bukankah seharusnya jika memang tidak ada apa-apa dan aku mengaku tak punya perasaan, tak perlu namanya terluka?

***

Waktu itu, aku masih menginjak bangku SMA. Orangtuaku sengaja menyekolahkan aku di dekat rumah karena tahu anak gadisnya susah bangun pagi. Saat itu, beruntungnya aku punya 2 teman yang paling dekat, namanya Sofi dan Dwi. Meski rumah mereka lumayan jauh dari rumahku, tetapi kami cukup intens bertemu dan bermain bersama, bahkan waktu itu aku sering main ke rumah Dwi, walaupun sekedar masak bareng, tapi itulah yang sampai sekarang aku ingat. 

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Siang hari sehabis pulang sekolah aku langsung bergegas ke rumah Dwi, aku dan Sofi mampir dulu belanja bahan makanan yang akan kita masak nanti di rumah Dwi. Beloklah kami ke pasar sayur dekat dengan rumah Dwi, setelah kami memilih bahan-bahan, tidak sengaja aku menjatuhkan wortel yang tersenggol sedikit lenganku.

“Barangmu jatuh tuh,” lelaki dengan suara judes itu mengagetkanku. Tentu aku tidak menyadri apa yang terjadi, tetapi kalimatnya membuatku tercengang. 

Calm dong mas, hih…” gumamku sekenanya, sambil mengambil wortel itu, tak sadar mataku mengantar punggungnya hingga ke ujung gang dan tubuh itu tak terlihat lagi, cukup kesal sedikit. 

“Udah-udah, lagian gak kenal kok, jangan bikin hidup tambah rumit, yuk jalan.” Sofi menarik lenganku yang masih mengembalikan wortel itu. Setelah itu kami melanjutkan perjalanan ke rumah Dwi yang jaraknya hanya beberapa meter dari pasar sayur itu. 

“Akhirnya datang juga dua bidadari tanpa sayap ini.” Gelak Dwi terdengar seantreo rumah. Aku yang masih pasang wajah kesel membuat Dwi tiba-tiba diam.

“Eh, anak ini kesambet apa Fi?” Sofi terkekeh sambil meletakkan tubuhnya di sofa ruang tamu rumah Dwi.

“Biasa laah, ada dedemit yang mengganggu hidupnya.” Dua perempuan itu tertawa lepas dan tiba-tiba diam melihat ekspresiku yang tambah kesal dan melempar barang di tanganku.

“Kamu kok bisa sih Wi punya tetangga sejudes dan se gak jelas itu, hih!” Aku menggerutu sekenanya. Mereka berdua bisik-bisik tak jelas. Entah mengapa aku  bisa sekesal ini pada orang yang bahkan aku belum mengenalnya. Agrh… 

“Tetanggaku? siapa? kok kamu bisa nyimpulin itu tetanggaku?” Dwi malah balik tanya, dan kening kami sama-sama membentuk layar mengkerut. 

“Cowok. Judes, ganteng sih cuman yaah gak berbudi pekerti.” Kulihat Sofi menyenggol lengan Dwi, ntah apa maksudnya. Atau aku kah yang terlalu memikirkan sesuatu yang gak perlu dipikir?

“Mungkin anak pindahan kemarin. Emang ada cowok di sebelah, ada tugas katanya jadi pindah ke sebelah dari luar pulau. Setahuku baik sih ke tetangga, ramah anaknya, cuman ya gatau lagi deh. Udah ah ngapain mikirin itu, ayok jadi masak gak?”

“Kamu pernah ketemu langsung?” Sofi menimpali jawaban Dwi.

“Belum, kalau lihat dari jauh pernah. Saat dia mau berangkat latihan militer.” 

“Oh militer? pantesan gayanya songong!” 

“Hush!!! jangan gitu. Gak semua orang begitu, lagian kamu juga baru ketemu sekali aja kan? jangan menyimpulkan yang bukan-bukan.” Aku diam, aku pikir-pikir, ngapain juga aku panjang kali lebar memikirkan ini. Aku beranjak dan membuyarkan segala pembahasan itu, aku memulai acara masak-masak siang itu dengan kebiasaan receh, nyanyi sambil ngomong sekenanya. Yah, begitulah kebiasaan kami. 

Di tengah-tengah kesibukan kami memotong buah, mencuci peralatan dapur, dan memasak nasi goreng, tiba-tiba suara salam yang terdengar agak samar membuat kami berhenti beraktivitas. Suara itu tidak pernah kami kenali sebelumnya, dan tidak mungkin juga kedua orang tua Dwi datang di waktu jam segini. Akhirnya Dwi ke luar, untuk membukakan pintu.

“Maaf mbak mengganggu. Saya tadi menemukan ini pas balik ke tempat mbaknya yang jatuhin wortel. Kata pedagangnya, mbaknya biasa menuju rumah ini. Apakah benar?” Aku dan Sofi juga menghampiri Dwi, lelaki itu adalah seseorang yang baru selesai kami bicarakan.

“Oh iya, ini punya saya mas.” Aku meraih resi yang ada di tangan Dwi. Resi itu milikku, yang mungkin jatuh dan dia temukan seperti ceritanya tadi. Dwi dan Sofi saling memandang singkat, mata lelaki itu hanya tertuju ke lantai. 

“Makasih ya mas.” Aku mencoba menetralisir suasana hening sore itu, dan kami saling menukar senyum.

“Kalau begitu saya pamit mbak, lain kali lebih hati-hati ya.” Kalimatnya mengantarkan ia pulang, kami bertiga saling menatap heran tetapi cukup berkesan.

“Terbukti kan, kalau kamu salah menyimpulkan?” Sindir Dwi sambil melangkah ke arah dapur.

“Iya tuh jangan asal nuduh, diginiin malah mati gaya lu.” Mereka meledek dan aku hanya menatap sedikit benda di tanganku itu. Barangkali benar, selama ini aku terlalu mudah menyimpulkan sesuatu yang baru aku kenali, baru aku lihat.

***

Berawal dari penemuan resi itu, lelaki bertubuh tinggi yang biasa kami sebut diJakun itu mulai dekat denganku. Dia memulai komunikasinya denganku melalui nomer yang dia sengaja catat dari resi itu, dan entah apa yang membuatnya tertarik menghubungi aku padahal semua tentang resi itu sudah selesai di sore itu. Hingga suatu hari, saat kami telah sangat dekat, ada tabir yang harus kami lalui, dia harus melanjutkan tugasnya ke luar daerah, tentu kami akan berpisah.

“Aku harus mengejar cita-citaku, dan itu jauh dari tempat ini. Aku ingin bicara serius ke kamu. Dan kamu tidak perlu menjawabnya hari ini, aku akan menunggu kapan pun kamu mau menjawabnya dan siap untuk menjawabnya.” Itulah kalimat terakhir yang dia katakan sebelum pergi. Bahkan sampai hari ini, hari beberapa tahun yang lalu, aku masih belum menjawabnya dan bahkan kami tidak lagi memiliki komunikasi yang intensif. Rasanya sudah biasa tanpa kabar, barangkali lebih tepat kusebut hilang kabar, entah dari aku, dari dia, atau kami berdua. 

Hari ini adalah hari aku melalui sidang proposal, itu berarti sudah 3.5 tahun lalu ceritaku dan dia berangsur samar. Bahkan di saat teman sebayaku sibuk berpacaran, galau dengan kejombloan, dan mondar-mandir ngedate, aku masih menyibukkan diri dengan tugas-tugasku, aku terlalu fokus pada tugas-tugas yang bagi aku itu adalah salah satu cara aku bertanggung jawab pada kepercayaan orang tuaku yang sudah memberiku kesempatan untuk berpendidikan hingga tingkat sarjana ini. Aku tidak ingin mengecewakan mereka, maka aku harus bersungguh-sungguh. Terkait jodoh, aku selalu yakin, akan ada jalannya sendiri jika sudah waktunya. 

“Makan siang yuk!” Ajak Dwi membuyarkan mataku yang menatap kosong ke pojok perpustakaan. 

“Kamu duluan, aku selesaikan tugas dulu, tinggal sedikit nanggung kalau ditinggal.” aku mencoba lebih cepat menyelesaikan revisian proposalku.

“Hih, mesti gini. Sesekali tuh hidupmu enjoy, tinggalin bentar yang namanya nugas. Ayo makan.” Dwi mencoba menarik lenganku.

“Iya yuh, sampai gak punya pasangan gara-gara khusyuk nugas.” mereka berdua tertawa sambil memainkan bolpoin di meja tempat aku membuka laptop.

“Eh gimana tuh kabar si diJakun? awas karena itu kamu jomblo seumur hidup?” Dwi membuat jariku berhenti mengetik.

“Nggak ada kabar. Aku juga udah nggak pernah tahu apalagi nyari tahu. Kamu tuh kenapa sih sering banget nanyain dia?” aku memasang muka masam ke arahnya, dan tentu itu jurus mujarab untuk membuat kedua sahabatku itu diam dan tidak berani lagi mengajak aku bicara. 

“Oh nggak ada kabar, yaudah sih. Tapi kamu nggak menanti dia kan?” pertanyaan itu berakhir dengan tidak kujawab apapun. 

***

Kukira semua sudah selesai, kupikir segala yang telah berlalu hanyalah apa yang bisa dihilangkan atau dihapus oleh waktu, nyatanya tidak. Orang sekaligus kisah masa lalu itu masih bisa saja kembali hidup hari ini. 

“Hai, Ra. Halooo…” Perempuan yang cukup tinggi itu menyapaku, seakan-akan kami pernah kenal dekat, hanya saja aku coba ingat tapi gagal. 

“Kamu lupa ya sama aku?” Dia menebak wajahku yang mungkin sangat tampak kebingungan, mungkin memang aku tidak cocok menjadi orang yang berpura-pura paham.

“Aku Tia, temanmu waktu SMP. Yang dulu sering usilin kamu, maaf ya Ra. Aku gak niat jadi teman jahat, namanya ya waktu masih anak kecil ada aja yang gak jelas.” dia mengulurkan tangannya, meminta aku menjabatnya. Aku mulai mengingat semuanya, iya. Aku mengingat perempuan ini dan segala cerita yang pernah terjadi pada kami di masa silam.

“Aku ingat, gapapa. Aku memaafkan, namanya anak kecil, iya kan?” aku memberi senyuman tipis padanya, meski di dalam benakku seperti ada perang antara mengingat dan melupakan.

“Ohya, makasih ya sudah mengantarkan barang ini. Nanti aku bisa langganan.” dia menenteng bungkusan cilok yang baru saja dia pesan melalui chat WhatsApp, kebetulan aku dan teman-temanku sedang membangun usaha kuliner dan menerima pesanan, dia adalah salah satu konsumen yang hari ini meminta COD. 

“Nak, salim sama tante nah.” Tia mengulurkan tangan anak kecil itu, anak yang manis dan penuh senyuman, matanya begitu teduh, dan aku selalu suka mata anak kecil. Jujur. 

“Ini anakku, Ra.” Aku menyambut tangannya. Aku mengelus sedikit rambutnya.

“Gantengnya, jadi anak saleh ya.” Aku tersenyum ke arah Tia. 

“Siapa namanya, sayang?” aku mencubit sedikit pipi imut anak itu.

“Ruhi Tripath.” Tia menjawab nama itu, lengkap. Aku terdiam sejenak. Hatiku sedikit bergidik dan ntah perasaan apa ini. Nama itu tidak asing, nama yang mungkin selama ini menjadi pertanyaan yang juga tak membutuhkan jawaban. Entahlah…

“Bun, aku berangkat dulu.” Lelaki bertubuh tinggi dengan kemeja hijau army itu menyalami tangan Tia. Mata kami bertemu. 

“Suamiku, Ra. Aryan Tripath.” Tia berusaha mengenalkan sosok lelaki itu, dan kami, tepatnya aku tak butuh saling mengenal lagi. Dia kembali, sebagai orang asing yang bahkan aku tidak ingin mengatakan satu kata pun saat itu. 

*Mahasiswa KPI Unhasy.