Pada momen bulan Maulid Nabi kali ini, kiranya lebih afdal kita membahas seputar hal-hal yang berkaitan dengan Nabi Muhammad. Dalam kesempatan kali ini, ada satu cerita menarik yang akan penulis tawarkan untuk pembaca. Cerita ini berkaitan dengan Siti Fatimah, putri kesayangan Nabi, istri Sayyidina Ali bin Abi Thalib.
Untuk pembaca, bisa mengecek cerita ini, salah satunya di dalam buku berjudul Nur ad-Dhalam, salah satu karangan Imam Nawawi, seorang intelektual dari daerah provinsi Banten. Tepatnya ketika Imam Nawawi membahas seputar putri-putri Nabi, sekaligus biografi singkat mereka.
Biografi Siti Fatimah
Sebelum itu, kiranya kita perlu mengenal siapa itu Siti Fatimah. Jadi, di bawah ini, akan disinggung secara sederhana, biografi singkat dari Siti Fatimah. Beliau memiliki nama lengkap Siti Fatimah az-Zahra. Sebagian ulama menjelaskan, filosofi di balik nama Fatimah yang secara bahasa berarti “menyapih” sebagaimana berikut:
لِأَنَّ اللهَ فَطَمَهَا وَذُرِّيَّتَهَا عَنِ النَّارِ
“Karena Allah menyapih (memberhentikan, menyelamatkan) Siti Fatimah dan keturunan beliau dari siksaan api neraka.” (H.R. Imam Muhib Thabari).
Untuk nama az-Zahra, ada yang menjelaskan maknanya:
لِأَنَّها لَمْ تَحِضْ طُوْلَ عُمْرِهَا
”Beliau memiliki gelar az-Zahra karena semasa hidup, beliau tidak pernah mengalami kondisi haid.”
Ada juga sebagian ulama yang menjelaskan kenapa Siti Fatimah mendapat sebutan az-Zahra, “Karena beliau memiliki wajah yang putih cemerlang (cantik).”
Selain itu, beliau juga memiliki gelar lain. Salah satunya adalah “al-Batul,” yang berarti terputus. Maksudnya, beliau sudah terputus dari dunia (zuhud). Tidak lagi membutuhkan dunia, hanya Allah yang beliau butuhkan.
Atau dengan maksud lain yang juga diutarakan oleh sebagian ulama, “Karena Siti Fatimah beda jauh dengan perempuan-perempuan waktu itu, baik dari segi kualitas dan pemahaman terhadap agama.” Hal ini tidak ayal karena beliau adalah perempuan yang pandai, aktif untuk berusaha memahami kajian agama pada masa itu.
Menurut sebagian riwayat, Siti Fatimah adalah sosok yang paling dicintai Nabi melebihi keluarga beliau yang lainnya. Misalnya, ketika Nabi hendak melakukan perjalanan jauh, maka sesaat sebelum beliau pergi, maka orang beliau pamiti terakhir adalah Siti Fatimah. Begitu juga ketika Nabi habis datang dari perjalanan, maka orang yang beliau temui pertama kali adalah Siti Fatimah.
Ketika sahabat Ali hendak meminang Siti Fatimah, di situlah kemudian Nabi Muhammad berkata kepada sahabat Ali:
أَعْطَيْتُ خَيْرَ النِّسَاءِ لِخَيْرِ الرِّجَالِ
“Aku telah memberikan sebaik-baik perempuan, kepada sebaik-baik lelaki.” (H.R. Hirifish di dalam buku berjudul ar-Raudh al-Faiq).
Di hari pelaminan tersebut, sahabat Ali bin Abi Thalin genap berumur dua puluh satu tahun. Sedangkan Siti Fatimah berumur kurang lebih lima belas tahun. Prosesi pernikahan tersebut diadakan ketika para muslimin selesai berperang di medan al-Badr.
Pemakaman Siti Fatimah
Kembali ke tema kita kali ini. Cerita di balik prosesi pemakaman Siti Fatimah. Beliau sendiri, menurut catatan sejarah, meninggal tahun sebelas Hijriah, bulan Ramadan pada hari Selasa. Ketika beliau meninggal dunia, prosesi pemakaman dilakukan oleh beberapa sahabat yang hidup pada zaman itu. Utamanya sahabat Ali dan anak-anak beliau.
Pada momen tersebut, ada empat orang yang berkenan mengangkat peti beliau. Mereka adalah sahabat Ali, sang suami, Hasan dan Husain, anak beliau, lalu sahabat Abu Dzar al-Ghifari. Bersama para sahabat yang lain, serentak menuju tempat pemakaman dengan sangat tenang dan damai.
Sesampainya di lokasi, serentak empat orang tadi menaruh peti mayat Siti Fatimah di dekat liang lahat. Tanpa ada sebab tertentu, sahabat Abu Dzar al-Ghifari berdiri seraya berkata, “Wahai liang lahat! Apakah engkau tahu siapa yang datang? Ini adalah Siti Fatimah, putri tercinta Nabi, juga istri dari sahabat Ali, sekaligus ibu dari Hasan dan Husain.”
Tanpa disangka-sangka, para sahabat juga empat orang tadi mendegar suara yang berasal dari arah liang lahat. Suara tersebut seakan berkata sebagaimana berikut, “Aku itu bukan tempat bagi suatu pertimbangan atau nasab. Aku hanyalah tempat akhir dari amal salih. Tidak akan selamat dari (siksaan) ku, kecuali orang yang memiliki amal baik (tentunya banyak), lagi iklas dan hatinya benar-benar baik.”
Dari cerita di atas, kiranya kita bisa memetik satu poin positif. Bahwa siksa kubur itu tidak memandang bulu. Siapapun dia, apakah anak Nabi, anak presiden atau lainnya, kalau amal yang dia bawa kurang, jelas akan mendapat siksaan. Sebaliknya, siksa kubur tidak akan diberikan kepada dia yang senantiasa beramal baik, entah itu anak dari seorang biasa, anak presiden atau lainnya.
Semoga catatan sederhana di atas bisa memberikan kita wawasan lagi peringatan untuk kehidupan selanjutnya. Terlebih, bulan ini adalah bulan Nabi, sehingga cerita mengenai keluarga Nabi di atas bisa menambah kecintaan kita kepada Nabi juga keluarga beliau. Sekian, terima kasih!
Ditulis oleh Moch Vicky Shahrul Hermawan, Mahasantri Mahad Aly An-Nur II Al-Murtadlo Malang.