sumber ilustrasi: ahlbit.ID

Oleh: Nurdiansyah Fikri*

Sebagai suri teladan bagi seluruh umat, Nabi Muhammad SAW telah memberi banyak contoh bagaimana cara berperilaku yang baik dan benar. Baik perilaku tersebut terkait ibadah yang hubungannya dengan Allah atau pun bersosial yang hubungannya dengan manusia. Sebab memang tujuan diutusnya adalah sebagai Rasul untuk menyempurnakan akhlak manusia.

Diantara perilaku Rasulullah yang patut kita contoh adalah dalam memuliakan tamu. Sangat dianjurkan bila kedatangan tamu kemudian kita menjamu dengan segala macam hidangan dengan tujuan memuliakan, apalagi kalau tamu tersebut adalah sanak famili ataupun saudara seiman, hal ini senada dengan Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah dalam kitab Sahih Bukhari:

  عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلَا يُؤْذِ جَارَهُ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ

Dari Abu Hurairah dari Nabi ﷺ beliau bersabda, “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, janganlah ia menyakiti tetangganya, barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya ia memuliakan tamunya, dan barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya ia berkata baik atau diam.” (Sahih Bukhari, no 6136 cetakan dar alamiah)

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Hadis ini banyak dijadikan dalil sebagai anjuran untuk memuliakan tamu bagi umat Islam, tapi akankah kita mampu melaksanakan anjuran Nabi ini jika tamu yang bertamu ke rumah bukan berasal dari sanak famili ataupun saudara seiman? Akankah kita masih memuliakan tamu tersebut, atau kita diharuskan pilih-pilih terlebih dahulu tamu mana yang pantas dimuliakan atau tidak?

Dalam Hadis lain pada kitab Muwatta Imam Malik diriwayatkan bahwa Nabi pernah kedatangan tamu non muslim,

حَدَّثَنِي عَنْ مَالِك عَنْ سُهَيْلِ بْنِ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ, أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ضَافَهُ ضَيْفٌ كَافِرٌ فَأَمَرَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِشَاةٍ فَحُلِبَتْ فَشَرِبَ حِلَابَهَا ثُمَّ أُخْرَى فَشَرِبَهُ ثُمَّ أُخْرَى فَشَرِبَهُ حَتَّى شَرِبَ حِلَابَ سَبْعِ شِيَاهٍ ثُمَّ إِنَّهُ أَصْبَحَ فَأَسْلَمَ فَأَمَرَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِشَاةٍ فَحُلِبَتْ فَشَرِبَ حِلَابَهَا ثُمَّ أَمَرَ لَهُ بِأُخْرَى فَلَمْ يَسْتَتِمَّهَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُؤْمِنُ يَشْرَبُ فِي مِعًى وَاحِدٍ وَالْكَافِرُ يَشْرَبُ فِي سَبْعَةِ أَمْعَاءٍ

Telah menceritakan kepadaku dari Malik dari Suhail bin Abu Shalih dari Bapaknya dari Abu Hurairah berkata, “Seorang kafir datang bertamu kepada Rasulullah ﷺ. Maka beliau memerintahkan untuk mendatangkan seekor kambing untuk diperah, orang kafir itu lalu meminum perahan susunya. Lalu diperahkan dari kambing yang lain, dan ia meminumnya. Lalu diperahkan dari kambing lain lain, dan ia meminumnya lagi, hingga menghabiskan susu dari tujuh kambing. Keesokan harinya orang itu masuk Islam. Rasulullah ﷺ menyuruh agar kambing beliau diperah. Diapun minum air susunya, kemudian beliau memerahkannya lagi namun dia tidak sanggup menghabisinya. Sehingga Rasulullah ﷺ bersabda, “Seorang mukmin minum dengan satu usus sedangkan orang kafir minum dengan tujuh usus.” (Muwatta imam Malik riwayat yahya al-Laits hadits 1669 cetakan Dar Ibnu Jauzi)

Terbukti bahwa keagungan akhlak baginda Nabi Muhammad SAW dalam mencontohkan bagaimana umat Islam yang seharusnya melakukan perbuatan terpuji, baik kepada sesama muslim maupun non muslim.

Contoh Hadis di atas mengisahkan Nabi sedang menjamu tamu beliau yang notabene bukan kalangan orang Islam, terlihat beliau sungguh-sungguh dalam memuliakan tamunya sampai memerintahkan agar diperah susu dari kambing beliau sampai tujuh kali.

Inilah seharusnya yang patut kita teladani sebagai seorang muslim dalam meniru gaya bersosial Nabi Muhammad SAW yang tidak membedakan antara seiman atau tidaknya orang, hal ini sekaligus menjadi introspeksi bagi kita yang terkadang masih mengagung-agungkan orang yang satu golongan atau sependapat dan acuh tak acuh seolah tidak peduli kepada golongan lainnya.

Mari kita saling mengingatkan bahwa salah satu alasan mengapa diutusnya Nabi Muhammad di bumi adalah untuk menjadi rahmatan lil alamin bukan hanya rahmatan lil muslimin. Oleh karena itu, mari kita perbaiki akhlak dan sikap kita kepada sesama manusia bahkan pada alam semesta ini.

*Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari.