Oleh: Ustadz Jaelani*

Assalaamu’alaikum Pak Ustadz.

Di dalam sholat ada yang namanya rukun qouli, dalam konteks bacaan sir apakah dalam membaca rukun tersebut cukup dengan gerakan bibir saja tanpa suara atau harus ada suara yang keluar meski sedikit/pelan? Terimakasih,

Muhamad Radiatna, Jakarta Timur

Jawaban:

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Wa’alaikumussalam wr.wb. semoga penanya senantiasa dalam lindungan allah.

Mengenai pertanyaan di atas, setiap orang yang melaksanakan shalat wajib memperdengarkan setiap bacaan rukun qauli terhadap dirinya sendiri jika orang tersebut pendengarannya sehat, dan juga tidak ada suatu hal yang menghalangi, seperti suara kegaduhan.

Hal itu berlaku dalam setiap rukun qauli, seperti takbiratul ihram, al-Fatihah, tasyahud akhir, membaca shalawat kepada Nabi, serta ketika mengucapkan salam yang pertama. Pendapat ini merujuk pada keterangan yang terdapat dalam kitab Fathul Mu’in sebagaimana berikut:

(ويجب إسماعه) أي التكبير، (نفسه) إن كان صحيح السمع، ولا عارض من نحو لغط. (كسائر ركن قولي) من الفاتحة والتشهد والسلام. ويعتبر إسماع المندوب القولي لحصول السنة.

Dan wajib meperdengarkan rukun qauli terhdap dirinya sendiri, seperti takbiratul ihram, jika pendengaran nya sehat, dan tidak terdapat suatu hal yang mengganggu semisal suara kegaduhan. Begitu juga rukun qauli yang lain, seperti fatiha, tasyahhud akhir serta salam. Selain itu juga dianjurkan memperdengarkan setiap bacaan yang sunnah, agar memperoleh kesunnahan.[1]

Dalam kitab Majmu’ disebutkan, bahwa sebagian ulama dari santrinya Imam Syaf’i berpendapat, adapun bagi orang yang bisu, ia wajib menggerakkan lisannya dengan tujuan membaca, sebagaimana ia menggerakkan bibirnya ketika ia berbicara. Karena dalam membaca dibutuhkan adanya pengucapan serta gerakan lisan.

قَالَ أَصْحَابُنَا عَلَى الْأَخْرَسِ أَنْ يُحَرِّكَ لِسَانَهُ بِقَصْدِ الْقِرَاءَةِ بِقَدْرِ مَا يُحَرِّكُهُ النَّاطِقُ لان القراءة تتضمن نطقا وتحريك اللسان فقسط مَا عَجَزَ عَنْهُ وَوَجَبَ مَا قَدَرَ عَلَيْهِ.[2]

Sebagaimana kaidah yang berlaku dalam fikih, “bagian suatu hal, yang mana seseorang tidak mampu melakukan keseluruhannya, maka ia wajib melakukan sesuai kemampuannya”.


[1] Fathul Mu’in Halaman 95.

[2] Majmu’ Syarh AL-Muhaddzab juz 3, halaman 394.


*Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari