Sumber gambar: ndmadvogados.com.br

Oleh: Muhammad Masnun*

Kata ‘milenial’ sudah menjadi makanan sehari-hari. Sebaliknya, kata ‘modern’ yang dulu diagungkan sekarang pun sudah tidak terdengar lagi. Internet dan media sosial sudah menjadi kebutuhan primer. Komunikasi tanpa batas dengan siapapun. Belanja bisa di mana pun dan kapan pun.

Segala hal kini tersedia di media sosial, mulai dari teman, hiburan, dakwah, maupun barang jualan. Hati yang dulu hanya diungkapkan kepada orang tertentu, kini dipublikasikan ke semua orang. Seseorang bisa tertawa sendiri ketika melihat timeline, juga bisa menangis karenanya. Kebenaran dan hoaks pun mejadi samar, abu-abu.

Semua hal bisa dijual di internet, seperti tas, baju, peralatan mebel, ataupun foto, dan suara. Bahkan sebagian orang pun berprofesi sebagai penjual hoaks, membuat berita palsu untuk menaikkan rating dan berujung pada pundi-pundi dolar.

Penipuan di dunia maya sulit dilacak, pun bisa dilacak namun dengan harga dan proses yang mahal. Inginnya membeli hp normal seharga 500ribu namun mendapatkan hp rusak. Bila dilaporkan kepada kepolisian, akan lebih mahal biaya pelaporannya dari pembelian tersebut. Memang sudah ada undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik seperti UU Nomor 11 Tahun 2008 dan UU Nomor 19 Tahun 2016, namun keefektifannya entah berapa persen untuk menanggulangi hoaks dan penipuan publik.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Jual beli melalui media sosial harus dilakukan dengan hati-hati. Tak terhitung sudah orang yang menjadi korban penipuan. Memang menjadi penjual di dunia maya tidak perlu mengeluarkan uang banyak untuk membangun dan membeli peralatan untuk berdagang. Hanya perlu memfoto dan mengunggahnya ke internet.

Beberapa kasus yang terjadi, penipuan dengan mengiklan di media sosial. Contoh, ada penjual di Facebook mempromosikan kamera DSLR dengan harga miring (biasanya 1/3 harga normal). Barang-barang original tidak mungkin dijual dengan setengah atau di bawah setengah harga yang ada di pasar. Kamera digital yang harga pasarnya di atas 4 juta, kemudian dijual oleh sebuah akun dengan harga 1 atau 2 juta. Bisa dipastikan itu tadi adalah barang palsu, itu pun bila dikirim oleh penjualnya.

Sedangkan tarif pemasangan iklan di Facebook mulai dari $5 hingga $50.000 dolar tiap minggu. Anggap sajalah $1 sama dengan Rp. 14.000, maka sekali memasang iklan menghabiskan Rp.70.000. Ini adalah standar minimum, bisa jadi biayanya lebih besar. Namun pelapak palsu berani mengeluarkan uang untuk itu, dan berharap ada yang tertipu. Karena apabila ada satu pembeli saja sudah tertipu, maka harga iklan pun terbayar lunas. Bahkan sudah mendapatkan keuntungan berlipat.

Dibutuhkan perhatian untuk melalukan jual beli di internet, utamanya di media sosial. Lebih baik dilakukan dengan orang yang terpercaya, melalui pihak penyedia jual beli (seperti Bukalapak, Shopee, Lazada, Tokopedia) dan harga yang relatif normal. Kalaupun harga di bawah normal, harus dengan perhatian yang lebih.

Utamakan membeli barang dari penjual yang lokasinya dekat. Dengan begitu ongkos kirimnya murah ataupun bisa dilakukan transaksi langsung atau COD (Cash On Delivery). Seringkali penjual palsu tidak memberitahukan lokasi pastinya dan tidak mau diajak bertemu langsung. Untuk pembelian barang elektronik second/bekas seperti hp dan kamera, sebaiknya dengan bertemu langsung. Karena bisa melihat kekurangan/minus yang ada pada barang tersebut.

Juga pengamatan terhadap testimoni yang tertera pada akun penjual adalah hal penting. Kalau dalam Bukalapak menggunakan istilah Feedback (umpan balik), yakni respon yang diberikan oleh pembeli atas barang yang dijual oleh pedagang. Sedangkan dalam Tokopedia terdapat “Ulasan” dan “Diskusi Produk”. Untuk di Shopee ada kolom “Penilaian” dan Lazada “Ulasan Produk”.  Hal hal seperti ini perlu dicermati kembali.

Kepercayaan diperlukan dalam transaksi melalui media daring.  Kebanyakan penipuan terjadi kepada anak di bawah umur, ataupun orang yang baru mempelajari internet. Diperlukan pengawasan terhadap anak (parental control) untuk meminimalisir penipuan di dunia maya.


*Penulis adalah Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang.