Oleh: Silmi Adawiya*
Perjodohan adalah salah satu cara yang ditempuh masyarakat dalam menikah. Tak ada ketentuan dalam syariat yang mengharuskan atau sebaliknya melarang perjodohan. Islam hanya menekankan bahwa hendaknya seorang muslim mencari calon istri yang shalihah dan baik agamanya. Begitu pula sebaliknya.
Pernikahan dalam Islam merupakan nikmat Allah yang sepatutnya disyukuri oleh setiap insan yang bernyawa, karena dengan pernikahan kita banyak mendapatkan kemanfaataan. Dan jangan lupa, menikahlah dengan insan yang kau senangi. Allah mensyariatkan perihal tersebut dalam firman-Nya:
فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ
“Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi” (QS. an-Nisa: 3)
Ringkasnya, perjodohan hanyalah salah satu cara untuk menikahkan. Orang tua dapat menjodohkan anaknya. Tapi hendaknya meminta izin dan persetujuan dari anaknya, agar pernikahan yang diselenggarakan, didasarkan pada keridhaan masing-masing pihak, bukan keterpaksaan. Pernikahan yang dibangun di atas dasar keterpaksaan, jika terus berlanjut akan mengganggu keharmonisan rumah tangga. Wallahu a’lam.
Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لَا تُنْكَحُ الْأَيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ وَلَا تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَكَيْفَ إِذْنُهَا قَالَ أَنْ تَسْكُتَ
“Tidak boleh menikahkan seorang janda sebelum dimusyawarahkan dengannya dan tidak boleh menikahkan anak gadis (perawan) sebelum meminta izin darinya.” Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana mengetahui izinnya?” Beliau menjawab, “Dengan ia diam.” (HR. Al-Bukhari no. 5136 dan Muslim no. 1419)
Di antara kemuliaan yang Allah Ta’ala berikan kepada kaum wanita setelah datang Islam adalah bahwa mereka mempunyai hak penuh dalam menerima atau menolak suatu lamaran atau pernikahan, yang mana hak ini dulunya tidak dimiliki oleh kaum wanita di zaman jahiliah. Karenanya tidak boleh bagi wali wanita manapun untuk memaksa wanita yang dia walikan untuk menikahi lelaki yang wanita itu tidak senangi.
Lantas berdosakah seorang anak yang menolak perjodohan orang tuanya dan apakah anak tersebut dikatakan durhaka karena penolakannya?
وعن ابن عباس رضي الله عنهما “أن جارية بكرا أتت النبي صلى الله عليه وسلم فذكرت أن أباها زوجها وهي كارهة فخيرها رسول الله صلى الله عليه وسلم” رواه أحمد وأبو داود وابن ماجه
Dari sahabat Ibnu Abbas radliyallahu ‘anhuma, beliau berkata: Telah datang seorang gadis muda terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ia mengadu bahwa ayahnya telah menikahkanya dengan laki-laki yang tidak ia cintai, maka Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam memberikan pilihan kepadanya (melanjutkan pernikahan atau berpisah). (HR. Ahmad, Abu Daud dan Ibnu Majah).
Maka berdasarkan hadits tersebut diatas, penolakan seorang anak terhadap perjodohan orang tuanya adalah tidak berdosa dan tidak dikategorikan sebagai sikap durhaka dengan sebuah catatan penolakan tersebut harus dilakukan dengan cara dan ucapan yang bijak sehingga tidak menyakiti hati dan perasaan orang tua.
Dari Ibnu Abbas radhiallahu anhu bahwasannya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
الثَّيِّبُ أَحَقُّ بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَا وَالْبِكْرُ يَسْتَأْذِنُهَا أَبُوهَا فِي نَفْسِهَا وَإِذْنُهَا صُمَاتُهَا
“Seorang janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya, sedangkan perawan maka ayahnya harus meminta persetujuan dari dirinya. Dan persetujuannya adalah diamnya.” (HR. Muslim no. 1421).
Hukum pernikahan dalam Islam yang sesuai dengan syariat adalah dengan adanya keridhaan dari kedua calon mempelai. Jelas sudah jika satu tak ridha, atau nikah dengan terpaksa maka pernikahan tersebut tidak sesuai syariat Islam dan dilarang dalam syariat.
Syaikh Abdurrahamn as-Sa’di rahimahullah memaparkan dalam al-Majmu’ah al-Kamilah li Muallafat bahwa tidak boleh bagi ayah perempuan itu untuk memaksa dan tidak boleh pula bagi ibunya untuk memaksa anak perempuan itu menikah, meski keduanya ridha dengam keadaan agama dari lelaki tersebut.
*Alumnus Unhasy dan Pesantren Putri Walisongo, kini mahasiswi Pascasarjana UIN Jakarta