Pertanyaan:

Assalamualaikum warahmatullahi wabarkatuh, Ustadz. Saya mau bertanya. Di tempat kami biasanya setelah daging qurbannya dibagikan, panitia qurban menjual kulit hewan qurbannya, apakah yang dilakukan panitia tersebut dibenarkan?

Ibu Daffa, Brebes

Jawaban:

Waalaikumsalam warahmatullahi wabarkatuh, Ibu Daffa yang dirahmati Allah. Terkait yang Anda tanyakan sebenarnya sudah dijelaskan oleh para ulama dalam kitab-kitab mereka. Salah satunya apa yang dijelaskan dalam kitab Hasyiyah al Bajuri ‘ala Ibn Qosim, bahwa semua yang terkait dengan hewan kurban mulai dari daging, tanduk, kulit bahkan bulunya tidak boleh dijual, baik itu kurban wajib maupun sunnah.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

ولا يبيع) اى يحرم على المضحى بيع شيء (من الاضحية) اى من لحمها أو شعرها أو جلدها ويحرم ايضا جعله أجرة للجزار ولو كانت الاضحية تطوعا

Tidak boleh diperbolehkan menjual, maksudnya haram atas mudlahhi (orang yang berkurban) menjual sebagian (dari qurban) baik dagingnya, bulunya atau kulitnya. Haram juga menjadikannya sebagai upah penyembelih walaupun qurban itu qurban sunat.” (al-Bajuri II/301-302)

Keharaman ini diperkuat dengan hadis Nabi sallahu alaihi wa salam yang diriwayatkan Imam Hakim sebagaimana dikutip Syaikh Ibrahim al Bajuri dalam kitabnya sebagaimana berikut:

من باع جلد اضحيته فلا أضحية له

Barangsiapa menjual kulit hewan kurbannya maka tidak sah kurbannya,” (HR: Imam Hakim).

Nabi menerangkan hal ini dikarenakan anggapan sebagian orang bahwa kulit qurban tidak termasuk bagian dari qurban yang wajib dibagikan. Jadi hukumnya tidak boleh menjual daging, kulit, bulu begitu juga dengan tanduknya, hal ini disamakan dengan barang wakaf yang mana tidak boleh diperjual-belikan.

Tak hanya menjual, menjadikan kulit qurban sebagai upah orang yang menyembelih pun dilarang dikarenakan hal itu serupa dengan jual beli. Namun jika orang yang berqurban memberikan kulit tersebut pada penyembelih/penjagal dengan niatan sedekah bukan sebagai ongkos penyembelihan, maka hal itu diperbolehkan.

Boleh memanfaatkan kulit qurban untuk diri sendiri, seperti dijadikan sandal, timba, pakaian, dan dipinjamkan kepada orang lain. Yang tidak boleh adalah menjual atau menyewakannya. Kecuali menurut pengarang at Taqrib, yang berpendapat bahwa boleh menjual kulit qurban dan mendistribusikan uang hasil penjualannya sebagaimana qurban, namun ini pendapat gharib (aneh). Menurut al Auza’i, boleh menjual kulit kurban dengan alat-alat rumah tangga, seperti ayakan, timbangan, panci, pisau, dan lain-lain. Sependapat pula dengan al Auza’i, Abu Tsaur dan an Nakha’i serta menganggapnya sebagai rukhshah (keringanan hukum). (Raudlatut Thalibin I/361, al-Majmu’ Syarh Muhadzdzab VIII/420)

Diceritakan dari Abu Hanifah, ia berkata bahwa boleh menjual hewan qurban sebelum disembelih, maupun setelah disembelih, lalu menyedekahkan hasil penjualannya. Jika menjual kulitnya dengan alat rumah tangga, maka hukumnya boleh. Karena itu sama saja dengan memanfaatkan kulit itu. Hukum badal (alat rumah tangga) sama dengan hukum mubdal (kulit kurban). Yang tidak boleh adalah menjual dengan barang-barang yang cepat habis (istihlakiyah), seperti uang dirham, makanan, atau minuman. (al-Majmu’ Syarh Muhadzdzab VIII/420, al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu IV/280)

Menjadikan kulit qurban sebagai upah penjagal disepakati ulama bahwa hukumnya haram. Namun dalam menjual kulitnya, Syafi’i, Maliki, dan Hanbali mengharamkan, sedangkan Hanafi memperbolehkan dengan syarat tertentu di atas. Namun jika orang yang berqurban memberikan kulit tersebut pada penyembelih/penjagal dengan niatan sedekah bukan sebagai ongkos penyembelihan, maka hal itu diperbolehkan.  Wallahu A’lam Bisshawab.


*Dijawab oleh tim redaksi Tebuireng Online