Seri Kiprah KH. Hasyim Asy’ari #9

Oleh: M. Abror Rosyidin*

Terkadang ada orang yang semakin banyak ilmunya, atau semakin besar pengaruhnya atau nasabnya terhadap orang lain, akan menjadi arogan dan sombong. Namun, ada pula yang justru sebaliknya, semakin tinggi ilmunya semakin menunduk, tawadhu’, dan merasa kurang ilmunya.

Adapula yang semakin tinggi nasabnya justru malah semakin merasa beban, bukan senang.  Orang seperti itu, manakala bertemu orang, akan menerima dengan baik tak perduli latar belakangnya. Bahkan musuh sekalipun. Semua itu tercermin dalam kesehariannya, termasuk juga dalam mengajar.

Itupula yang tercermin dari sosok Kiai Hasyim Asy’ari yang tidak pandang bulu dalam perlakuannya terhadap para santri. Entah dia anak raja, keturunan kerajaan, anak menteri, anak pejabat, anak kiai, termasuk juga anak-anak beliau sendiri, sama. 

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Budaya yang diterapkan di Tebuireng adalah budaya Mataraman. Tidak seperti tapal kuda, Madura, dan daerah Kediri dst. Budaya mataraman lebih luwes dan low profile, tidak terlalu mengkultuskan yang berlebihan, seperti salaman bolak-bolik, dll. Sehingga di Tebuireng elegan dalam ketawadhuan, karena tidak berlebihan. Begitu juga dengan cara mendidik Kiai Hasyim kepada putra-putrinya.

Fakta sejarah menunjukkan bahwa putra beliau kebanyakan dipondokkan di pesantren lain agar tidak terjadi dispensasi pendidikan.  Sering kali, orang tua yang juga pendidik akan dilema ketika putra putrinya sendiri yang bertindak salah, atau tidak sesuai dengan aturan pesantren.

Tentu ini menjadi tidak fair jika dalam khitab syar’i (objek hukum)-nya tidak disamakan dengan santri lain. Kiai Hasyim sudah memandang ke sana, sehingga beliau menghindari itu.

Setelah dididik dengan pendidikan dasar, saat usia remaja sudah dikirim ke banyak pesantren, berkelana mencari ilmu biar mengerti tempaan thalabul ilmi sebagai seorang pelajar, bukan seorang putra kiai. 

Seperti Kiai Wahid, setelah umur 12 tahun, dikirim ke Pesantren Siwalan Panji, tempat dulu ayahnya menimba ilmu, lalu ke Lirboyo. Pada usia 18 tahun sudah disebrangkan ke Mekkah dan Madinah untuk belajar ilmu agama.

Kiai Abdul Kholik Hasyim di usia hampir sama belajar di Pesantren Sekar Putih Nganjuk, Pesantren Kasingan Rembang, dan selanjutnya ke Kajen Pati. 

Bahkan menurut cerita, dalam buku Biografi KH. Abdul Kholiq Hasyim “Pahlawan Yang Terlupakan, Sang Kiai Kadigdayan”. Kiai Kholiq tak mau identitasnya sebagai putra Kiai Hasyim diketahui oleh santri-santri lain. Jadi setiap nyantri selalu “nyamar” bukan anak Kiai Hasyim atau anak kiai manapun, inginnya hanya diketahui anak orang biasa.

Untuk itu beliau sering pindah-pindah pesantren, karena setelah ketahuan identitasnya itu, langsung pindah ke pesantren lain. Justru bukan malah digembor-gemborkan, “Eh saya ini putra kiai  B loh. Kamu siapa?” atau “Saya putra kiai A, kalian harus hormat kepada saya” dan lain-lain.

Kiai Wahid juga tak kalah begitu, dididik dan ditempa sedemikian rupa oleh sang ayah, beliau tak mau dikultuskan oleh teman-temannya di pesantren, bahkan makan dan mandipun maunya sama dan disetarakan. Ikut nimbrung “purakan” alias makan bersama santri lain memakai nampan, atau daun pisang. 

Kiai Abdul Karim Hasyim juga dipondokkan di Kajen Pati. Bu Nyai Khodijah, Ibu Gus Ishom, Gus Zaki, dan Gus Fahmi, juga dititipkan di Pesantren Purwoasri, Kediri. Sejak berumur 12 tahun, Kiai Yusuf Hasyim muda mondok di Pesantren Al-Quran Sedayu Lawas, Gresik, yang dipimpin oleh Kiai Munawar.

Kemudian pindah ke pesantren Krapyak, Jogjakarta, di bawah asuhan Kiai Ali Ma’sum. Setelah dari Krapyak, Pak Ud, panggilan saat dewasa, sempat menimba ilmu di pondok modern Tegalsari, Ponorogo. 

Begitu pula saat masih dalam asuhan sendiri, beliau sering mendidik putra-putranya sama dengan santri lain, termasuk saat menghukum. Diceritakan salah satu putra beliau, sering dihukum karena kenakalan anak-anak, yaitu dikurung di gudang beras, sampai gatal-gatal kulitnya. 

Cerita ini didapat dari salah satu santri Kiai Hasyim yaitu, Kiai Rukhan Sanusi Ngoro Jombang dan Kiai Mukhtar Syafaat melalui putranya, Kiai Hisyam Syafaat Blokagung Banyuwangi. Dan yang mencengangkan hukuman ini tidak dilakukan tertutup, artinya disaksikan pula oleh santri-santri lain. 

Karena nakal, Abdul Kholik kecil juga sering dihukum oleh Kiai Hasyim. Bahkan sampai mentok, akhirnya Kiai Hasyim memakai jalur spiritual, dikasih wirid-wiridan khusus, lantas Abdul Kholik yang saat kecil bernama Abdul Hafidz bisa melihat (mata batin) manusia, tapi berkepala hewan. Sejak itu langsung tobat dan tidak nakal lagi. 

Tak hanya putra-putra beliau, cucu-cucu beliau juga merasakan hukuman itu. Gus Dur dan Gus Sholah contohnya. Gus Sholah menuturkan sendiri dan penulis mendengarkan cerita itu sendiri. Beliau yang sebentar bertemu dengan sang kakek pernah merasakan didikan langsung sang maestro Tebuireng itu.

Gus Sholah pernah dihukum dikurung di gudang beras karena mengencingi kendi beras. Namanya juga anak-anak kan. Akhirnya sekian waktu, berteman dengan tikus, kecoak, kutu, dan hewan-hewan menjijikkan lainnya. Tidak pilih kasih dan mendidik anaknya dan tidak berlebihan dalam pengkultusan nasab itu, mungkin karena keteguhan beliau dalam mencari ilmu semasa muda.

Beliau saat mondok tak segan membantu kiainya mengurus pesantren, tidak malas-malas belajar, dan tidak merasa dirinya putra kiai.  Bahkan di Bangkalan asuhan Syaikhona Kholil beliau ditugasi mengurus kuda, ya tentu sekalian membersihkan kotoran-kotorannya, menguras minumnya, dan memperbarui jerami-jeraminya.

Ditambah lagi, saat cincin istri Kiai Kholil masuk ke pembuangan kotoran manusia, beliau tidak enggan membantu dengan menceburkan tangan beliau, mengobok-obok lubang pembuangan itu, sampai menemukan cincin itu. Anak kiai, mau melakukan itu? Kalau kita saja, yang bukan anak kiai, ya belum tentu mau kan. 

Saat pulang dari Mekkah periode kedua, beliau pun tak mau meneruskan Pesantren Keras milik ayahnya, Kiai Asy’ari. Padahal sebagai anak kiai. Kalau misal punya sikap kebanggan yang tinggi, akan terus merasa punya hak mengurus pesantren itu. Malahan memilih untuk melipir ke Tebuireng, membangun peradabannya sendiri dan mandiri. Tidak mau, hanya kerena anak kiai lalu minta bagian ke ayahnya, komplek mana yang bisa diasuhnya. 

Kiai Hasyim mengajarkan anak-anaknya kesederhanaan hidup, tidak mewah, dan tidak jumawa. Makan dan minum ala kadarnya, rumah sederhana, dan tidak merepotkan orang lain, harus mandiri.

Putra-putri beliau dididik untuk menghormati dan menghargai orang lain, menghargai aturan dan hukum, serta tidak berbuat seenaknya sendiri, apalagi sampai “gila hormat”.  Gus Sholah misalnya. Didikan keluarga Hasyim masih melekat pada diri beliau.

Beliau pernah berpesan kepada salah satu santri senior kala awal mengasuh Tebuireng, agar santri yang kebetulan penulis itu, tidak terlalu melebih-lebihkan dalam menulis tentang beliau. Tidak pula terlalu mengkaitkannya dengan sang ayah dan kekek. Kata beliau itu bukan didikan keluarga Bani Hasyim dan Bani Wahid.

Saat mengasuhpun, beliau lebih menghargai orang dari kompetensinya bukan hanya nasabnya untuk mengabdi di Tebuireng di bidang-bidang yang sesuai.  Kita mungkin pernah mendengar ungkapan Arab (al Mahfudzat): 

إِنَّ الفَتَى مَنْ يَقُوْلُ هَا أَنَا ذَا

وَلَيْسَ الفَتَى مَنْ يَقُوْلُ كَانَ أَبِيْ

“Seorang pemuda adalah yang bangga mengatakan ‘Inilah Aku’ dan tidak disebut pemuda orang yang mengatakan ‘Bapakku dulu’…(membanggakan nasabnya)”

Ungkapan ini tentu sangat relevan untuk kehidupan Kiai Hasyim dan bagaimana cara menanamkan prinsip kepada anak cucunya. Tentu bagi para putra-putri kiai yang masih belia perlu diberikan edukasi etika menjadi dzurriyah kiai dan pesantren, agar meneruskan sikap warisan para kiai terdahulu soal etika, pendidikan, dan hubungan sosial antar manusia.

Khususunya soal harkat dan martabat manusia, di mana dipandang setara di mata Allah, karena yang dilihat oleh-Nya adalah ketakwaannya, bukan nasabnya, bukan kedudukannya, bukan jabatannya. Putra kiai, putra raja, bahkan putra nabi, dihisabnya juga sama.

Maka, ketika putra kiai dipondokkan, baik di pesantren sendiri, apalagi di pesantren orang lain, harus merasa sama sebagai santri, melihat dirinya sebagai pencari ilmu bukan putra kiai. Peraturan juga sebagai mestinya santri lain, ditaati.

Apabila ketika melanggar aturan juga sama, harus ditindak sesuai dengan ketentuan, kecuali dia berada dalam asuhan ayahnya sendiri, tidak membawa institusi dan almamater pesantren.  Ini semata hanya karena fakta sejarahnya memang begitulah kiai-kiai kita terdahulu mendidik, begitu juga Kiai Hasyim Asy’ari, sang pendiri Pesantren Tebuireng.

Maka pengurus juga pun tidak boleh gentar menghukum santri, siapapun itu, ketika salah, entah dia putra siapa. Sesuai dengan aturan yang berlaku. 

Adapun ketawadhuan kita sebagai santri kepada kiai, memang sekaligus sepaket juga dengan ketawadhuan terhadap keluarga kiai. Tapi ketika mendidik dan menempa mereka adalah jalan terang menuju masa depan yang lebih baik bagi gus-gus dan ning-ning kita, kenapa tidak kita ilhami sikap Kiai Hasyim itu? Karena mustahil menjaga, tanpa memelihara dan merawat, bukan begitu?

Sebaliknya, susah bagi gus-gus dan ning-ning, mendapatkan ilmu yang manfaat, tanpa tawadhu kepada guru, pendidik, pengurus, dan aturan pesantren? Mari direnungkan bersama agar budaya kesetaraan di pesantren tetap terjaga. Wallau a’lam. 

*Penulis adalah tim Pusat Kajian Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari.